- Banjir bandang yang melanda Bali beberapa waktu lalu berlanjut. Sejumlah pihak yang tergabung dalam Koalisi Pergerakan Lingkungan Hidup dan Keberlanjutan Bali (Pulihkan Bali) mengajukan gugatan (citizen lawsuit) kepada pemerintah atas kejadian itu.
- Ida Bagus Mandhara Brasika, akademisi dan peneliti yang tengah menyelesaikan studi S3 bidang matematika iklim di Universitas Exeter, Inggris menyatakan, banjir yang terjadi di Bali bukan hanya karena curah hujan tinggi. Tetapi, juga persoalan struktural akibat alih fungsi lahan, pengelolaan sampah dan tata ruang yang buruk, ruang terbuka hijau (RTH) minim, yang semuanya bersumber dari kebijakan pemerintah.
- Koalisi telah mengirimkan notifikasi kepada 15 instansi pemerintah pusat dan daerah berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup 12 November 2025 dengan batas 60 hari. Bila tak ada tanggapan memadai, Koalisi akan mendaftarkan gugatannya ke PN Denpasar.
- Wayan Koster, Gubernur Bali sempat mengelak adanya alih fungsi lahan. Namun, Hanif Faisol Nurofiq, Menteri LHK yang memantau penanganan banjir menganulir pernyataan tersebut. Koster menjanjikan moratorium atau penghentian sementara alih fungsi lahan produktif.
Banjir bandang yang melanda Bali beberapa waktu lalu berlanjut. Sejumlah pihak yang tergabung dalam Koalisi Pergerakan Lingkungan Hidup dan Keberlanjutan Bali (Pulihkan Bali) mengajukan gugatan (citizen lawsuit) pemerintah atas kejadian itu.
Koalisi Pulihkan Bali, katanya, menginisiasi untuk melayangkan gugatan warga negara yang berdasar pada perbuatan melawan hukum oleh penguasa.
“Ini adalah gerakan kolaborasi warga untuk mengkritisi kebijakan pemerintah, bukan bermusuhan,” kata Ignatius Rhadite, advokat publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali saat jumpa pers, Rabu (12/11/25).
LBH Bali merupakan anggota koalisi bersama perwakilan warga, akademisi dan peneliti. Mereka menilai, pemerintah, pusat dan daerah mengakselerasi kebijakan hingga memicu bencana.
Koalisi juga mengirimkan notifikasi kepada 15 instansi pemerintah pusat dan daerah berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/ 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup 12 November 2025 dengan batas 60 hari.
Bila tak ada tanggapan memadai, koalisi akan mendaftarkan gugatannya ke PN Denpasar.
Penyerahan notifikasi ini merupakan momentum penting untuk mendorong akuntabilitas pemerintah dalam menjaga keseimbangan ekologi dan keselamatan warga. Sekaligus menjadi pengingat bahwa hak atas lingkungan yang sehat adalah bagian dari hak asasi manusia.
Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.

Bukan cuaca semata
Ida Bagus Mandhara Brasika, akademisi dan peneliti yang tengah menyelesaikan studi S3 bidang matematika iklim di Universitas Exeter, Inggris menyatakan, banjir di Bali bukan hanya karena curah hujan tinggi. Juga persoalan struktural akibat alih fungsi lahan, tata kelola sampah dan tata ruang yang buruk, hingga ruang terbuka dan mitigasi bencana yang minim.
“Pemerintah tidak melakukan mitigasi. Ini komitmen jangka panjang, advokasi ini mungkin berlangsung cukup lama namun warga punya hak mengkritisi pemerintah dan berkontribusi dalam perbaikan kerusakan lingkungan,” kata Gus Nara, panggilan pendiri Manajemen Tata Kelola Sampah Griya Luhu ini.
Ada 10 warga yang tercantum sebagai perwakilan penggugat dari sejumlah kabupaten di Bali. Salah satunya Ida Bagus Sukarya. Dia menyebut, pemerintah perlu aksi nyata, tak sekadar mengurusi administrasi kebijakan.
Menurut dia, alih fungsi lahan di Bali begitu massif dan memicu kerusakan sumber irigasi di sejumlah subak di Bali. Daerah resapan air yang kian kritis turut memperparah situasi itu.
Dinda, perempuan muda yang merasakan dampak banjir menyatakan terlibat sebagai penggugat karena bagian dari kritik warga.
“Kami berhak bicara, menuntut pemerintah melaksanakan tanggung jawab mereka, bukan serangan ke pemerintah tapi agar mitigasi dilakukan dengan baik.”
Oka Agastya, geolog yang tergabung dalam koalisi ini mengatakan, berdasar pemetaannya, ada banyak kawasan yang tak pernah banjir kini terdampak.
Sedang sistem peringatan dini tak jalan. Menurut dia, ada perbedaan antara early warning system (EWS) atau peringatan dini cuaca ekstrem oleh BMKG dan EWS untuk banjir.
Banjir besar di Bali, katanya, tidak hanya karena curah hujan tinggi juga akibat alih fungsi lahan, tata guna infrastruktur, manajemen bencana, dan pengelolaan sampah yang semuanya bersumber dari kebijakan pemerintah.
“Dokumen ada, tapi pemenuhan mitigasi bencana belum ada seperti evakuasi, early warning, dan pemetaan risiko bencana yang diperbaharui.”
Gede Adrian, pemuda Bali yang ikut memobilisasi dan menyalurkan bantuan untuk korban banjir sepakat dengan rencana gugatan warga ini.
Ketika bencana terjadi, Adrian turut mobilisasi bantuan ke korban banjir di Pasar Badung, Alangkajeng, sampai Kabupaten Karangasem.
