- Masyarakat yang menetap di sekitar hutan di Sumatera Selatan, selama ratusan tahun hidup harmonis dengan harimau sumatera. Salah satunya Suku Semende.
- Masyarakat Semende dilarang membangun rumah atau permukiman di tepi sungai atau dekat mata air. Mereka percaya, jika hal tersebut dilanggar, akan berkonflik dengan harimau.
- Tapi dalam satu dekade terakhir, keharmonisan itu seperti akan berakhir. Satu individu harimau turun ke kebun dan permukiman warga di Semende.
- Dibutuhkan koridor satwa sebagai jalur aman bagi pergerakan harimau sumatera sehingga habitatnya tidak terfragmentasi.
Selama ratusan tahun, masyarakat yang menetap di dalam atau sekitar hutan di Sumatera Selatan tidak memiliki persoalan dengan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Baik yang menetap di dataran tinggi, dataran rendah, hingga pesisir. Buktinya, tidak ada tradisi berburu harimau atau mengadu harimau. Justru, mereka memiliki legenda manusia harimau atau siluman harimau.
Salah satu suku yang memiliki hubungan harmonis dengan harimau adalah Suku Semende. Suku yang terbentuk pada abad ke-17 ini hidup di sebuah lembah, yang dikelilingi perbukitan Gunung Patah, di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Luasnya sekitar 99.802 hektar. Selain sebagai ruang hidup Suku Semende, yang sebagian besar permukimannya berada di sekitar Bukit Balai, Bukit Lumut Balai, dan Bukit Bepagut, juga habitat beragam jenis satwa khas Sumatera, khususnya harimau dan kucing hutan lainnya.
“Dari masa lalu, sejak leluhur kami menetap di sini, kami hidup harmonis dengan harimau dan tidak pernah berkonflik. Kami dengan harimau tidak saling mengganggu,” kata Hasan Zen (70), tokoh adat Suku Semende, awal Juli 2025.
Sejak kecil, setiap jeme (orang) Semende diajarkan untuk selalu menghindari konflik. Aturannya, kata Zen, jeme Semende dilarang merusak atau mengganggu habitat atau jalur kucing besar tersebut.
“Mereka hidup di kawasan hutan yang lebih tinggi seperti di Bukit Lumut Balai, Bukit Balai, dan Bukit Bepagut. Kawasan hutan yang disebut pemerintah sebagai kawasan hutan lindung. Nah, kawasan tersebut yang kami jaga, tidak pernah kami ganggu, baik untuk berkebun maupun lainnya.”
Saat membuka kebun, masyarakat Semende “permisi” dengan harimau dan makhluk hidup lainnya di hutan. “Caranya melalui doa dan niat untuk tidak saling mengganggu. Niat baik. Sama-sama mencari hidup,” ujarnya.
Selain itu, jeme Semende dilarang membangun rumah atau permukiman di tepi sungai atau dekat mata air. Mereka percaya, jika hal tersebut dilanggar, akan berkonflik dengan harimau. Harimau selain minum air sungai atau mata air, juga mengincar mangsanya dekat sungai. Bahkan, beberapa aliran sungai yang airnya dangkal, diperkirakan sebagai lokasi harimau berendam.

