- Selama ribuan tahun, kuda berhasil dijinakkan karena sifat sosialnya yang hierarkis, temperamen tenang, dan kemampuan berkembang biak di kandang, sementara zebra gagal dijinakkan meski punya keunggulan seperti ketahanan terhadap lalat tsetse.
- Penelitian menunjukkan zebra memiliki sifat reaktif, jarak kabur yang jauh, struktur sosial yang tidak stabil, dan rentan capture myopathy, membuat mereka sulit dikendalikan dan tidak bisa diwariskan sifat jinaknya.
- Upaya dari era Rothschild di Inggris hingga program kolonial Jerman hanya menghasilkan keberhasilan skala kecil, dan kegagalan ini menjadi bukti bahwa tidak semua hewan cocok untuk domestikasi.
Di berbagai belahan dunia, kuda telah menjadi mitra manusia selama ribuan tahun—mengangkut prajurit ke medan perang, membawa barang dagangan, hingga membantu membentuk jalannya sejarah peradaban. Dari stepa Eurasia hingga gurun Timur Tengah, kuda menjadi simbol kekuatan dan kendaraan penting peradaban.
Namun di Afrika, ada kerabat dekat kuda yang tak kalah kuat, gesit, dan bahkan memiliki ketahanan alami terhadap lalat tsetse yang mematikan bagi kuda: zebra. Satwa ini terdiri dari tiga spesies utama, zebra dataran (Equus quagga) yang paling umum dan tersebar luas, zebra gunung (Equus zebra) yang hidup di wilayah pegunungan kering Afrika bagian selatan, serta zebra Grévy (Equus grevyi), spesies terbesar dan paling langka yang hanya ditemukan di Kenya dan Ethiopia. Dengan corak hitam-putih yang mencolok dan kecepatan lari mengagumkan, zebra terlihat seolah punya potensi menjadi tunggangan atau penarik beban.
Sejarah mencatat, manusia telah mencoba menjinakkan zebra sejak berabad-abad lalu, mulai dari eksperimen bangsawan Eropa hingga proyek kolonial di Afrika. Hasilnya? Meski ada keberhasilan (sangat) terbatas, semua upaya akhirnya gagal. Pertanyaannya: mengapa zebra begitu sulit didomestikasi, meski secara fisik tampak ideal?
Upaya Domestikasi Zebra: Dari Rothschild di London hingga Kolonial Jerman di Afrika Timur
Kisah nyata ini memberi gambaran betapa seriusnya upaya menjinakkan zebra sejak masa lalu, bahkan sebelum ilmu perilaku satwa berkembang seperti era modern saat ini. Di Inggris pada akhir abad ke-19, Lord Walter Rothschild, seorang bangsawan eksentrik, naturalis, sekaligus kolektor satwa eksotis, menjadi tokoh yang paling terkenal mencoba menjinakkan zebra dan menjadikannya hewan tunggangan. Terobsesi untuk membuktikan bahwa zebra dapat dijinakkan, ia melatih enam zebra untuk menarik keretanya. Pemandangan itu konten menjadi sensasi di jalanan London, apalagi Rothschild kerap memamerkannya di acara resmi sebagai bentuk “protes halus” terhadap pandangan umum bahwa zebra mustahil dijinakkan. Meski mengundang decak kagum, semua zebra itu adalah hasil pelatihan individual yang sangat intensif, dan tidak pernah berkembang menjadi populasi jinak yang bisa diternakkan secara berkelanjutan.

