- Belasan tahun sudah, sejak pertama kali RUU Masyarakat Adat masuk program legislasi nasional (prolegnas) pada 2011 hingga kini tak kunjung ada kejelasan. Anggota DPR berganti beberapa kali, presiden pun begitu tetapi, RUU yang penting untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat ini tak kunjung selesai. Tahun ini pun, RUU Masyarakat Adat masuk dalam prolegnas prioritas, tetapi sampai Agustus ini, masih juga belum ada kejelasan.
- Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, masyarakat adat adalah fondasi Indonesia sebagai negara berbangsa. Merobohkan masyarakat adat, sama dengan merobohkan fondasi Indonesia yang terkenal dengan keberagamannya. Sedangkan berbagai regulasi sekarang masih belum mampu mengakomodir berbagai instrumen yang masyarakat adat perlukan.
- Yance Arizona, Dosen Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada, mengatakan, perlu ada perubahan paradigma terkait masyarakat adat. Ketika bicara masyarakat adat, jangan sampai terjebak dalam proses pengakuan tetapi perlu lebih fokus pada perlindungan hak. Pemerintahan ada untuk melindungi segenap bangsa, termasuk masyarakat adat.
- Nur Amalia, Pendiri dan Dewan Pembina LBH APIK, mengatakan, perlu lembaga khusus untuk masyarakat adat. Dia lebih setuju jika lembaga itu independen dan berada di bawah koordinasi presiden langsung. Seharusnya, presiden saat ini tidak alergi dengan lembaga baru karena banyak kementerian pecah dan lembaga baru terbentuk.
Belasan tahun sudah, sejak pertama kali RUU Masyarakat Adat masuk program legislasi nasional (prolegnas) pada 2011 hingga kini tak kunjung ada kejelasan. Anggota DPR berganti beberapa kali, presiden pun begitu tetapi, RUU yang penting untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat ini tak kunjung selesai. Tahun ini pun, RUU Masyarakat Adat masuk dalam prolegnas prioritas, tetapi sampai Agustus ini, masih juga belum ada kejelasan.
Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan, pengesahan RUU Masyarakat Adat urgen.
Dia ambil satu contoh soal bahasa lokal punah perlahan. Berdasarkan data Kementerian Kebudayaan tahun 2024, terdapat 11 bahasa lokal di Indonesia punah.
Data UNESCO, setiap dua minggu, terdapat satu bahasa daerah punah, juga terdapat 441 bahasa daerah terancam hilang dalam beberapa tahun ke depan.
Belum lagi, kerentanan masyarakat adat karena pembangunan besar-besaran yang menggusur ruang hidup mereka, seperti proyek pangan skala besar (food estate) yang merampas ruang hidup masyarakat adat.
“Saya ingin menyatakan, masyarakat adat itu, dalam konteks Indonesia, itu belum dipandang sebagai satu entitas yang merupakan fondasi dari keberagaman Indonesia sebagai negara, kepingan Indonesia sebagai negara yang beragam,” katanya dalm diskusi daring “Meneguhkan Hak, Merawat Kearifan, Memperkuat Masyarakat Adat di Indonesi awal Agustus lalu.

Arman menegaskan, masyarakat adat adalah fondasi Indonesia sebagai negara berbangsa. Merobohkan masyarakat adat, sama dengan merobohkan fondasi Indonesia yang terkenal dengan keberagamannya.
“Kenapa itu terjadi? Karena memang situasi hukum yang dibangun dalam konteks masyarakat adat, khususnya peraturan sektoral itu, itu dibangun dengan kacamata yang mendiskriminasi,” katanya.
Sedangkan berbagai regulasi sekarang masih belum mampu mengakomodir berbagai instrumen yang masyarakat adat perlukan.
Banyak peraturan daerah, baik kabupaten atau provinsi, surat keputusan, dan lain-lain berlapis-lapis. Regulasi-regulasi itu tidak membentuk satu payung hukum besar yang mampu menaungi hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat adat.
“Seperti, kalau bicara hutan adat, maka ia berhubungan dengan Kementerian Kehutanan. Sedangkan bila bicara masalah ulayat, berhubungan dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/badan Pertanahan Nasional.”
Sejauh ini, kata Arman, masyarakat adat tidak banyak terlibat dalam proyek-proyek pembangunan nasional yang berhubungan dengan ruang hidup mereka. Tak heran, di lapangan banyak konflik masyarakat adat muncul.
“Kenapa? Karena proses-proses pembentukan hukum itu tidak mampu mengakomodir realitas lapangan masyarakat adat di wilayahnya masing-masing.”

