- Kerangka hukum di Indonesia masih lemah dalam merespons krisis iklim. Itu sebabnya, Aliansi Rakyat Untuk Keadilan Iklim (Aruki) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera membahas dan sahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim.
- Zainal Arifin, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, hanya fokus pada aspek teknis analisis dampak lingkungan (Amdal). Tidak menyentuh akar persoalan krisis iklim.
- Difa Shafira, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), bilang, pemerintah kerap abai terhadap aspek adaptasi. “Temuan fakta bahwa terjadi pengabaian dari dampak krisis iklim. (Pemerintah) tidak melakukan upaya-upaya adaptasi.”
- Zainal Arifin mengkritik penamaan Pengelolaan Perubahan Iklim dalam RUU yang mereka susun. Dia mengatakan, usulan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim hanya mendorong adaptasi, tidak menghentikan akar masalah krisis iklim.
Kerangka hukum di Indonesia masih lemah dalam merespons krisis iklim. Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki) mendesak DPR segera membahas dan sahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Keadilan Iklim.
Zainal Arifin, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misal, hanya fokus pada aspek teknis analisis dampak lingkungan (amdal). Tidak menyentuh akar persoalan krisis iklim.
“Seperti ketimpangan struktural, relasi kuasa, dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat terdampak. Padahal, kompleksitas krisis iklim menuntut pendekatan hukum yang lebih komprehensif, adil, dan berpihak pada rakyat,” katanya, dalam diskusi di Jakarta, 5 Agustus.
Salah satunya, dengan UU Keadilan Iklim. Regulasi ini akan jadi kerangka hukum nasional, pedoman pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan merespons krisis iklim secara adil, inklusif, dan berorientasi hak rakyat.
RUU ini bertujuan mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan iklim ke dalam seluruh kebijakan dan regulasi iklim di Indonesia.
“Regulasi ini menjadi batu uji setiap kebijakan pemerintah, apakah selaras dengan keadilan iklim atau justru mempercepat krisis iklim,” ucap Zainal.
Aruki tengah menyusun naskah akademik RUU Keadilan Iklim yang perilisannya di agenda Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) 2025, 26-28 Agustus, di Jakarta.
Naskah akademik itu harapannya menjadi referensi pembuat Undang-undang dalam menyusun draf RUU Keadilan Iklim. Juga jadi bahan bacaan publik, betapa berbahaya krisis iklim.
Draf RUU Keadilan Iklim dalam naskah akademik aliansi rakyat memuat beberapa bagian, antara lain, ketentuan umum, memuat definisi istilah-istilah penting atau akronim serta memuat asas, maksud, dan tujuan dari UU.
Ada juga bagian hak dan kewajiban. Mengatur upaya mitigasi perubahan iklim dan upaya adaptasi perubahan iklim, yang selama ini sering luput karena hanya fokus pada mitigasi.
“Temuan fakta bahwa terjadi pengabaian dari dampak krisis iklim. (Pemerintah) tidak melakukan upaya-upaya adaptasi,” ucap Difa Shafira, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).
Anggota penyusun naskah akademik RUU Keadilan Iklim ini bilang, regulasi yang Aruki ajukan juga mengatur mengenai kehilangan dan kerusakan atau loss and damage. Juga, mengatur perlindungan dan pemulihan dampak krisis iklim.
Negara, katanya, bertanggung jawab memberikan jaminan sosial kepada masyarakat yang terdampak krisis iklim. Misalnya, melalui pekerjaan dan rumah layak huni kepada nelayan yang terdampak banjir rob di pesisir Pantai Utara Jawa.
Draf juga memuat ketentuan penegakan hukum bagi perusahaan yang melakukan aktivitas penyebab krisis iklim. Instrumen penegakan hukum berupa sanksi administrasi dan perdata.
Menurut dia, perusahaan yang terbukti melakukan aktivitas pendorong krisis iklim akan kena sanksi administrasi yang pemberlakuannya bertahap, teguran tertulis, denda, paksaan pemerintah, hingga pencabutan izin.
Tim masih mengkaji hal ini. “Kami ingin memastikan tidak overlapping dengan sanksi-sanksi yang ada di undang-undang sektoral.”
Sementara penegakan hukum perdata berupa hak gugat masyarakat yang terdampak krisis iklim. Misal, nelayan yang pemukimannya terdampak banjir rob bisa menggugat perdata atas kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal.
“Aspek keperdataan memastikan kelompok rentan memiliki legal avenue, yang terjamin dalam undang-undang, untuk memastikan hak mereka bisa pulih.”
Undang-undang sektoral memang sudah mengatur hak gugat. Misal, UU 32/ 2009 tetapi fokus pada pencemaran dan kerusakan lingkungan, tak spesifik untuk dampak krisis iklim.
RUU Keadilan Iklim tidak memuat ketentuan pidana. Sebab, aturannya banyak di undang-undang sektoral, seperti UU Minerba, UU Kehutanan, hingga UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Pemidanaan itu kita perlu hati-hati betul dalam menyusun normanya. Supaya tidak overlapping dengan undang-undang sektoral.”

