- Krisis sampah di Indonesia kian memburuk, dengan praktik pembuangan ilegal dan limbah yang tidak terkelola mengancam kehidupan masyarakat, sektor pariwisata, serta ekosistem.
- Sejak April 2025, pemerintah pusat secara resmi memerintahkan penutupan 343 tempat pembuangan akhir (TPA) dan mengancam akan menjatuhkan hukuman penjara kepada pejabat daerah yang tidak mematuhi perintah tersebut.
- Pemda pun tengah berupaya keras untuk memenuhi ketentuan tersebut, antara lain dengan menindak praktik pembuangan ilegal, mendorong pemilahan sampah, dan menawarkan insentif tunai.
- Namun, berbagai tantangan tetap ada, seperti korupsi, infrastruktur yang belum memadai, resistensi masyarakat terhadap pemisahan sampah hingga mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat.
Haryanto (66) memeriksa sebidang lahan berpasir seluas kira-kira setengah lapangan sepak bola. Area terbuka ini berada di dekat mercusuar setinggi 40 meter, yang jaraknya tak jauh dari Samudera Hindia. Lokasinya di Pantai Pandasari, sebuah bentang alami yang dipenuhi oleh cemara laut dan berjarak sekitar satu jam perjalanan dari Yogyakarta.
Namun sayangnya, di bawah kaki Haryanto, tertimbun sekitar 1.800 m3 sampah yang setara dengan hampir 200 truk sampah, terdiri dari limbah rumah tangga, industri, bahkan limbah rumah sakit.
Haryanto menyebut tumpukan sampah itu mulai muncul sejak bulan Desember tahun lalu. Sekitar 18 bulan sebelumnya, volume sampah sepuluh kali lebih besar juga sempat dibuang diam-diam di lokasi kedua yang lebih luas, sekitar 4 kilometer dari tempat ini.
“Ini kawasan wisata. Tidak ada pemberitahuan sama sekali. Tiba-tiba saja muncul,” ujar mantan manajer PLN itu, kepada Mongabay.
Saat ini, Haryanto giat memimpin sebuah kelompok masyarakat lokal bernama Forum Peduli Gadingsari, dinamai sesuai dengan sebuah nama desa di Kabupaten Bantul. Forum ini sebutnya adalah jawaban kritik terhadap kelalaian pemerintah.
“Tidak ada kajian lingkungan. Tidak ada izin. Bagaimana jika terjadi tsunami? Bagaimana cara mengelolanya? Ini kejahatan terhadap lingkungan,” sebutnya.

Persoalan Sampah
Setidaknya dalam dua dekade terakhir, Pemerintah Indonesia bergulat dengan persoalan gunungan sampah yang kian membesar, dimana sebagian besarnya dibuang secara ilegal.
Lebih dari 35% total sampah di Indonesia, atau sekitar 11 juta metrik ton pada tahun lalu, dikategorikan sebagai sampah yang tak terkelola, yang pada akhirnya mencemari sungai, jurang, bahkan tepian jalan-jalan utama, menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Pada bulan Januari, sekitar 70 metrik ton sampah plastik dilaporkan terdampar di Pantai Jimbaran, Pulau Bali, menarik sorotan internasional yang tidak diinginkan di tengah musim liburan yang ramai.
Pemberitaan negatif tersebut terjadi hanya sedikit lebih dari setahun setelah TPA Suwung, tempat pembuangan utama di Bali, mengalami kebakaran hebat selama berminggu-minggu akibat musim hujan yang lebih kering dari biasanya.
Kini, Pemerintah Pusat menyatakan bahwa praktik open dumping akan dilarang, Pemerintah juga mendorong Pemda agar turun tangan meminta rumah tangga untuk memisahkan sampah organik dan dapat didaur ulang dari sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Pada bulan April, Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, Hanif Faisol Nurofiq, secara resmi menutup 343 TPA di seluruh Indonesia, termasuk TPA Suwung, dimana sampah sebelumnya dibuang dan kadang hanya ditimbun tanpa proses pengolahan.
“Perintah Pemerintah ini adalah surat serius untuk mengatur semuanya,” ujar Nurofiq pada bulan Mei lalu, merujuk pada larangan tersebut.
Beberapa lokasi TPA kini sedang diawasi selama enam bulan guna memastikan kepatuhan terhadap kebijakan tersebut. Pejabat daerah yang mengabaikan larangan ini dapat dijatuhi hukuman penjara lebih dari satu tahun.
Beberapa pemerintah daerah tampaknya mendukung upaya ini.
Dalam pidatonya di hadapan 2.000 kepala desa pada 11 Juli lalu, Gubernur Bali I Wayan Koster mendesak para peserta untuk menggandakan upaya pemilahan sampah rumah tangga serta melarang penggunaan plastik sekali pakai. Tujuannya untuk mengurangi volume sampah yang berakhir di TPA.
Upaya ini merupakan kelanjutan dari inisiatif serupa yang sempat gagal pada masa jabatan pertama Koster. Saat terpilih kembali di bulan November tahun lalu, Koster menjanjikan insentif sebesar Rp 1 miliar kepada Pemda yang berhasil mengelola sampahnya secara mandiri paling lambat 1 Januari 2026.
Jika tidak berhasil, maka “hukumannya” berupa penahanan dana bagi provinsi untuk daerah yang gagal memenuhi tenggat waktu tersebut.
Sekitar 60% dari lebih dari 3.400 metrik ton sampah yang dihasilkan Pulau Bali setiap hari berasal dari rumah tangga. Gagal menangani masalah sampah yang terus menumpuk dari sumbernya, menurut Koster, akan membahayakan sektor pariwisata pulau tersebut.
“Jika Anda gagal mengelola sampah di desa masing-masing, maka Anda gagal melindungi Bali,” ujar Koster dalam sebuah pernyataan.