Masyarakat adat, katanya, tidak anti pembangunan, tetapi ingin menjadi bagian bangsa ini sebagai warga negara yang utuh, hak-hak dapat penghormatan dan terlindungi oleh negara.
Dia bilang, hubungan antara masyarakat adat dengan tanah, setidaknya, bersangkut paut dengan empat realitas, yaitu, realitas religius, realitas historik, realitas ekologis, dan realitas ekonomi.
Kalau ada UU Masyarakat Adat nanti, dia harapkan mampu menjawab berbagai persoalan, termasuk konflik agraria yang masyarakat adat alami selama ini.
AMAN, katanya, juga mendorong satu kelembagaan pada tingkat nasional yang mengurusi tentang masyarakat adat. “Selama ini, kami memandang, pengaturan yang sektoral itu justru semakin sulit bagi masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan hak-haknya, hak tradisionalnya, dan juga … hal-hal yang berkaitan dengan masalah adat,” kata Arman.
Yance Arizona, Dosen Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada, mengatakan, perlu ada perubahan paradigma terkait masyarakat adat. Ketika bicara masyarakat adat, jangan sampai terjebak dalam proses pengakuan tetapi perlu lebih fokus pada perlindungan hak. Pemerintahan ada untuk melindungi segenap bangsa, termasuk masyarakat adat.
Menurut Yance, dalam diskursus tentang masyarakat adat perlu menempatkan mereka sebagai suatu entitas umum, tak terbatas pada terminologi masyarakat adat saja. Juga, perlu dengan pendekatan hak asasi manusia (HAM).
“Jadi kalau pendekatan HAM,, melihat mereka, eksistensi mereka, sebagai bagian dari hak asasi manusia masyarakat adat. Di situ ada tanggung jawab pemerintah untuk mengakui, melindungi, menghormati dan memenuhi hak mereka,” kata Yance.

Kekhawatiran bila pengakuan masyarakat adat akan menjadi negara dalam negara, itu tidaklah benar, hanya kecurigaan semata. Negara, katanya, malah perlu mengayomi, melindungi, dan membantu masyarakat adat sebagai warga negara.
Secara filosofis, dalam pembukaan UU 1945, negara ada untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Sedangkan masyarakat adat, katanya, bagian dari Indonesia, bahkan mereka lebih dulu ada dari republik ini.
“Kalau sampai hari ini setelah 80 tahun kita merdeka, masih ada banyak masyarakat adat yang tanahnya diambil, dirampas karena proses ekstraktif ataupun konservasi, berarti pemerintah harus mengambil tindakan konkret.”
Langkah untuk melindungi masyarakat adat, katanya, salah satu dengan mempersiapkan satu RUU Masyarakat Adat,” katanya.
Menurut Yance, secara yuridis, ada sejumlah ketentuan di dalam UUD 1945 yang mengatur tentang masyarakat adat, antara lain, Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3), Pasal 32 Ayat (1).
“Jadi, paling tidak ada tiga dasar konstitusional ketika kita bicara masyarakat adat. Meskipun ketiga dasar konstitusional itu menggunakan terminologi berbeda-beda, ya: kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional atau masyarakat secara umum.”
Untuk aturan ini, dia cenderung RUU Masyarakat Adat mengatur “masyarakat adat” bukan “masyarakat hukum adat” karena dalam masyarakat adat terdapat hukum adat jadi perlu istilah lebih umum.
“Kalau kita hanya mengatur tentang masyarakat hukum adat, maka kita hanya mengatur sebagai turunan dari Pasal 18B ayat 2. Lalu bagaimana dengan Pasal 28I ayat 3 [UUD 1945]?”
Setidaknya, ada 461 produk hukum daerah berupa perda, baik provinsi maupun kabupaten, yang mengatur masalah masyarakat adat dari berbagai dimensi. Namun, kerangka hukum itu tidak sinkron satu sama lain.
Yance usul, di Indonesia juga perlu lembaga khusus untuk mengurusi masyarakat adat, bisa berada di bawah Kementerian HAM atau langsung di bawah presiden.

Nur Amalia, Pendiri dan Dewan Pembina LBH APIK, sependapat dengan Yance dan Arman terkait perlu lembaga khusus untuk masyarakat adat. Dia lebih setuju jika lembaga itu independen dan berada di bawah koordinasi presiden langsung.
Seharusnya, presiden saat ini tidak alergi dengan lembaga baru karena banyak kementerian pecah dan lembaga baru terbentuk.
Bagi Amalia, pembuatan lembaga ini merupakan bagian dari afirmative action. Afirmative action harus karena, selama ini masyarakat adat tidak mendapatkan perlindungan yang seharusnya.
“Kelembagaan menjadi satu hal krusial untuk ada dan ini bagian dari afirmative action yang harus difasilitasi pemerintah,” katanya.
Dia beri catatan, dalam RUU Masyarakat Adat, perlu ada bab khusus tentang perlindungan perempuan dan anak adat.
“Kita tahu bahwa perempuan saja sudah terdiskriminasi, apalagi perempuan adat, maka dia akan menerima double atau multiple discrimination dari komunitas dia sebagai warga negara maupun dari komunitas adatnya sendiri,” katanya.
Hak kolektif perempuan adat terkait tiga hal, katanya, yakni, wilayah perempuan adat, pengetahuan perempuan adat, dan otoritas perempuan adat.

*****