- Pemerintah mengecualikan sektor nikel dan industri hard to abate seperti baja dari kewajiban dekarbonisasi dalam dokumen second nationally determined contribution (SNDC). Padahal, kedua industri ini menyumbang emisi karbon tinggi dari proses pembakaran batubara dan konsumsi energi fosil yang masif. Kondisi ini, memperlihatkan sikap kontradiksi antara ambisi iklim dan arah pembangunan ekonomi nasional.
- Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan sekaligus Koordinator Tim Lobi Koalisi JustCOP, menilai, pengecualian hilirisasi nikel dan sektor baja dalam SNDC memperlihatkan, target penurunan emisi belum sepenuhnya jadi arus utama dalam kebijakan pembangunan.
- Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengatakan, pemerintah gagal memahami dekarbonisasi bukan hambatan bagi ekonomi, melainkan peluang menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah baru. Dengan memadukan dekarbonisasi industri dan ekonomi restoratif, Indonesia bisa menurunkan emisi sekaligus memperkuat daya saing.
- Timotius Rafael, Peneliti Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan, sektor nikel dan baja kerap jadi simbol transisi energi hijau Indonesia karena hasil industri untuk memproduksi green products seperti baterai kendaraan listrik dan turbin angin. Tanpa perubahan mendasar dalam sistem energi, industrialisasi dua sektor ini justru berpotensi hanya jadi solusi palsu bagi krisis iklim.
Pemerintah mengecualikan sektor nikel dan industri hard to abate seperti baja dari kewajiban dekarbonisasi dalam dokumen second nationally determined contribution (SNDC). Padahal, kedua industri ini menyumbang emisi karbon tinggi dari proses pembakaran batubara dan konsumsi energi fosil yang masif. Kondisi ini, memperlihatkan sikap kontradiksi antara ambisi iklim dan arah pembangunan ekonomi nasional.
Pemerintah berjanji menurunkan emisi melalui SNDC yang sudah setor ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), menjelang pertemuuan iklim para pihak (conference of parties (COP )30, 10-21 November 2025.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan sekaligus Koordinator Tim Lobi Koalisi JustCOP, menilai, pengecualian hilirisasi nikel dan sektor baja dalam SNDC memperlihatkan, target penurunan emisi belum sepenuhnya jadi arus utama dalam kebijakan pembangunan.
“Dikecualikannya nikel dan baja dari dokumen SNDC berarti bahwa emisi dari industri baja tidak diperhitungkan secara formal dalam target penurunan emisi nasional, dengan kata lain, tidak ada kebijakan atau program mitigasi yang spesifik untuk sektor ini dalam kerangka SNDC,” kata Iqbal Damanik, anggota Koalisi JustCOP juga Climate dan Energy Manager Greenpeace Indonesia.
Industri baja, misal, merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia. Terutama, karena proses produksi sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara.
Ketika sektor besar seperti baja keluar dari perhitungan, katanya, kredibilitas komitmen iklim Indonesia menjadi dipertanyakan.
“Target penurunan emisi akan tampak lebih mudah dicapai di atas kertas, tetapi tidak mencerminkan kondisi lapangan yang sesungguhnya.”
Industri baja memberikan kontribusi besar terhadap emisi karbon nasional, yakni 4,9% dari total emisi industri yang mencapai setara 430 juta ton karbon dioksida pada 2022, atau berkisar setara 20-30 juta ton karbon dioksida per tahun.

Lebih lanjut, kata Iqbal, jika sektor ini tidak diatur dalam SNDC, emisi tidak akan tercatat dalam inventaris nasional. Ini membuat Indonesia tampak “berhasil” menurunkan emisi, padahal data tersebut tidak sepenuhnya akurat.
Selain itu, sistem perdagangan karbon (cap and trade) akan kehilangan integritas, karena tanpa perhitungan emisi dari sektor baja, tidak ada permintaan (demand) yang nyata dalam pasar karbon domestik.
“Secara reputasi, langkah ini juga berisiko melemahkan posisi Indonesia di forum iklim internasional, sebab ambisi yang disampaikan tidak didukung oleh cakupan sektor yang komprehensif.”
Dalam konteks transisi energi, keputusan ini juga memperlihatkan ketiadaan arah yang jelas. Pemerintah memang menyebut, ada peningkatan bauran energi terbarukan, namun sisi lain tetap mempertahankan pembangunan pembangkit batubara 6,3 gigawatt (GW) secara on-grid dan 20 GW off-grid, serta tambahan 10,3 GW pembangkit berbahan gas.
“Dengan struktur energi yang masih bergantung pada fosil, industri baja otomatis menjadi penyumbang emisi tinggi yang sulit ditekan.”
Kondisi ini menunjukkan, upaya dekarbonisasi Indonesia masih bersifat kosmetik. Alih-alih menyiapkan strategi jangka panjang menuju industri hijau, SNDC justru kompromi demi ambisi pertumbuhan ekonomi 8%.

