- Warga Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, Kabupaten Jember, Jawa Timur, dalam tiga minggu terakhir di Bulan September, terusik kehadiran seekor monyet ekor panjang.
- Data Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur, mencatat tujuh orang jadi korban gigitan. Lukanya, mulai cakaran ringan hingga robekan serius mendekati urat. Seorang korban merupakan anak tujuh tahun, yang digigit di telapak kaki saat di depan rumahnya.
- Persoalan utama gigitan monyet bukan sekadar risiko rabies, melainkan trauma luka dan infeksi. Gigitan primata yang mempunyai perilaku intimidatif ini, kerap dipersepsikan mirip gigitan anjing, meski berbeda. Luka akibat gigitan monyet berupa robekan dalam, yang jika tidak segera ditangani, berujung infeksi serius.
- Sifat pendendam yang membuat monyet ekor panjang kerap berinteraksi negatif dengan manusia, secara ilmiah berkaitan dengan insting satwa liar. Saat merasa tertekan atau disakiti, monyet akan melakukan serangan balik. Monyet mempunyai kecerdasan memilih target.
Warga Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, Kabupaten Jember, Jawa Timur, dalam tiga minggu terakhir di Bulan September, terusik kehadiran seekor monyet ekor panjang. Data Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur, mencatat tujuh orang jadi korban gigitan. Lukanya, mulai cakaran ringan hingga robekan serius mendekati urat. Seorang korban merupakan anak tujuh tahun, yang digigit di telapak kaki saat di depan rumahnya.
Hery Wijayanto, dokter hewan sekaligus primatologist dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM), mengingatkan pentingnya penanganan pertama ketika seseorang digigit Macaca fascicularis.
“Segera bilas luka gigitan dengan air mengalir menggunakan sabun, minimal 10-15 menit,” jelasnya Kamis (25/9/2025) siang.
Tindakan ini membantu membersihkan kotoran, bakteri, atau virus yang mungkin terbawa dari mulut monyet. Untuk mencegah infeksi, luka diberikan antiseptik dan tidak digosok, lalu ditutup kain kasa secara longgar, agar tidak ada gesekan sekaligus memberi sirkulasi udara. Langkah berikutnya, korban dibawa ke fasilitas kesehatan.
Penanganan medis tidak boleh lebih 24 jam, setelah gigitan terjadi.
“Lebih dari itu, risikonya tinggi. Harus ada penanganan medis untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” jelasnya.

Trauma luka dan infeksi
Persoalan utama gigitan monyet bukan sekadar risiko rabies, melainkan trauma luka dan infeksi. Gigitan primata yang mempunyai perilaku intimidatif ini, kerap dipersepsikan mirip gigitan anjing, meski berbeda. Luka akibat gigitan monyet berupa robekan dalam, yang jika tidak segera ditangani, berujung infeksi serius.
Screening kesehatan satwa ini juga penting, terutama yang dipelihara. Interaksi dengan hewan lain seperti anjing, kucing, ayam atau mamalia, membuat monyet ekor panjang berpotensi jadi reservoir berbagai patogen.
“Beberapa penyakit yang paling diwaspadai dari monyet peliharaan yaitu hepatitis dan tuberkulosis (TBC),” jelas Hery.
Kedua penyakit ini bisa menular, tanpa gejala khas seperti pada manusia. Misalnya, monyet yang terkena TBC tidak menunjukkan batuk, melainkan hanya terlihat kurus, namun tetap mau makan.
Saat memasuki stadium akhir, monyet tersebut biasanya pasif selama satu hingga dua hari, lalu mati. Hery mengatakan, hampir 90 persen DNA manusia identik dengan monyet ekor panjang. Artinya, kemungkinan transfer penyakit sangat besar.
“Kita tidak tahu misalnya yang memelihara itu punya sakit apa. Karena DNA hampir sama, sehingga saling bertukar.”
Gangguan kesehatan monyet dapat dikenali dari tanda-tanda fisik sederhana, seperti rambut kusam, tubuh kurus, hingga perubahan perilaku.
“Kalau ada gejala agresivitas, misalnya mata merah dan cenderung menyerang tanpa provokasi, itu tanda bahaya. Kalau tanpa provokasi dia menggigit, kemungkinan rabies.”
Namun, bila agresi muncul akibat provokasi atau pengalaman disakiti, ini lebih merefleksikan respon trauma.
“Dalam banyak kasus, monyet yang dilepas atau ditinggalkan pemiliknya, justru melampiaskan dendam pada manusia lain yang dianggap lemah–seperti anak-anak, wanita atau orang tua.”