Di Afrika Timur pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Jerman di wilayah Tanganyika (sekarang Tanzania) juga mencoba peruntungan dalam menjinakkan kuda. Motivasi utamanya bersifat praktis: memanfaatkan ketahanan zebra terhadap lalat tsetse yang mematikan bagi kuda dan ternak lainnya. Proyek ini dimulai dengan penangkapan zebra liar, yang kemudian dilatih untuk menarik gerobak dan mengangkut beban di wilayah pedalaman. Namun, realitas segera menunjukkan tantangan yang sama seperti di Inggris. Sebagian besar zebra tetap agresif, mudah panik, dan menendang atau menggigit pelatih. Tingkat kematian di penangkaran tinggi akibat stres, sering kali terkait kondisi capture myopathy. Ditambah lagi, biaya perawatan dan risiko cedera pada pekerja dinilai jauh lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan. Akhirnya, proyek ini dihentikan, meninggalkan catatan sejarah bahwa meskipun logis di atas kertas, domestikasi zebra di lapangan tetap sulit diwujudkan.
Kedua kisah ini memberi pelajaran penting: kegagalan domestikasi zebra bukanlah akibat kurangnya teknologi atau sumber daya pada masa itu, melainkan karena zebra memiliki kombinasi sifat biologis dan perilaku yang tidak mendukung proses domestikasi. Temperamen mereka yang reaktif, insting kabur yang tinggi, dan struktur sosial yang cair membuat pendekatan “massal” hampir mustahil dilakukan. Ditambah hambatan fisiologis seperti capture myopathy, setiap upaya menundukkan zebra menjadi tunggangan berakhir pada kesimpulan yang sama, bahwa mereka lebih cocok tetap menjadi satwa liar, bukan pekerja di bawah kendali manusia.
Baca juga: Ilusi Optik Kulit Zebra Penghindar Pemangsa
Faktor Biologis, Fisiologis, dan Sosial yang Menghalangi Domestikasi Zebra
Para peneliti perilaku hewan menegaskan bahwa domestikasi bukan sekadar soal pelatihan; hewan yang berhasil didomestikasi — seperti kuda, sapi, atau anjing — memiliki paket sifat unggul: temperamen relatif tenang, struktur sosial hierarkis yang memungkinkan manusia mengambil peran pemimpin, kemampuan berkembang biak cepat, dan kemampuan beradaptasi di lingkungan buatan. Zebra, sayangnya, tidak memenuhi beberapa kriteria penting ini, sehingga secara alamiah “menolak” untuk didomestikasikan.

Secara temperamen, zebra terkenal sangat reaktif, insting “kabur dulu, pikir kemudian” menjadi strategi bertahan hidup utama di habitat penuh ancaman predator. Penelitian membandingkan flight initiation distance (FID) antara kuda dan plains zebra menunjukkan bahwa zebra kurang bisa menyesuaikan diri dengan kehadiran manusia dan cenderung menjaga jarak lebih jauh. Hal ini menandakan bahwa zebra tidak mudah terbiasa dengan manusia, sebuah hambatan besar dalam memulai proses domestikasi.
Secara fisiologis, tantangan terbesar adalah capture myopathy, kondisi mematikan akibat stres ekstrem saat hewan ditangkap atau dijauhkan dari lingkungan alami. Studi makro-evolusi tahun 20204 menunjukkan bahwa kerentanan terhadap capture myopathy adalah penghalang penting dalam domestikasi mamalia berkuku, termasuk zebra. Ketahanan zebra terhadap kondisi stres ekstrem ini, yang merupakan adaptasi terhadap tekanan predator di habitat mereka, membuat mereka sangat sensitif terhadap pendekatan manusia , bahkan lebih rentan dibanding kuda yang sudah puluhan abad dijinakkan

Dari sisi sosial, zebra (khususnya spesies Grévy) hidup dalam struktur kelompok yang cair dan tanpa pemimpin tetap. Berbeda dengan kuda liar yang hidup dalam kawanan stabil di bawah satu pejantan dominan, zebra Grévy membentuk kelompok sementara yang sering berubah sesuai musim atau kondisi lingkungan. Ketiadaan hierarki kelompok yang jelas membuat manusia tidak bisa “menggantikan” peran pemimpin kawanan, sehingga pelatihan harus dilakukan per individu, sesuatu yang sangat tidak efisien jika ingin dijinakkan secara massal.
Gagalnya domestikasi zebra bukanlah akibat keterbatasan teknologi masa lalu, melainkan sifat bawaan mereka: temperamen reaktif, fisiologi yang rentan stres, dan struktur sosial yang tidak mendukung. Dalam konteks konservasi, sifat-sifat ini berarti zebra sebaiknya tetap dibiarkan liar, sambil memastikan habitatnya aman dari ancaman manusia.
Seperti kata banyak ahli biologi, tidak semua hewan diciptakan untuk dijinakkan, dan zebra adalah salah satu contoh terbaiknya.