Gagal paham soal dekarbonisasi
Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies
(CELIOS), pemerintah gagal memahami dekarbonisasi bukan hambatan bagi ekonomi, melainkan peluang menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah baru.
Dia bilang, dengan memadukan dekarbonisasi industri dan ekonomi restoratif, Indonesia bisa menurunkan emisi sekaligus memperkuat daya saing.
Sayangnya, pemerintah masih mengandalkan pertumbuhan ekonomi bertopang sektor ekstraktif. “Sehingga cukup aneh apabila setelah 2030 emisi karbon ‘diproyeksikan’ langsung turun. Itu roadmap yang mustahil dilakukan.”
Pandangan serupa dari Timotius Rafael, Peneliti Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER). Menurut dia, sektor nikel dan baja kerap jadi simbol transisi energi hijau Indonesia karena hasil industri untuk memproduksi green products seperti baterai kendaraan listrik dan turbin angin.
Tanpa perubahan mendasar dalam sistem energi, katanya, industrialisasi dua sektor ini justru berpotensi hanya jadi solusi palsu bagi krisis iklim.
Dalam dokumen SNDC, Timo bilang, pemerintah mencantumkan sejumlah strategi mitigasi emisi di sektor industri, seperti penggunaan energi terbarukan, efisiensi energi, elektrifikasi, dan bahan bakar rendah karbon.
“Langkah ini patut diapresiasi, namun masih menyisakan celah besar. Jika sistem ketenagalistrikan industri tetap bergantung pada gas alam atau PLTU captive off-grid berbahan batubara, maka elektrifikasi dan efisiensi energi tidak serta merta menjadikan industri tersebut rendah karbon,” kata Timo kepada Mongabay, Oktober lalu.
Kebijakan lama seperti Perpres No. 112/2022 masih memperbolehkan pembangunan PLTU captive bagi kebutuhan industri memperkuat risiko ini.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan (2024–2060), emisi dari PLTU captive di kawasan industri nikel di Sulawesi mencapai 40 juta ton CO₂ pada 2024, diperkirakan memuncak jadi 71 juta ton CO₂ pada 2027.
Angka itu jelas bertentangan dengan target penurunan emisi nasional yang tertuang dalam SNDC sekitar 529 juta ton CO₂ pada tahun 2035 (tahun proyeksi puncak emisi) atau 42% lebih rendah dibandingkan emisi business as usual. Hal ini karena PLTU biasa beroperasi 25-30 tahun. Artinya, pembangunan PLTU captive batubara sebagai sektor energi akan mempersulit pengurangan emisi di sektor lainnya.
“Praktik seperti itu, justru memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil dengan kemasan yang seolah-olah hijau,” katamya.
Apa konsekuensi nyata dari kebijakan dekarbonisasi setengah hati ini terhadap masyarakat?