Tidak Siap
Namun, larangan ini membuat banyak Pemda lain kelabakan. Beberapa kebijakan yang diterapkan antara lain pembakaran sampah serta penindakan tegas terhadap para pembuang sampah sembarangan.
Rencana pembangunan ketenagalistrikan terbaru bahkan mencantumkan rencana pembangkitan yang bersumber dari pembakaran sampah.
Di Palembang, Sumatera Selatan, Pemkot memasang CCTV untuk memantau pelaku pembuangan liar. Pelanggar terancam hukuman penjara hingga tiga bulan atau denda maksimal Rp 50 juta.
Ironisnya, larangan ini juga menjadi celah bagi praktik korupsi.
Pada bulan April, Wahyunoto Lukman, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan, ditangkap karena diduga menggelapkan sebagian dana dari kontrak senilai Rp 76 miliar yang dia bantu atur untuk pengangkutan dan pembuangan sampah secara legal. Bagian pertama dari perjanjian tersebut dilaksanakan sesuai kesepakatan.
Namun, menurut penyidikan Polisi untuk bagian kedua Lukman diduga bersekongkol untuk membuang sampah secara ilegal di properti milik pribadi di wilayah kota, yang tidak memiliki izin sebagai lokasi pembuangan. Kecurigaan polisi bermula dari keluhan warga sekitar yang merasa terganggu dengan aktivitas tersebut.
Secara umum, rumah tangga dan pelaku usaha di Indonesia enggan memilah sampah mereka sendiri. Mereka lebih memilih membayar biaya lebih tinggi agar pihak lain melakukannya.
Sampah yang dihasilkan pun seringkali basah karena berupa limbah organik, sehingga sulit untuk dibakar dan menjadi sumber pencemaran.
Sebuah pabrik di Jakarta Utara yang bertujuan mengubah sampah menjadi pelet bahan bakar mengalami penundaan operasional akibat keluhan warga sekitar. Pasalnya terkait dengan asap berbau menyengat yang berasal dari hasil proses pengolahan sampah basah yang keluar dari fasilitas tersebut.
“Orang merasa mereka sudah membayar pajak,” ujar Wiratni Budhijanto, guru besar teknik kimia dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, kepada Mongabay.
“Itu artinya, mereka menganggap tugas pemerintah-lah untuk mengangkut dan mengurus sampah tersebut.”
Wiratni membantu mengorganisir program komposting di seluruh kampus, yang menurutnya telah berhasil mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA hingga dua pertiga.
Pada bulan Februari, beberapa departemen yang terlibat menyelenggarakan lomba desain komposter terbaik. Hadiah juara pertama sebesar Rp 5 juta dibagi untuk tiga pemenang, termasuk Fakultas Arsitektur yang merancang komposter untuk taman vertikal.
“Mengelola sampah adalah masalah kita bersama,” ujar Wiratni.
Namun bagi banyak orang, pandangan tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab memilah sampah belum banyak berubah sejak peristiwa tragis pada tahun 2005, saat dinding timbunan sampah di TPA Leuwigajah di Cimahi, Jawa Barat, runtuh dan menewaskan lebih dari 140 orang, mayoritas dari kalangan pemulung.
Undang-undang tahun 2008 yang lahir dari tragedi tersebut mewajibkan Pemda untuk menyusun rencana pengurangan volume sampah, termasuk melalui pembatasan plastik sekali pakai, serta penerapan daur ulang dan komposting. Larangan terhadap praktik open dumping diberlakukan pada tahun 2012.
Namun, sejak saat itu pendanaan untuk layanan tetap minim. Stasiun pemilahan sampah lokal memang dibangun, tetapi tidak dirawat. Perpanjangan tenggat waktu pada tahun 2012 berlangsung berulang kali.

Meskipun pemerintah pusat telah menyatakan pada bulan April bahwa larangan open dumping berdasarkan Undang-Undang 2008 akhirnya akan ditegakkan, Kabupaten Bantul, bersama Kota Yogyakarta di sekitarnya, masih diberikan kuota bulanan hingga akhir tahun untuk membuang sampah ke TPA Piyungan, yang ukurannya sangat besar. Padahal, Pemda DIY telah menutup TPA Piyungan sejak Mei 2024.
Haryanto mengatakan bahwa dirinya telah mendapat kepastian bahwa tumpukan sampah di Pantai Gadingsari akan dimasukkan dalam kuota sampah Bantul. Pemerintah Kabupaten Bantul pun mulai membersihkan sampah dari kawasan pantai itu, menjelang penyelenggaraan event festival layang-layang yang akan berlangsung di lokasi tersebut.
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di sini pada tanggal 23 Juli 2025. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
*****
Gambar utama: Seorang perempuan duduk di bawah pohon yang dikelilingi sampah kering. Foto: Bamban Heru via Unsplash (domain publik)