- Pulau-pulau di Maluku Utara (Malut) menyimpan potensi besar sumber pangan lokal. Hasil identifikasi sumber daya genetik (SDG) tanaman pangan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Malut 2020 menunjukkan keragaman pada akses pangan lokal itu. Setidaknya, ada 49 tanaman pangan dan holtikultura terdaftar di Pusat Pendaftaran Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) Kementerian Pertanian (Kementan).
- Joko Nugroho, petani Desa Sahu Timur, Halmahera Barat menyadari betul kekayaan sumber pangan di Malut. Selama bertahun-tahun, dia menanam batatas, sejenis umbi-umbian untuk sumber ekonomi dan juga pangannya.
- Andriko Noto Susanto, Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional, mengakui, Malut termasuk daerah yang kaya akan sumber pangan lokal. Sagu, jagung, pisang, dan umbi-umbian bukan hanya bagian dari tradisi kuliner, tetapi juga dapat menjadi penopang ketahanan pangan masyarakat.
- Kendati memiliki sumber pangan lokal melimpah, pola konsumsi masyarakat masih relatif rendah. Karena itu, diversifikasi konsumsi sebagai langkah mendesak agar kebutuhan pangan tidak hanya bersumber dari beras.
Pulau-pulau di Maluku Utara (Malut) menyimpan potensi besar sumber pangan lokal. Hasil identifikasi sumber daya genetik (SDG) tanaman pangan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Malut 2020 menunjukkan keragaman pada akses pangan lokal itu.
Setidaknya, ada 49 tanaman pangan dan holtikultura terdaftar di Pusat Pendaftaran Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) Kementerian Pertanian (Kementan). Meliputi, 41 aksesi tanaman pangan (13 varietas padi, dua varietas jagung, sembilan ubi kayu, 11 ubi jalar, lima kacang tanah, satu kacang tunggak) dan delapan tanaman hortikultura, satu jeruk, satu bawang merah, dua pisang, empat sukun.
Joko Nugroho, petani Desa Sahu Timur, Halmahera Barat menyadari betul kekayaan sumber pangan di Malut. Selama bertahun-tahun, dia menanam batatas, sejenis umbi-umbian untuk sumber ekonomi dan juga pangannya.
“Sayang kalau potensi ini tidak dimanfaatkan,” katanya kepada Mongabay.
Pada 21 Agustus lalu , bersama dua pekerja, istri dan anaknya, dia memanen batatas yang dia tanam beberapa bulan lalu. Dari hasil panen itu, Joko bisa mendapat Rp8 juta untuk setiap hektar. Jauh lebih menjanjikan ketimbang tanam jagung atau sayur-sayuran.
“Awalnya, bertanam sayur mayur. Lalu beralih tanam jagung. Karena hasil jagung per hektar hanya Rp2 juta, saya menanam batatas sebagai tanaman sela jagung,” katanya.
Setelah panen, hasil batatas lebih bagus. “Sekali panen bisa dapat Rp8 juta.” Dia pun terus menanamnya.
Joko menjual hasil panenan hingga ke luar daerah seperti Halmahera Tengah, Ternate, hingga Maluku Tenggara dengan harga Rp180.000-200.000 setiap karung.
Permintaan akan batatas cukup tinggi. Dia bahkan tak mampu memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat agar panen bisa berjalan terus menerus,
Joko membagi dua hektar lahan menjadi empat petak, masing-masing berukuran 5×50 meter.
Dia bergiliran menanami petak-petak itu dengan harapan bisa panen bergiliran. Jadi jika lahan pertama tanam, dua bulan kemudian lahan berikutnya, begitu seterusnya.
Dengan begitu, setok batatas akan terus mengalir. “Biar panen berkesinambungan terus. Ini juga untuk menjaga stok produksi memenuhi permintaan pasar yang terbilang sangat tinggi.”

Menjanjikan
Kendati memiliki potensi pasar menjanjikan, persoalan utama justru ada pada ketersediaan bibit. Untuk mensiasati itu, Joko mengembangkan bibit mandiri dari jenis batatas lokal yang dia dapatkan dari para petani.
Sampai saat ini, ada empat jenis batatas yang Joko kembangkan yakni batatas warna tinta (ungu), oranye daun jari-jari, kuning daun jari-jari serta putih daun lebar.
Dia bilang, sesuai kebiasaan warga Suku Tobaru maupun Sahu, dua etnis asli di Halmahera Barat, batatas biasa mereka tanam sebagai sela di antara tanaman pangan lain (tumpangsari).
Menanam batatas tidak memerlukan perawatan ekstra. Joko juga hanya andalkan pupuk kompos untuk perawatan. Dalam setahun, dia bebaskan lahan dari tanaman untuk mengembalikan kesuburan tanah.
Sebelumnya Joko pernah mencoba gunakan pupuk pestisida tetapi hasil malah tak maksimal. Alih-alih banyak umbi batatas justru lebih banyak daun. Sejak saat itu dia tak lagi pakai pestisida.
Menurut Joko, ada banyak keunggulan dari menanam batatas. Selain bernilai ekonomi tinggi, tanaman ini juga lebih adaptif dengan kondisi cuaca yang kering. Tanaman ini tidak terlalu banyak butuh air.
“Tidak terlalu banyak butuh air. Cukup di petakan lahan dibuat larikan untuk mengalirkan air saat hujan. Jika airnya melimpah menyebabkan busuk pada umbi.”
Andriko Noto Susanto, Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional, benarkan, Malut termasuk daerah kaya sumber pangan lokal. Sagu, jagung, pisang, dan umbi-umbian bukan hanya bagian dari tradisi kuliner, tetapi dapat menjadi penopang ketahanan pangan masyarakat.
Sayangnya, kendati memiliki sumber pangan lokal melimpah, pola konsumsi masyarakat masih relatif rendah. Karena itu, kata Noto, diversifikasi konsumsi sebagai langkah mendesak agar kebutuhan pangan tidak hanya bersumber dari beras.