Apa implikasinya?
Model solusi palsu (false solution) di industri nikel dan baja tak hanya pada lingkungan, juga memperparah ketimpangan sosial di sekitar industri.
Penelitian Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER) menunjukkan, kawasan industri nikel seperti Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Sulawesi masih beririsan dengan area bernilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV) seluas 3.945 hektar. Temuan ini menandakan lemahnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan setop izin baru di hutan primer dan lahan gambut.
Dampak ekologis ini berimbas langsung pada masyarakat sekitar. Mereka menghadapi peningkatan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), iritasi kulit, pencemaran perairan, serta risiko banjir yang mengancam sumber penghidupan mereka.
Situasi ini memperlihatkan bahwa kebijakan dekarbonisasi yang tidak menyentuh akar masalah justru memperburuk kondisi sosial dan kesehatan publik.
Di sektor baja, isu dekarbonisasi menjadi perbincangan penting karena proses produksinya yang sangat intensif energi dan emisi.
Timo mencontohkan, industri baja di Indonesia saat ini masih bergantung pada teknologi tinggi emisi. Secara umum, industri baja terbagi menjadi dua jenis utama: baja nirkarat (stainless steel) yang menggunakan bahan baku nikel, dan baja karbon yang dihasilkan dari bijih besi atau besi bekas.
Sejak 2010, sebagian besar proses pengolahan baja di Indonesia masih menggunakan teknologi berbasis bahan bakar fosil, seperti Blast Furnace dan Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).
Kedua teknologi itu menyumbang sekitar 80% dari total kapasitas produksi baja nasional, sekaligus menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca dari sektor industri logam.
Secara ekologis, teknologi berbasis fosil ini menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi, polusi udara, serta pencemaran air yang signifikan.
Dampak lingkungan ini beriringan dengan dampak sosial yang tidak kalah serius, seperti meningkatnya penyakit pernapasan akibat polusi udara, konflik lahan antar perusahaan dan masyarakat adat maupun lokal, serta memburuknya kualitas hidup warga di sekitar kawasan industri.
Masih berdasarkan penelitian AEER, tingginya kasus ISPA dengan prevalensi 5–10% dilaporkan di empat daerah utama industri baja, yakni Kota Cilegon, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Halmahera Tengah—tercatat jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 2,2%.
Di Kota Cilegon, yang menjadi kawasan industri baja terbesar di Indonesia, prevalensi ISPA meningkat dari 5,4% pada 2020 menjadi 12,2% pada 2022.
Tren serupa terjadi di Kabupaten Halmahera Tengah, khusus di dua kecamatan industri, yakni, Weda Utara dan Weda Tengah.
Di Weda Utara, prevalensi ISPA melonjak drastis dari 6,0% pada 2020 menjadi 37,5% di 2024, Weda Tengah naik dari 7,1% pada 2020 ke 14,7% pada 2024.
Kondisi paling serius terjadi di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, yang dikenal sebagai kawasan smelter nikel dan baja. Kasus ISPA di wilayah ini meningkat tajam dari 8,3% pada 2020 menjadi 40,6% di 2024, dengan lonjakan signifikan pada tahun 2023 ketika prevalensinya mencapai 30,2%.
“Upaya dekarbonisasi harus mampu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, menekan pencemaran lingkungan, dan menjamin perlindungan terhadap masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas industri,” jelas Timo.

Berkeadilan?
Dekarbonisasi di Indonesia sejauh ini masih berkutat pada angka penurunan emisi dan potensi keuntungan ekonomi yang bisa diraih. Di balik pelbagai target hijau dan investasi energi bersih, justru aspek keadilan bagi masyarakat yang terdampak kerap terpinggirkan.
Transisi menuju ekonomi rendah karbon belum sepenuhnya memikirkan siapa yang harus menanggung konsekuensinya di lapangan. Untuk itu, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menyebut, prinsip free, prior, and, informed consent (FPIC) punya peran krusial.
FPIC adalah hak, prinsip, dan mekanisme yang menekan bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal memiliki hak untuk menyetujui atau menolak proyek yang memengaruhi wilayah hidup, sumber penghidupan, dan budaya mereka secara bebas (free), dilakukan sebelum kegiatan mulai (prior), dan mendapatkan akses serta informasi lengkap (informed).
Dalam praktiknya, prinsip FPIC belum tertuang kuat dalam kerangka hukum Indonesia. Perpres No. 60/2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM memang mewajibkan pelaku usaha menghormati HAM. Sayangnya, masih sukarela dan belum punya mekanisme pengawasan tegas.
ICEL menilai, ada beberapa regulasi seperti UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau PP No. 22/2021 yang memuat mekanisme partisipasi publik dan pelingkupan dampak. Meski begitu, katanya, belum ada kewajiban hukum eksplisit untuk memperoleh persetujuan masyarakat adat sejak tahap perencanaan proyek.
Bahkan, dalam kerangka proyek strategis nasional (PSN), masyarakat kerap tak punya kebebasan untuk menyetujui atau menolak pembangunan. Akibatnya, prinsip “bebas” dalam FPIC jadi hilang.
“Kalau proyek transisi energi sejak awal sudah tidak memenuhi prinsip keadilan sosial dan ekologis, seharusnya tidak dilanjutkan,” kata Elvita Trisnawati, Peneliti ICEL kepada Mongabay, Rabu (5/11/25).

*****