Prolegnas prioritas
Sementara itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim pada 19 November 2024. Kemudian masuk daftar Prolegnas Prioritas 2025.
Saat ini, DPD tengah uji publik penyusunan RUU melalui berbagai diskusi, sperti Focus Group Discussion (FGD), pada bulan lalu, mengundang Kapolda Bali hingga Duta Besar Republik Seychelles.
Badikenita Sitepu, Ketua Tim Kerja RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, mengatakan, saat ini regulasi yang ada tidak mengatur spesifik perubahan iklim hingga perlu regulasi dengan basis lebih kuat.
“RUU ini juga memperhatikan isu strategis tentang transisi energi bersih, nilai ekonomi karbon, perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ketahanan pangan, pengelolaan risiko bencana berbasis iklim, dan isu strategis lainnya,” katanya dalam FGD tersebut.
Menurut dia, regulasi ini memuat prinsip penting keberlanjutan, partisipasi aktif masyarakat, serta perlu tata kelola adaptif berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
DPD, membuka masukan dalam proses penyusunan RUU sebelum mengajukan ke tahap legislasi nasional. Ia mengajak seluruh pihak terlibat.
Hingga medio 2025, DPR dan DPD telah melakukan lebih dari 40 kali konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk memperkuat desain RUU ini.
Namun, Zainal Arifin mengkritik penamaan Pengelolaan Perubahan Iklim. Usulan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim hanya mendorong adaptasi, tak menghentikan akar masalah krisis iklim.
Padahal, katanya, krisis iklim juga harus berbicara tentang penghentian praktik industri ekstraktif.
“Juga soal penghentian deforestasi dan aktivitas ekstraktif lainnya. Tindakan tersebut tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga menjamin ruang hidup bagi masyarakat. ”
Aruki pun mendesak lahirnya UU Keadilan Iklim yang berorientasi pada penghentian akar masalah dan pemenuhan hak masyarakat. Mereka minta DPD dan DPR mengubah draf menjadi RUU Keadilan Iklim versi masyarakat sipil.
Naskah akademik dan draf RUU Keadilan Iklim akan mereka serahkan kepada DPD dan DPR.
Zainal mengajak masyarakat sipil mengawal proses legislasi RUU ini karena seringkali DPR dan pemerintah membajak isu-isu substansi dalam pembahasan UU.
“Hal yang berkaitan dengan just transition and energy, just-nya itu tidak jadi keadilan, tapi hanya, just yang hanya-hanya soal bercandaan gitu.”
Yeni Rosa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat juga menyuarakan serupa. Dia menegaskan pentingnya pengawalan proses legislasi, agar pasal per pasal dalam UU sesuai dengan kebutuhan masyarakat sipil.
Prediksinya, akan banyak usulan draf RUU Keadilan Iklim dengan substansi pembahasan berbeda-beda. Sejauh ini, DPD dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) telah menyusun draf itu.
“Perjuangan kedepan memastikan naskah awal yang dibahas punya siapa? Siapa tahu nanti ada fraksi lain yang bikin naskah, Baleg kemudian bikin naskah juga,” ucap Yeni.

Kelompok rentan
Yeni bilang, krisis iklim sangat mengganggu kelompok rentan terutama saat cuaca ekstrem panas dan hujan.
Disabilitas, katanya, jadi kelompok paling terdampak, misal, saat terjadi kekeringan di sebuah wilayah, warga harus berjalan kaki untuk sampai ke sumber air, yang menyulitkan disabilitas.
“Bayangkan tunanetra pakai kursi roda, pakai tongkat kayak saya, suruh jalan setengah kilo cuma buat ambil air. Coba bayangkan, susah kan?”
Krisis iklim yang menyebabkan bencana bisa membuat mata pencaharian warga hilang. Masyarakat, terutama penyandang disabilitas, sulit dapatkan pekerjaan baru.
Catatan Aruki, terjadi 28.461 bencana iklim di Indonesia satu dekade terakhir, dengan 38,5 juta orang terdampak. Lebih dari 3,5 juta orang terpaksa mengungsi, semetara 12.000 lainnya terluka, hilang, atau meninggal dunia. Kerugian ekonomi ditaksir Rp544 triliun dalam periode 2020-2024.
Krisis iklim juga menurunkan produktivitas penyandang disabilitas. Yeni mencontohkan, tunanetra yang biasa berjualan kerupuk keliling di pinggir jalan, akan merasakan terik matahari ekstrim di jam 13.00 hingga 15.00.
Erwin Suryana, Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengatakan, masyarakat pesisir juga menjadi kelompok terdampak krisis iklim.
Iklim sangat memengaruhi perubahan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Menurutnya, terganggunya ekosistem laut mengancam sumber perikanan.
“Nelayan mengalami penurunan produktivitas dalam hasil tangkapan. Mereka juga sudah sangat sulit menentukan kondisi cuaca, kondisi alam, sudah tidak seperti dulu lagi,” katanya.
Aqib Ardiansyah, Anggota Komisi XII DPR, pernah menyinggung pentingnya regulasi tentang iklim dalam Parliamentary Climate Action Day, awal Juli lalu. Dia bilang, Indonesia perlu payung hukum yang kuat dan konsisten untuk menjawab tantangan krisis iklim.
“Kita tidak boleh ketinggalan dalam menyiapkan landasan hukum bagi berbagai program pengelolaan perubahan iklim yang lebih ambisius, inklusif, dan terintegrasi.”

*****