- Sebuah studi menunjukkan kualitas udara berdampak pada kesehatan kulit. Studi tersebut memaparkan bagaimana paparan polusi udara yang terus menerus bisa mempercepat penuaan dini.
- Dampak polusi secara langsung menembus lapisan epidermis daripada masuk ke paru-paru. Ini memicu peradangan dan stres oksidatif.
- Konsumsi antioksidan topikal tak cukup untuk mengatasinya. Perlu ada kebijakan publik yang lebih menyeluruh.
- Indonesia menjadi negara terburuk di Asia Tenggara. Pulau Jawa menjadi pulau paling tercemar dengan kualitas udara paling buruk.
Polusi udara di kota-kota besar di Indonesia tak kian membaik. Tak hanya mengganggu fungsi pernapasan, kesehatan mental dan produktivitas, sebuah studi menyebutkan polusi udara berdampak buruk pada kesehatan kulit. Paparan polutan udara yang terus menerus bisa dianggap sebagai penyebab utama penuaan kulit.
Menurut laporan IQAir 2024, Indonesia menjadi negara terburuk di Asia Tenggara. Sementara itu, Jawa menjadi pulau paling tercemar dengan kualitas udara “sedang” hingga “tidak sehat” untuk kelompok sensitif. Rata-rata konsentrasi PM2.5 mencapai 35,5 µg/m³ atau tujuh kali lebih tinggi dari panduan kualitas udara WHO 2021.
“Bukti epidemiologis menyebutkan bahwa paparan polusi udara terkait lalu lintas, termasuk PM, NO2 dan O3, berhubungan dengan pembentukan bintik pigmentasi dan kerutan pada kulit orang Kaukasia maupun Asia Timur,” tulis penelitian yang dilakukan oleh Jean Krutmann, dkk.

Sedangkan di China, penelitian tersebut menyebutkan polusi udara dalam ruangan akibat memasak menggunakan bahan bakar padat mempercepat penuaan kulit juga. Radiasi ultraviolet dari sinar matahari telah dikenal lama menjadi penyebab utama penuaan dalam 20-30 tahun terakhir. Tapi saat ini, paparan polusi udara dari lingkungan menjadi masalah baru dalam dekade mendatang.
Penelitian Vital Strategies (2019), organisasi kesehatan masyarakat global menyebutkan sumber utama polusi tertinggi di Jakarta pada musim kemarau adalah asap knalpot kendaraan, yakni 42-57%. Sama halnya pada musim penghujan, 32-41% disebabkan asap kendaraan, diikuti dengan pembakaran batu bara sekitar 14%.
Krutmann, profesor sekaligus direktur Leibniz Research Institute for Environmental Medicine, mempelajari orang-orang di Jerman dan Cina menunjukkan kadar nitrogen oksida (NO2) meningkatkan bintik penuaan pada pipi. Jumlah bintiknya meningkat 25% untuk setiap kenaikan 10 µg/m³ NO₂.
Mervyn Patterson, dokter kulit di Woodford Medical, Inggris menyebutkan polusi kendaraan merupakan zat paling beracun bagi kulit dan lebih berbahaya daripada sinar UV dari matahari. “Tanpa langkah proteksi, orang akan menanggung akibat dari polusi di wajah mereka dalam waktu 10 tahun ke depan,” jelasnya.

Baca juga: Polusi Udara, Pembunuh Senyap Lintas Generasi
Saat polusi udara menembus kulit manusia
Kajian ilmiah dalam Free Radical Biology & Medicine (2020) menjelaskan dua pola utama bagaimana polusi mempercepat penuaan kulit. Pertama, efek tidak langsung melalui paru-paru, di mana partikel halus memicu peradangan sistemik yang kemudian berdampak pada kulit. Kedua, efek langsung ketika polutan menempel pada permukaan kulit dan menembus lapisan epidermis.
Proses ini dipicu oleh stres oksidatif (ROS) terjadi ketika produksi radikal bebas lebih tinggi daripada kapasitas antioksidan tubuh untuk menetralkannya. Ketidakseimbangan ini membuat ROS menyerang kolagen, elastin, dan DNA sel kulit, sehingga mempercepat kerusakan jaringan dan memicu tanda-tanda penuaan lebih dini.

Selain itu, paparan polutan juga mengaktifkan Aryl hydrocarbon Receptor (AhR), yakni reseptor dalam sel kulit yang berfungsi sebagai “sensor polusi.” Saat aktif, AhR menyalakan gen-gen inflamasi dan meningkatkan stres oksidatif. Kondisi ini memperkuat aktivitas enzim Matrix Metalloproteinases (MMP), yang berfungsi memecah kolagen dan elastin. Jika MMP bekerja berlebihan struktur dermis menjadi rapuh.
Ketiganya menyebabkan kolagen terdegradasi lebih cepat, elastisitas kulit berkurang, dan warna kulit tidak merata. Dengan kata lain, paparan udara kotor mempercepat apa yang biasanya kita anggap sebagai tanda alami penuaan.
Baca juga: Lagi-lagi, Kesehatan Warga Terdampak dari PLTU Batu Bara
Kebijakan udara bersih
Ruri D. Pamela dari Departemen Dermatologi RS Dr. Suyoto menyebutkan PM sebagai polutan udara utama akan memicu pembentukan radikal bebas secara berlebihan dan menimbulkan stres oksidatif.
“Penggunaan antioksidan topikal secara rutin bisa menjadi strategi mengurangi efek polutan udara,” ujarnya dalam jurnal tersebut. Antioksidan topikal biasanya berupa serum atau krim yang mengandung vitamin C, E atau lainnya yang menetralkan radikal bebas.
Penelitian Krutmann juga menyebutkan radiasi ultraviolet, merokok dan polusi udara menjadi tiga faktor utama yang terlibat dalam penuaan kulit. Upaya pencegahan, kata Krutmann, dengan memakai masker, mengurangi kegiatan memasak, menggunakan penyaring udara, konsumsi antioksidan tambahan atau antioksidan topikal (perawatan kulit untuk menetralkan radikal bebas) masih belum terbukti mengurangi dampak penuaan kulit.

“Kebijakan udara bersih yang berkelanjutan tetap menjadi solusi paling efektif dan efisien untuk mengurangi dampak kesehatan yang ditimbulkan polusi udara,” ujar penelitian tersebut.
Ahli dermatologi menekankan pentingnya proteksi ganda karena polusi merusak kulit lewat dua pola: efek sistemik dari paru dan langsung pada jaringan kulit. Penelitian Oxidative contribution of air pollution to extrinsic skin ageing (2020), menyatakan, udara tercemar dapat mempercepat penuaan kulit melalui efek tidak langsung melalui paru-paru maupun efek langsung pada jaringan kulit. Artinya, perawatan kulit individu harus berjalan beriringan dengan kebijakan publik untuk menekan emisi dari kendaraan, industri, dan pembakaran terbuka.
Polusi Udara Jakarta Memburuk di Musim Kemarau, Lakukan Ini untuk Antisipasi