- Tim Direskrimum Polda Kepulauan Riau (Kepri) gagalkan upaya penyelundupan ribuan satwa dari dua tempat berbeda. Dari lokasi, polisi sita dua ribu kilogram kulit pari kikir, ribuan serangga jenis cicada (tonggeret) yang tersimpan dalam 86 karung seberat 867 kilogram, serta dua boks kelabang berisi 8.820 ekor, serta ribuan telur penyu tanpa dokumen resmi.
- Kombes. Pol. Silvester Mangombo Marusaha Simamora, Direkreskrimsus Polda Riau katakan, ribuan satwa tersebut akan dikirim ke Vietnam dan Singapura melalui jalur tikus. Saat ini, polisi masih memburu LAM, warga negara Vietnam yang diduga sebagai pemilik barang tersebut.
- Vania Safira, Koordinator Hukum dan Advokasi Garda sayangkan langkah polisi yang tidak menahan para pelaku, meski bukti di tangan cukup kuat. Menurutnya, para pemilik jelas melanggar ketentuan Undang-Undang 34 tahun 2024 yang melarang pemeliharaan satwa lindung, baik dalam keadaan hidup, serta menyimpan dan memperdagangkan satwa lindung beserta bagian tubuhnya.
- Yon Rombisihotang, Kepala Resort Wilayah II Batam Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau menyebut sejumlah alasan mengapa pemilik ribuan penyu tidak ditahan. Salah satunya, karena penyu di daerah asal barang tersebut melimpah.
Tim Direskrimum Polda Kepulauan Riau (Kepri) gagalkan upaya penyelundupan ribuan satwa dari dua tempat berbeda. Aksi pertama, Direskrimum Polda Kepulauan Riau (Kepri) menggerebek ruko di Slamon Golden City, Batam, yang menjadi tempat penyimpanan satwa liar, Rabu (20/8/25). Hasilnya, 2.000 kilogram kulit pari kikir siap kirim ke luar negeri berhasil petugas amankan.
Petugas juga sita ribuan serangga jenis cicada (tonggeret) yang tersimpan dalam 86 karung 867 kilogram, serta dua boks kelabang berisi 8.820 ekor tanpa dokumen resmi. “Semua barang ini akan dikirim ke Vietnam melalui jalur tidak resmi,” kata Kombes. Pol. Silvester Mangombo Marusaha Simamora, Direkreskrimsus Polda Kepri saat pers rilis, Kamis (21/8/25).
Saat jumpa pers dua pekan lalu, polisi tunjukkan sejumlah barang bukti kepada awak media. Selain puluhan karung berisi kulit pari kering, polisi juga tunjukkan sejumlah barang bukti lain. Di antaranya burung kakak tua hingga ribuan butir telur penyu yang akan diselundupkan ke Singapura.
Silvester katakan, modus pelaku adalah dengan memanfaatkan jalur tikus dan memalsukan dokumen ekspor. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp1,3 miliar.

Belum ada tersangka
Sejauh ini belum ada tersangka tas kasus tersebut. MH, pemilik ruko masih berstatus saksi. Sedangkan LAM, warga negara Vietnam yang merupakan pemilik barang itu masih dalam pengejaran polisi.
Sebelumnya, polisi juga ungkap kasus pelanggaran konservasi satwa lindung selama kurun Agustus 2025. Dalam rangkaian operasi ini, polisi amankan 16 burung betet (Psittacula alexandri) dari sebuah tempat kos di Perumahan Cendana, Batam.
Kemudian, 2.020 telur penyu hijau chelonia mydas di Hotel Leon Inn, Batam, yang berasal dari Pulau Tambelan. Ada juga satu kakatua jambul putih, satu kakatua jambul kuning, satu beo tiung emas, dan satu nuri kepala hitam di Perumahan KDA Cluster Punai 9, Batam.
Saat ini, seluruh satwa sudah di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Batam untuk menjalani proses karantina sebelum dilepasliarkan.
“Seluruh satwa dan telur penyu diamankan serta dititipkan ke Balai KSDA Batam untuk nantinya dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya,” jelas Silvester.
Pemilik tak terjerat?
Vania Safira, Koordinator Hukum dan Advokasi Garda sayangkan langkah polisi yang tidak menahan para pelaku, meski bukti di tangan cukup kuat. Menurut dia, para pemilik jelas melanggar ketentuan UU 34/2024 yang melarang pemeliharaan satwa lindung, baik dalam keadaan hidup, serta menyimpan dan memperdagangkan satwa lindung beserta bagian tubuhnya.
“Terkait polisi yang bebaskan dengan alasan tidak tahu, di dalam UU itu sudah jelas masuk dalam delik formil, artinya cukup terbukti perbuatannya itu sudah tindak pidana, tidak perlu mens rea (niat jahatnya),” katanya, Jumat, (22/8/25).
Dalam teori hukum, katanya, semua orang tahu akan hukum. Karena itu, tidak ada alasan bagi pelaku untuk keluar dari tanggung jawab pidana atas kasus ini karena alasan tidak tahu.
“Sebagai praktisi, alasan tidak tau itu bukan alasan sah membebaskan orang, karena kalau itu diterima, undang-undang konservasi kehilangan marwahnya,.”
Memang, kata Vani, ada bedanya orang awam yang memelihara satwa karena hobi dengan jaringan sindikat besar. Tetapi mekanisme pembuktian ini harus di pengadilan lewat proses hukum, bukan dibebaskan begitu saja. “Jadi, majelis hakim nanti yang memutuskan.”
Apa yang Kepolisian Kepri lakukan menjadi preseden buruk dalam penanganan pelanggaran satwa lindung. Membawa pelaku ke proses hukum, katanya, akan lebih adil ketimbang melepaskannya tanpa proses penyelidikan dan penyidikan yang transparan.
Dia mendorong kepolisian lebih serius untuk usut kasus ini. Terlebih, dari beberapa satwa yang diamankan, bukan endemik Kepri. Dengan kata lain, satwa-satwa itu sengaja para pelaku datangkan dengan melibatkan jaringan tertentu, antara lain, kakatua dan burung nuri endemik Papua.
“Artinya mustahil satwa ini sampai di Batam, tanpa jaringan terorganisir. Kalau kemudian berhenti dengan alasan pelaku tidak tahu, akhirnya jaringan besarnya tidak akan bisa terungkap.”
Karena itu, dia pun mendesak polisi menelusurinya secara tuntas dan membawanya ke pengadilan.