“Lebih 18 hari di Karangasem belum surut airnya, tidak mendapat perhatian pemerintah dan lembaga dewan. Gubernur dan Walikota Denpasar tidak serius menanggapi tindakan kuratif dan preventif. Padahal regulasi cukup untuk melaksanakan tanggung jawab.”

Gugat menteri sampai gubernur
Ada banyak pihak dan instansi, baik pusat maupun daerah yang jadi pihak tergugat. Meliputi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Keuangan, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan.
Kemudian, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Lalu, Gubernur Bali, DPRD Bali, Walikota Denpasar, Bupati Badung, Bupati Gianyar, dan Bupati Tabanan.
Koalisi menilai, pemerintah lalai dalam mengelola tata ruang, sistem drainase, daerah aliran sungai (DAS), penyediaan sistem peringatan dan penanggulangan bencana, serta pengawasan lingkungan hidup. Akibatnya, terjadi banjir besar pada 9-10 September 2025 yang menyebabkan 18 korban jiwa dan ratusan bangunan rusak.
Tercatat selama dua hari itu, curah hujan di Bali mencapai 50-150 mm, bahkan di beberapa wilayah tercatat hingga 385 mm. Sejumlah faktor turut memperparah yang kemudian menjadi tuntutan dasar koalisi, antara lain laju perubahan lahan di Bali.
Dalam kurun 2019-2024, Bali kehilangan 6.522 hektar sawah atau rata-rata 1.087 hektar per tahun. Hal ini terdorong oleh pembangunan eksplosif pasca pandemi, termasuk pertumbuhan sektor digital nomad dan investasi properti asing yang melonjak 92% di Badung dan 81% di Denpasar.
Periode 2010-2015 merupakan kurun dengan alih fungsi paling tajam. Analisa citra satelit menunjukkan periode itu lahan terbangun di kawasan Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan (Sarbagita) meningkat 501%.
Lebih parah adalah hilangnya kawasan hutan. Salah satunya di kawasan DAS Ayung yang hanya tersisa sekitar 1.500 hektar (3%). Berkurangnya RTH turut memperparah keadaan. Padahal, berdasar Undang-undang, kota harusnya memiliki RTH minimal 30%. Kenyataannya, RTH di Denpasar hanya 405 hektar atau 3.2%.
Minimnya RTH berdampak pada air limpasan yang semakin deras, terjadi backlog dan pendangkalan pada sistem drainase saat curah hujan tinggi.
Sementara sempadan sungai yang harusnya 10-30 meter, kini menjadi kawasan terbangun. Pengelolaan sampah yang tidak tegas menambah beban drainase. Timbulan sampah meningkat dari 800 ribu ton (2019) meningkat jadi 1,2 juta ton (2024), 52% tidak tertangani.
Perkiraan koalisi, sekitar 33.000 ton sampah masuk ke perairan Bali setiap tahun. Belum lagi mayoritas sampah terkelola hanya berakhir di TPA dengan pola open dumping. Dengan risiko bencana yang begitu tinggi, fasilitas kebencanaan di ruang publik justru terbatas.
Sebagai contoh petunjuk jalur evakuasi minim di sekitar pemukiman Tukad Badung dan pusat perekonomian seperti Pasar Badung dan Kumbasari.
Belum lagi desain bangunan yang tidak memungkinkan evakuasi terjadi cepat. Contoh, Pasar Kumbasari dengan teralis besi dan tidak ada petunjuk evakuasi menuju tangga darurat. Hal ini berakibat pada jatuhnya korban jiwa dari pedagang Pasar Kumbasari yang terseret banjir.
Koalisi Pulihkan Bali menegaskan, pemerintah memiliki kewajiban hukum dan moral untuk melindungi hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan aman.
Kawasan heritage di Denpasar, yang menjadi salah satu area terpaprah baniir di Bali. Foto: Luh De Suriyani/ Mongabay Indonesia.
Beri waktu 60 hari
Koalisi memberikan waktu selama 60 hari kepada pemerintah untuk menanggapi dan mengambil langkah konkret. Koalisi pun menuntut lima hal.
Pertama, melakukan moratorium perizinan berusaha untuk investasi dan/atau proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan hidup dan keselamatan ekosistem di Bali.
Kedua, mendesak pemerintah menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) bagi Kawasan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita) sesuai prinsip partisipasi bermakna sebagai acuan dalam audit pembangunan dan pedoman untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Ketiga, tindakan korektif terhadap kebijakan dan praktik yang berkontribusi pada terjadinya bencana terkait iklim, untuk mewujudkan pengelolaan tata ruang yang adil. Juga, pengembangan infrastruktur perkotaan ramah iklim dan responsif terhadap bencana, pengelolaan persampahan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, partisipatif dan inklusif di Kawasan Sarbagita.
Keempat, menerbitkan Peraturan Daerah Bali tentang Keadilan Iklim yang mengatur sekurang-kurangnya perihal mitigasi, adaptasi dan kompensasi dari kehilangan dan kerusakan yang disebabkan oleh krisis iklim.
Kelima, menjalin dialog bermakna dengan warga dan Tim Advokasi Pulihkan Bali untuk mencari penyelesaian administratif sebelum gugatan masuk ke PN Denpasar.
Wayan Koster, Gubernur Bali sempat mengelak soal alih fungsi lahan tetapi Hanif yang memantau penanganan banjir menganulir pernyataan itu. Koster menjanjikan moratorium atau penghentian sementara alih fungsi lahan produktif.
“Moratorium mulai 2025 tidak boleh alih fungsi lahan produktif menjadi komersil, sudah ada instruksi ke bupati dan walikota tidak lagi memberikan izin, hotel, restoran menggunakan lahan sawah, kalau perumahan selektif,” katanya beberapa hari setelah banjir.
*****