- Keresahan sedang merebak di warga Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Pasalnya, lahan yang mereka dapatkan secara legal berpotensi diambil alih Agrinas Palma.
- Pengambil alihan lahan sudah dilakukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan karena lahan tersebut bekas konflik dengan PT Torganda, bekas perusahaan DL Sitorus.
- Rianda Purba, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut, bilang, warga tidak menuntut kepemilikan lahan, melainkan akses legal pengelolaan melalui skema perhutanan sosial.
- Hasil investigasi Walhi, penyitaan lahan oleh Satgas PKH berujung pada penyerahan ke Kementerian BUMN. Mereka sesalkan penyerahan itu tidak melalui prosedur legal yang jelas.
Warga Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara, meradang. Mereka menolak 3.000 hektar lahan turun-temurun beralih ke Agrinas, sekalipun ada skema bagi hasil. Bagi mereka, ini bentuk ketidakadilan negara.
Parubahan Hasibuan, Kepala Desa Ujung Gading Julu, mengatakan, lebih dari 500 keluarga yang harus berhadapan dengan klaim dan pengalihan pengelolaan lahan ke Agrinas setelah Satgas Penertiban Kawasan Hutan menyita lahan itu. Padahal, kakek-nenek mereka sudah mengelola tanah itu.
Warga berkeras memperjuangkan hak kelola melalui skema perhutanan sosial.
“Kami bukan penyerobot, kami hanya ingin hidup dari tanah yang sudah lama kami rawat,” katanya.
Sejak 1998, warga desa yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Perjuangan Tani Sejahtera (Gakoptas), berkonflik dengan perusahaan sawit PT Torganda, perusahaan DL Sitorus.
Warga merasa perusahaan masuk dan merampas lahan yang mereka sudah beli dan melalui mekanisme adat. Sebagian besar wilayah itu dulu merupakan bekas hak pengusahaan hutan (HPH).
Mahkamah Agung pun sempat memutus perusahaan melakukan tindak pidana kehutanan, 2006, dan memenjarakan pemiliknya. Lahan 47.000 hektar tetap jadi kebun sawit sampai negara sita melalui Satgas PKH, April 2025.
Sekarang, wacana pengalihan pengelolaan lahan itu ke salah satu BUMN membuat warga resah. Meski tidak ada intimidasi, warga mengaku manajemen Agrinas melakukan pendekatan dan mengajak warga membentuk koperasi untuk skema bagi hasil 80:20.
“Warga kami menolak, karena mereka yang menanam, mereka yang panen, dan mereka juga yang jual. Masa iya, harus bagi hasil dengan perusahaan yang tidak ikut menanam?” kata Parubahan.
Dia bilang, warga punya kapasitas mengelola tanah secara lestari. Sebagian bahkan terbuka mengembangkan skema perhutanan sosial. Jadi, bisa mereka arahkan untuk penanaman jenis kayu, buah ataupun kayu keras.
“Kami adalah petani dan pekebun, jadi sudah terbiasa dengan itu.”
Rianda Purba, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut, bilang, warga tidak menuntut kepemilikan lahan, melainkan akses legal pengelolaan melalui skema perhutanan sosial.
Sejak 2019, kawasan yang terkenal dengan sebutan Register 40 itu bahkan masuk dalam peta indikatif areal perhutanan sosial (PIAPS), namun tanpa tindak lanjut.
“Kami bersama warga sudah menyerahkan usulan perhutanan sosial lengkap pada Februari 2025. Hingga sekarang jawaban dari Kementerian Kehutanan tetap normatif, tidak ada langkah konkret,”
Parubahan bilang, warga sudah mengadu ke DPD yang Walhi fasilitasi. Dalam pertemuan, hadir perwakilan Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR/BPN) dan Kementerian Kehutanan.
Dia mengeluhkan kembali ihwal hak guna usaha perusahaan yang menginjak ruang hidup warga. Meski dapat respons positif, dia ingin ada penyelesaian yang konkret.
“Yang warga perjuangkan itu untuk hidup, menyekolahkan anak. Lahan mereka kecil, rata-rata di bawah lima hektar.”

Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.
Negara melanggar hukum?
Rianda menyebut, penertiban kawasan hutan memunculkan babak baru konflik agraria. Negara, katanya, justru jadi pelanggar hukum.
“Lepas dari kandang buaya, masuk ke kandang harimau. Konflik lama belum selesai, kini muncul aktor baru dengan cara yang tak kalah bermasalah.”
Dia bilang, warga sudah membayar adat lahan itu sejak lama. Mereka berjuang 27 tahun melawan perusahaan tanpa ada penyelesaian dari pemerintah.
Hasil investigasi Walhi, penyitaan lahan oleh Satgas PKH berujung pada penyerahan ke Kementerian BUMN. Mereka sesalkan penyerahan itu tidak melalui prosedur legal yang jelas.
Tidak ada dasar hukum dalam Perpres 5/2025 yang menyebut lahan sitaan satgas bisa beralih ke BUMN. Apalagi, katanya, Agrinas tidak memiliki izin resmi pengelolaan kawasan hutan.
“Kami mendapat informasi bahwa pada 25 April 2025, dalam satu hari, terjadi tiga berita acara, yaitu dari Satgas ke Kementerian Kehutanan, dari Kementerian Kehutanan ke Kementerian BUMN, dan akhirnya ke PT Agrinas. Semua dilakukan secara tertutup tanpa keterlibatan masyarakat yang berkonflik.”
Perpres 5/2025, katanya, membuat peran Kementerian Kehutanan dalam penyelesaian konflik terpinggirkan. Direktorat Perhutanan Sosial bahkan tidak terlibat dalam Satgas. Yang ada, justru Dirjen Penegakan Hukum, Planologi, hingga Kementerian Pertahanan dan Kejaksaan Agung.
Walhi menilai, keterlibatan militer dalam Satgas PKH dan penyerahan lahan ke BUMN tanpa prosedur yang sah ini berpotensi melanggar hukum. Juga membuka kemungkinan praktik korupsi terselubung menggunakan kekuasaan negara.
“Dulu dikuasai swasta, sekarang masuk negara, tapi praktiknya tidak transparan. Ini ibarat bursa transfer, pemain lama diganti, tapi aturan mainnya tetap menindas.”

Kembalikan ke rakyat
Walhi mendesak pemerintah selesaikan konflik agraria di kawasan hutan dengan pendekatan pemulihan hak dan lingkungan, bukan penertiban sepihak yang membuka ruang praktik eksploitatif.
Rianda bilang, penataan kawasan hutan harus mendahulukan hak warga yang sudah puluhan tahun mengelola lahan.
Warga, katanya, harus jadi subjek, bukan objek.
“Pengelolaan berbasis rakyat, seperti perhutanan sosial atau reforma agraria, jauh lebih berkelanjutan.”
Saat ini, Walhi menyiapkan langkah hukum terhadap Kementerian Kehutanan dan Satgas PKH, serta mengevaluasi kemungkinan gugatan terhadap pengelolaan Agrinas yang tidak transparan.
Seharusnya, penyelesaian konflik tenurial lebih utama ketimbang pemasukan negara dari lahan sitaan. Negara, katanya, tidak boleh menjadikan lahan konflik sebagai ladang bisnis baru.
Kasus Padang Lawas Utara, katanya, menjadi contoh rumitnya penyelesaian konflik agraria yang tidak adil. Penertiban kawasan hutan tidak bisa secara represif dan tertutup.
Negara, harus mengakui keberadaan masyarakat adat dan lokal sebagai pengelola sah sumber daya alam. Jika tidak, warga akan terus merasa terpinggirkan dan krisis kepercayaan terhadap negara.
“Perebutan ruang hidup ini hanya bisa diselesaikan jika pengelolaan sumber daya alam dikembalikan ke tangan rakyat.”
Mongabay coba hubungi Komandan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), Dody Triwinarto untuk mengonfirmasi hal ini. Telepon dan pesan lewat aplikasi WhatsApp tidak mendapat respons hingga berita ini terbit.

*****