Interaksi negatif
Benvika, Direktur Jakarta Animal Aid Network (JAAN), mengatakan hal senda. Sifat pendendam yang membuat monyet ekor panjang kerap berinteraksi negatif dengan manusia, secara ilmiah berkaitan dengan insting satwa liar.
Saat merasa tertekan atau disakiti, monyet akan melakukan serangan balik. Monyet mempunyai kecerdasan memilih target.
“Kalau melihat lawannya lebih kuat, mereka menghindar. Tapi begitu lawannya lemah, mereka pasti menyerang.”
Sejak berdiri 2008, JAAN sudah berulang kali menerima laporan konflik manusia dengan monyet ekor panjang. Kasus terbanyak di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam setahun, bisa tiga sampai lima kali JAAN diminta bantuan evakuasi. Masalahnya, bukan karena populasi monyet terlalu banyak, melainkan belum ada larangan tegas dari pemerintah untuk memelihara monyet.
“Padahal, monyet ekor panjang masuk daftar Appendix II CITES, dan sempat diusulkan naik ke Appendix I karena ancaman populasi akibat perdagangan dan eksploitasi.”
Menurutnya, regulasi lemah membuat masyarakat memelihara monyet. Saat monyet tumbuh besar dan sulit diurus, pemilik sering melepas sembarangan. Dari situ konflik muncul. Penanganan tidak boleh menggunakan kekerasan. Beberapa kasus menunjukkan, saat monyet dilempari, mereka justru makin agresif.
“Itu yang membuat monyet dendam karena merasa disakiti.”
Di Bali, JAAN pernah terlibat program BKSDA untuk menekan konflik monyet. Pemerintah daerah saat itu mengeluarkan imbauan keras agar masyarakat tidak memelihara monyet. Bila tetap memelihara, diwajibkan membuat kandang yang layak dan monyetnya disteril.
“Kami pasang chip untuk melacak. Kalau ada pergantian monyet tanpa izin, pemiliknya kena hukuman adat. Langkah tegas ini efektif. Jumlah konflik berkurang, sekaligus menekan praktik pemeliharaan ilegal.”

Monyet peliharaan
Dikutip dari keterangan resmi BKSDA Jawa Timur, kuat dugaan kuat bahwa monyet yang menyerang warga Kulungkung, bukan satwa liar murni dari hutan, melainkan individu peliharaan yang lepas atau sengaja dilepaskan. Hal ini terlihat dari keberaniannya mendekati manusia, bahkan menyerang tanpa rasa takut.
Nur Patria Kurniawan, Kepala BBKSDA Jawa Timur, menegaskan agar masyarakat tidak memelihara monyet ekor panjang. Bila terlanjut dipelihara, tidak boleh dilepas sembarangan.
“Satwa yang terbiasa dengan manusia, berpotensi menimbulkan konflik dan membahayakan keselamatan,” jelasnya, Selasa (23/9/2025).
Selain itu, jangan memberi makanan kepada satwa liar. Sebab, kebiasaan ini bisa membuat mereka terbiasa (terhabituasi), menunggu makanan.
“Bahkan, menyerang orang yang membawa makanan ketika lapar,” paparnya.
*****