Belum banyak termanfaatkan
Data BPS 2024 mencatat, Malut masih “mengimpor” sekitar 62% beras dari Sulawesi dan Jawa. Konsumsi beras per kapita tercatat mendominasi. Sementara itu, produksi sagu, jagung, dan umbi-umbian lokal yang berpotensi tinggi belum sepenuhnya termanfaatkan.
“Padahal, jika potensi ini dioptimalkan, Malut tidak hanya lebih tahan terhadap pasokan gejolak, juga lebih berdaulat dalam pangan.”
Noto ingatkan pentingnya membangun sistem distribusi pangan yang lebih adaptif. Hal ini meliputi pemanfaatan tol laut, peningkatan armada logistik antar pulau, hingga dukungan pemerintah daerah dalam menyediakan fasilitas penyimpanan yang memadai. “Distribusi adalah kunci. Tanpa distribusi yang lancar, pangan tersedia di pusat, tidak sampai ke daerah.”
Sherly Tjoanda, Gubernur Malut menyatakan, kedaulatan pangan merupakan agenda strategis daerah, sejalan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Saat ini ada tiga langkah utama pemerintah provinsi terkait soal pangan.
Pertama, memperkuat infrastruktur dan sarana pertanian, termasuk ketersediaan air irigasi. Kedua, mengembangkan teknologi dan benih unggul yang adaptif terhadap perubahan iklim serta mendorong mekanisasi pertanian. Ketiga, melindungi petani dari praktik perdagangan yang merugikan.
“Maluku Utara adalah provinsi kepulauan, sehingga sangat perlu kerja sama pusat dan daerah dalam memperkuat sistem pangan. Pemerintah daerah berkomitmen mengoptimalkan pangan lokal sekaligus memastikan distribusi berjalan lancar,” kata Sherly.
Dia menyebut, integrasi program pembangunan pangan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat sangat penting. Diversifikasi pangan, katanya, tidak hanya mendukung kedaulatan pangan, juga membuka peluang pasar baru bagi petani dan pelaku usaha lokal.
“Jika sagu, pisang, atau jagung kita bisa naik kelas menjadi produk olahan bernilai tambah, maka masyarakat tidak hanya memiliki pangan yang cukup, tetapi juga sumber penghidupan yang lebih baik.”
Kondisi ini juga efektif kurangi kerentanan pangan di wilayah kepulauan dan memperkuat kemandirian daerah.

Kurangi ketergantungan beras
Erna Rusliana M. Saleh, Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Cabang Ternate memberikan beberapa catatan soal pangan lokal dan ketergantungan warga Malut pada beras.
Menurut dia, produksi umbi-umbian Malut berpeluang menggeser dominasi beras sebagai sumber pangan.
Beberapa jenis ubi-ubian yang kaya karbohidrat dan berpotensi mengganti beras di antaranya singkong, ubi jalar, talas, gadung, sagu, pisang dan sukun.
“Beberapa komoditas itu memiliki indeks glikemik rendah, yang menyehatkan bagi penderita diabetes.”
Indeks glikemik nasi termasuk tinggi, antara 88– 89, singkong di bawah 55, ubi jalar 54, talas sekitar 54.
“Harusnya sagu sebagai pangan lokal tidak diabaikan sebagai sumber pangan pokok utama Malut, karena termasuk di antara daerah penghasil besar di Indonesia.”
Sagu mengandung 84 gram karbohidrat per 100 gram. Karena itu, potensial sebagai sumber energi.
Erna jelaskan, tingginya ketergantungan masyarakat terhadap beras, meski banyak sumber pangan lokal lain tak lepas dari kebijakan pemerintah pada 1980-an. Namun, belakangan muncul kecenderungan masyarakat kembali pada sumber pangan lokal lainnya.
Dalam berbagai momen tertentu di keluarga atau tempat kerja kota maupun desa, mengkonsumsi sagu olahan jadi popeda maupun kobong. Bahkan, ada tradisi di beberapa daerah, pada Jum’at, tersaji makanan kobong yang terdiri dari papeda, rebus-rebusan ubi-ubian dan pisang, lalapan sayur serta kuah ikan.
*****