- Kualitas udara di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Benowo, Surabaya, Jawa Timur (Jatim) masuk kategori tidak sehat. Hal itu terungkap dari hasil pemantauan Walhi Jawa Timur, baik secara stasioner maupun mobile selama November 2024-Januari 2025.
- Walhi Jatim merekomendasikan penghentian insinerasi dan mendorong transisi menuju sistem zero waste berbasis komunitas, audit lingkungan dan uji emisi yang independen dan transparan.
- Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya, Dedik Irianto, menegaskan tidak ada indikasi hasil pengelolaan sampah di TPA Benowo melampaui ambang batas, sehingga kondisi lingkungan masih terjaga dengan baik.
- Setiap pembakaran berpotensi menghasilkan emisi, senyawa organik beracun, serta partikel-partikel yang sangat kecil yang dapat mengandung logam berat yang menyebabkan masalah kesehatan masyarakat.
Kualitas udara di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Benowo, Surabaya, Jawa Timur (Jatim) masuk kategori tidak sehat. Hal itu terungkap dari hasil pemantauan Walhi Jawa Timur, baik secara stasioner maupun mobile selama November 2024-Januari 2025.
Menurut Walhi, pemantauan itu untuk mengukur kualitas udara di sekitar PLTSa Benowo secara partisipatif, dan membandingkan dengan pedoman WHO untuk PM10 dan PM2.5. Selain itu, juga untuk menilai perbedaan kualitas udara pada berbagai lokasi dan waktu, memetakan hubungan arah angin dan sebaran polutan dari insinerator, serta memberikan dasar ilmiah untuk advokasi lingkungan dan perlindungan kesehatan warga.
“Kami melakukan pemantauan stasioner selama 54 hari di lima titik sekitar PLTSa Benowo, hasilnya menunjukkan, baik PM2.5 maupun PM10 secara rutin melampaui ambang batas aman yang ditetapkan oleh WHO,” kata Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Juli lalu.
Walhi mencatat, data perangkat AirBeam3 selama pemantauan menunjukkan lonjakan drastis pada kedua jenis partikel, khusus pada jam-jam operasional insenerator. Untuk PM2.5 batas aman harian 15 µg/m³, sedangkan untuk PM10 batas aman harian 45 µg/m³.
“Paling drastis lonjakannya pada pukul 08.00-17.00, saat insinerator beroperasi. Kami mendapatkan jika rata-rata PM2.5 adalah 26,78 µg/m³ di semua stasiun dan nilai maksimal dari PM2.5 adalah 78 µg/m³,” katanya.
Di beberapa stasiun juga mencatat konsentrasi PM10 melebihi 150 µg/m³, dan PM2.5 melebihi 100 µg/m³. Menurut Wahyu, angka ini termasuk kategori berbahaya bagi semua kelompok usia dan kesehatan.
Berdasarkan pemantauan dengan indikator PM10, mayoritas hari yaitu 32 hari atau 51.7%, kemudian 40 hari atau 74.97% pada indikator PM2.5 berada di zona kuning, yang menunjukkan kualitas udara cukup stabil tapi tidak ideal, khusus bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.
Catatan lembaga juga menyebut, terdapat 13 hari (24.07%) untuk PM10 dan 9 hari (16.67%) untuk PM2.5 berwarna oranye atau kategori kualitas udara berisiko bagi kesehatan. Serta 3 hari (5.56%) dengan indikator PM10 atau PM2.5 yang berwarna merah atau kualitas udara membahayakan semua kelompok. Hanya 6 hari (11.11%) untuk PM10 dan 2 hari (3.70%) untuk PM2.5 dengan kondisi yang benar-benar baik (hijau).
“Kami menemukan dalam satu hari yang sama, pada stasiun berbeda. Secara tidak langsung kondisi udara di sekitar PLTSa Benowo menunjukkan tren yang tidak sehat bagi kelompok rentan.”