Alasan polisi
AKBP. Argya Satrya Bhawana, Kasubdit 4 Ditreskrimsus Polda Kepri mengatakan, hanya melakukan pembinaan terhadap pemilik burung dan ribuan penyu. Selain tidak tahu, alasan tidak jadi tersangka karena mereka bukan bagian dari sindikat perdagangan dan perburuan satwa.
“Itu karena ketidaktahuan. Kita tidak usah terlalu dalam begitu. Yang penting kita sudah menyelamatkan burung tersebut dan sudah serahkan, nanti diurus BSKDA. Yang burung asalnya dari Sulawesi kembalikan kesana, tergantung habitatnya, begitu saja,” katanya, Jumat, (23/8/25).
Namun, mereka pastikan telusuri kemungkinan jaringan besar terlibat dalam kasus ini. “Jaringan ada atau tidak, nanti kita tindak lanjutkan, kan ini ketidaktahuan pemilik dan penjual.”
Menurut Vani, posisi Batam yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia jadikan wilayah ini salah satu spot penyelundupan satwa. Karena itu, aparat tidak cukup hanya dengan mengandalkan patroli rutin, atau bersifat insidental. Tetapi, juga pelajari data intelijen tentang titik rawan jalur penyelundupan.
“Ini bukan cuma persoalan domestik nasional, tetapi ini perbatasan, secara karakter ini bisa kejahatan lintas internasional.”
Dia mendorong, pemerintah maksimalkan upaya diplomasi antar negara untuk perangi perdagangan satwa ilegal ini.
“Kalau dilihat praktiknya penyelundupan ini bisa dilakukan follow the money yang juga digalakan PPATK. Kalau selama ini penanganan hanya menyita satwa, seharusnya bisa dikejar ke aliran dananya,” katanya.

Apa kata BSKDA?
Yon Rombisihotang, Kepala Resort Wilayah II Batam. BBKSDA Riau menyebut, sejumlah alasan mengapa pemilik ribuan penyu tidak ditahan. Salah satunya, karena penyu di daerah asal barang itu melimpah. “Di Tembelan dikonsumsi ya, jumlahnya melimpah jadi melihat sumbernya itu, susah kita membatasi,” katanya.
Begitu juga soal burung. Yon bilang, banyak orang tidak mengetahui beberapa jenis burung lindung terbaru yang jumlahnya hampir capai 1.000 lebih. “Kami sendiri petugas identifikasi di lapangan yang dilindungi kami harus lihat daftar dulu, kecuali yang umum seperti gajah, harimau, lutung sudah tau.” Seperti burung betet dan beo, keduanya masih baru-baru mendapat status lindung.
Saat ini, BSKDA terus melakukan sosialisasi, meski terbatas pada toko hewan peliharaan atau pet shop karena keterbatasan personel. Di Batam hanya terdapat lima personel yang bawahi Batam dan Tanjungpinang. Itu pun, mereka juga fokus awasi kegiatan di hutan.
*****