- Hidup beruk bukan di kandang sebagai hewan peliharaan, tetapi di hutan sebagai habitat alaminya.
- Sebab, banyak kasus hewan peliharaan yang diserahkan ke pusat konservasi dalam keadaan mengenaskan– rantai membekas di leher, luka infeksi di kaki akibat kandang sempit, hingga kehilangan anggota tubuh akibat kekerasan.
- Masalah terbesar hewan peliharaan, sering tersembunyi di balik perilakunya. Sebut saja stereotip atau gerakan berulang tanpa tujuan, yang kerap terlihat saat di kandang sempit dan miskin stimulasi. Atau, menggigit jeruji tanpa henti. Perilaku ini jadi tanda bahwa hewan mengalami stres berat karena jauh dari lingkungan alaminya.
- Pada usia dewasa, terutama saat birahi, naluri beruk untuk mencari pasangan dan mempertahankan wilayah akan muncul. Bila perilaku ini tak terpenuhi, dampaknya akan menimbulkan sifat abnormal atau dianggap agresif pada manusia.
Beruk bukanlah hewan peliharaan. Hidupnya bukan di kandang, tetapi di hutan.
Di Magetan, Jawa Timur, seekor beruk yang selama bertahun dipelihara menyerang anak pemiliknya. Beruk tersebut akhirnya diserahkan ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur.
Deviana Prasindy, dokter hewan ahli pertama BBKSDA Jawa Timur, menjelaskan beruk dalam kondisi baik.
“Tidak ada cacat maupun cedera,” jelasnya, Selasa (16/9/2025).
Sebab, banyak kasus hewan peliharaan yang diserahkan ke pusat konservasi dalam keadaan mengenaskan– rantai membekas di leher, luka infeksi di kaki akibat kandang sempit, hingga kehilangan anggota tubuh akibat kekerasan.
Meski tidak ditemukan luka fisik, namun pemeriksaan awal wajib dilakukan. Prosedurnya mencakup observasi luka luar, kondisi kulit dan bulu, pengecekan gigi untuk perkiraan usia, hingga pemeriksaan feses untuk mendeteksi parasit usus.
Dari pengamatan gigi, usia beruk diperkirakan 4-6 tahun. Ini merupakan fase awal dewasa, saat naluri kawin dan agresivitasnya muncul.
“Selain pemeriksaan fisik, tanda-tanda gangguan metabolik seperti malnutrisi, obesitas, atau kahexia juga terlihat. Kondisi umum satwa yang lama dipelihara manusia, terutama minim perawatan.”
Macaca nemestrina ini memerlukan asupan pakan alami seimbang, seperti buah, biji, umbi, serangga, bahkan hewan kecil.
Namun, saat dipelihara manusia, pakan ini kerap diganti nasi, roti, atau makanan ringan tinggi gula dan garam. Akibatnya, masalah kesehatan mengintai primata cerdas ini.
“Penyakit yang muncul bisa helminthiasis, malnutrisi kahexia, atau malah obesitas karena pola pakan yang tak sesuai.”

Potensi penyakit
Beruk juga berpotensi membawa penyakit zoonosis yang menular ke manusia, maupun sebaliknya, seperti tuberkulosis, rabies, atau hepatitis. Setiap orang yang pernah tergigit atau tercakar beruk, harus segera membersihkan luka dengan air mengalir dan mendatangi fasilitas kesehatan.
“Segera ke dokter untuk dapatkan penanganan medis,” tambah Deviana. “Termasuk, kemungkinan pemberian vaksin rabies atau pemeriksaan lanjutan terhadap infeksi hepatitis.”
Masalah terbesar hewan peliharaan, sering tersembunyi di balik perilakunya. Sebut saja stereotip atau gerakan berulang tanpa tujuan, yang kerap terlihat saat di kandang sempit dan miskin stimulasi. Atau, menggigit jeruji tanpa henti. Perilaku ini jadi tanda bahwa hewan mengalami stres berat karena jauh dari lingkungan alaminya.
Beruk peliharaan juga menunjukkan automutilasi (menyakiti diri sendiri), apatis, atau bahkan agresivitas terhadap manusia.
“Agresif merupakan sifat liar alami beruk.”
Pada usia dewasa, terutama saat birahi, naluri untuk mencari pasangan dan mempertahankan wilayah akan muncul. Bila perilaku ini tak terpenuhi, dampaknya akan menimbulkan sifat abnormal atau dianggap agresif pada manusia.
“Ini sebabnya, banyak kasus beruk yang semula jinak mendadak menyerang pemilik atau anggota keluarga. Terutama, anak-anak.”

Aturan ketat
Nur Patria Kurniawan, Kepala BBKSDA Jawa Timur, menegaskan secara hukum nasional beruk belum dikategorikan sebagai satwa dilindungi. Namun, ada aturan ketat yang mengatur asal-usul, peredaran, hingga pengawasan perizinannya. Beruk yang diambil dari alam atau diperdagangkan tanpa izin dianggap ilegal.
Beruk terdaftar dalam Appendix II Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa dan Tumbuh Liar atau CITES. Artinya, perdagangan atau peredarannya tetap wajib berizin dan harus berasal dari sumber yang sah, bukan hasil tangkapan liar tanpa kuota atau izin.
“Bagi yang melanggar, dikenai sanksi PP No. 8 Tahun 1999,” jelasnya, Rabu (17/9/2025).
Sanksi mencakup denda administrasi, penyitaan, hingga pencabutan izin usaha, terutama bagi penangkar atau pelaku perdagangan satwa yang tidak mematuhi prosedur. Untuk warga yang kedapatan memelihara beruk tanpa izin, akan dilakukan pendekatan persuasif agar segera menyerarahkan ke BKSDA.
“Dengan berbagai pihak, kami rutin melakukan pengawasan ke lembaga konservasi maupun penangkar satwa berizin.”
Namun, pengawasan terhadap satwa yang dipelihara secara perseorangan menjadi tantangan tersendiri. Banyak kasus beruk yang dipelihara bertahun tanpa terdeteksi. Penyebabnya, status hukum beruk yang belum dilindungi membuat pengawasan publik cenderung longgar.
“Budaya dan pemanfaatan tradisional, pemeliharaan tersembunyi atau tidak berizin, serta perdagangan daring dan keterbatasan sumber daya untuk pengawasan juga menjadi masalah.”

Amanda Yonica Poetri Faradifa, Coordinator Social Media Animal Cruelty Coalition and Macaque Coalition-Asia for Animals, mengatakan minimnya perlindungan hukum membuat permintaan pasar tetap tinggi, karena citra beruk yang dianggap ‘lucu’.
Disamping itu, ketidaktahuan status hukum menjadi penyebab maraknya pemeliharaan beruk di Indonesia.
“Kombinasi ini menciptakan siklus berbahaya, satwa liar terus ditangkap di alam, diperdagangkan secara ilegal, dipelihara hingga dewasa, lalu berakhir di pusat penyelamatan satwa ketika sifat liarnya kembali muncul.”
Melihat maraknya pemeliharaan dan perdagangan beruk, Amanda mendesak pemerintah untuk meninjau ulang status perlindungan beruk di negara yang memiliki jumlah spesies primata antara 59-64 jenis ini. Dimulai dengan penghitungan populasi. Jika datanya mendukung, statusnya dinaikkan.
*****
Bukan Satwa Endemik Pulau Jawa, Beruk Berkeliaran di Perumahan Warga Banten