Paparan meluas
Untuk pemantauan mobile oleh 14 relawan, Walhi temukan bukti paparan dalam bentuk partikel halus dan kasar di sekitar PLTSa. Paparan itu juga meluas ke permukiman, jalan utama, pasar, dan sekolah di sekitarnya.
Konsentrasi PM10 sering melonjak secara mendadak, bertahan selama beberapa menit hingga satu jam, sedangkan PM2.5 cenderung lebih konsisten dan menetap di udara dalam waktu lama. Perbedaan ini penting, katanya, karena PM10 lebih mudah mengendap, sedangkan PM2.5 bisa melayang dan menyebar jauh, bahkan hingga beberapa kilometer.
“Temuan kami menunjukkan adanya lonjakan tajam baik PM2.5 maupun PM10 saat relawan melintasi wilayah dekat insinerator, terutama saat angin bergerak ke arah pemukiman,” katanya.
Dari hasil monitoring mobile, sekitar 55% titik pengukuran berada pada kategori sedang, atau udara masih bisa ditoleransi untuk umum, tetapi tetap berisiko bagi kelompok sensitif.
Hanya 15,6% lokasi memenuhi kategori udara bersih atau baik. Serta 29,5% titik menunjukkan kualitas udara tidak sehat (oranye, merah, dan ungu), yang berisiko bagi kesehatan.
Dampak kombinasi PM2.5 dan PM10, menurut Walhi sangat serius bagi kesehatan. PM10 dapat menyebabkan iritasi saluran napas atas, batuk, sesak napas, serta memperburuk kondisi asma dan bronkitis. PM2.5 lebih berbahaya karena dapat menembus hingga ke alveoli paru-paru dan memasuki sistem peredaran darah, menyebabkan peradangan sistemik, peningkatan risiko stroke. Juga, serangan jantung, dan kanker paru-paru. Paparan polusi itu, lanjutnya, tidak akan bereaksi dalam waktu dekat tetapi jangka panjang.
“Melalui penggunaan alat pemantauan partisipatif seperti AirBeam3, masyarakat dapat mengambil peran aktif dalam membela hak atas udara bersih yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang lingkungan hidup.”
Atas temuannya itu, Walhi merekomendasikan penghentian insinerasi dan mendorong transisi menuju sistem zero waste berbasis komunitas. Selanjutnya, melakukan audit lingkungan dan uji emisi yang independen dan transparan, memeriksa dan menangani dampak kesehatan warga sekitar.
Selain itu, mendorong kebijakan zero waste melalui pemilahan di sumber, daur ulang, dan kompos, serta mendukung keuangan dan teknis kepada komunitas yang terdampak. “Bukti menunjukkan bahwa PLTSa ini tidak hanya gagal memenuhi standar kualitas udara, tetapi juga secara langsung mengancam kesehatan masyarakat.”

Jawaban dinas
Dedik Irianto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya, berkilah atas temuan Walhi. Menurut dia, kondisi lingkungan di sekitar operasi PLTSa Benowo masih terjaga dengan baik.
“Baik pencemaran udara maupun lindinya, sudah dilakukan menggunakan alat ukur yang telah ditentukan pemerintah, dan tidak ada yang melampaui ambang batas,” katanya Juli lalu.
Dia meyakini pengukuran rutin oleh PT Sumber Organik (SO) selaku pengelola PLTSa Benowo, berlangsun dengan benar dan sesuai perjanjian. Bila ada persyaratan yang tidak sesuai ketentuan perjanjian, maka Pemerintah Surabaya tidak akan membayar tipping fee kepada perusahaan.
Dedik akan tetap mengacu pada hasil pemantauan perusahaan dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Bila ada yang tidak sesuai, kata Dedik, kementerian pasti akan menegur.
“Pemkot juga dapat bertindak bila ternyata ada pelanggaran, dan itu diatur dalam public privat partnership,.”
Sayangnya, Dedik enggan menunjukkan dan membuka data pemantauan dari perusahaan atau KLH yang dia klaim tak masih di bawah ambang batas itu. Untuk mendapatkannya, pihaknya menyarankan agar mengajukan permohonan informasi kepada PPID.
Agus Nugrogo Santoso, Direktur Utama Sumber Organik, mengatakan proses gasifikasi sampah di PLTSa Benowo mampu menghasil listrik 9 megawatt. Terdiri dari sampah organik 55-60%, sisanya, sampah anorganik.
Total 1.600 ton sampah yang masuk ke TPA Benowo, 1.000 ton di antaranya untuk PLTSa, dan 600 ton untuk sanitary landfill gas. “Di sini campur, organik dan non-organik masuk sini. Plastik juga bisa, semua sampah rumah tangga bisa diproses, setiap hari 1.000 ton,” ucap Agus.

Ancam kesehatan warga
Adhimas Setyo Wicaksono, Dosen di Departeman Kesehatan Masyarakat Universitas Surabaya (Ubaya), mengatakan, membakar sampah berpotensi menghasilkan emisi atau pun senyawa organik beracun. Partikel-partikel kecil dari hasil pembakaran dapat mengandung logam berat yang dapat menyebabkan masalah pada kesehatan masyarakat.
Adhimas menyebut, perlu mitigasi atau antisipasi agar persoalan polusi udara akibat proses pembakaran tidak berdampak bagi kesehatan, termasuk pada area pembakaran sampah maupun pada insinerator. “Risikonya bisa macam-macam untuk kesehatan, bisa seperti gangguan pernapasan, hingga kanker untuk jangka panjang.”
Atas temuan Walhi, Adhimas menilai perlu ada standarisasi aturan baku mutu pencemaran udara, meski pengolahan sampah menjadi energi listrik menggunakan teknologi. “Baiknya kalau insinerator atau lokasi pembakaran jauh dari permukiman, karena meski kecil tetap ada risikonya.”
Sebagai upaya preventif, warga yang rumahnya dekat TPA perlu memakai masker saat berada di luar rumah, dan memastikan sirkulasi udara di rumah cukup baik. Selain itu, perlu menanam banyak pohon rindang untuk menyerap polusi yang timbul dari kawasan industri maupun tempat pembakaran sampah.
Adhimas menekankan pentingnya memilah sampah organik dan anorganik untuk didaur ulang. Sampah yang tercampur saat pembakaran berpotensi meningkatkan bahaya zat beracun dari hasil pembakaran.
*****
Perluasan Proyek Energi Sampah dan Gandeng Danantara, Risiko Baru?