Harmonisasi dengan harimau
Tapi, keharmonisan Suku Semende dengan harimau seakan berakhir pada 2020 lalu. Satu individu harimau masuk ke sejumlah dusun, hingga akhirnya ditangkap. Awalnya, harimau ini terlihat di Danau Deduhuk, kemudian di Desa Karya Nyata, turun ke Desa Pulau Panggung, Desa Muara Tenang, Desa Tanjung Agung, dan Desa Pelakat.
Harimau itu masuk perangkap di area kebun kopi di Desa Pelakat, Selasa (21/1/2020). Harimau masuk box trap yang di dalamnya ada seekor kambing, dipasang olah Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Selatan.
Sebelumnya, akhir 2019, lima warga meninggal diserang harimau; Kuswanto (57), warga Kabupaten Lahat, pada Minggu (17/12/2019); Yudiansah Harianto (40) di Desa Tebat Benawa, Pagaralam, Kamis (5/12/2019); Mustadi (50) di Hutan Seribu, Kotaagung, Lahat, Kamis (12/12/2019); Suhadi (50) di Lekung Benuang, Mulak Ulu, Kabupaten Lahat; serta Sulistiowati (30), di Kampung 5 Talang Tinggi, Desa Padang Bindu, Muaraenim, Jumat (27/12/2019).
“Peristiwa munculnya harimau di kebun dan kampung di Semende ini sangat mengejutkan. Mungkin ini yang pertama selama saya hidup,” kata Hasan Zen.
“Kami tahu di Semende ini hidup beberapa harimau, tapi mereka di hutan rimba yang berada jauh di atas perbukitan,” lanjutnya.
Wilayah Semende sebagai habitat harimau dibenarkan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Sumatera Selatan.
“Secara spesifik, Semende dan sekitarnya termasuk bagian kantong habitat Jambul Nanti Patah,” kata Julita Pitria dari BKSDA Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (26/7/2025).

Hutan Jambul Nanti Patah luasnya mencapai 282.727 hektar. Hutan ini membentang di lima kabupaten di Sumatera Selatan, yang berbatasan langsung dengan Bengkulu. Kawasan ini bagian dari Bukit Barisan Selatan dengan tipe ekosistem hutan pegunungan dan dataran rendah. Sekitar 140.000 hektar hutan alam, baik primer dan sekunder, mendominasi tutupan lahan Jambul Nanti Patah. Selebihnya semak belukar, pertanian dan pemukiman.
Dikutip dari buku Kantong-Kantong Habitat Gajah dan Harimau di Sumatera Selatan yang diterbitkan BKSDA Sumatera Selatan, Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya, dan Biodiversity and Climate Change Project (BIOCLIME) pada 2016, kawasan hutan Jambul Nanti Patah selain menjadi habitat harimau sumatera, juga habitat sejumlah satwa liar. Ada gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), trenggiling (Manis javanica), tapir Asia (Tapirus indicus), ajag atau anjing hutan (Cuon alpinus), siamang, (Symphalangus syndactylus), simpai (Presbytis melalophos) danungko sumatera (Hylobates agilis agilis), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa sambar (Rusa unicolor), dan kucing emas (Catopuma temminckii).
Berapa individu harimau sumatera di hutan Jambul Nanti Patah? “Saat ini masih dalam proses analisis Sumatera-wide Tiger Survey (SWTS),” kata Julita Pitria.

Koridor harimau
Apakah ada kaitan turunnya harimau dengan kegiatan geothermal/panas bumi yang berada di kaki Bukit Balai dan Bukit Lumut Balai?
Surya Darma, Ketua Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES), kepada Mongabay Indonesia, mengatakan potensi dampak terhadap habitat satwa liar, khususnya harimau sumatera, tentu menjadi perhatian serius. Ini dikarenakan, lokasi aktivitas geothermal seringkali berbatasan dengan kawasan hutan lindung yang menjadi rumah satwa liar.
“Namun, kekhawatiran ini bisa diatasi dengan komitmen kuat dari semua pihak,” katanya.
Pembangunan dan operasional geothermal wajib mengikuti ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang transparan dan komprehensif. Amdal harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan secara spesifik membahas mitigasi dampak terhadap sumber daya air dan habitat satwa liar.

Dijelaskan Surya, ada beberapa langkah nyata yang bisa dan harus dilakukan:
Pertama, pembuatan koridor satwa: Perlu dibuat jalur aman bagi pergerakan harimau sumatera agar habitatnya tidak terfragmentasi. Ini bisa berupa jembatan hijau atau area khusus yang bebas gangguan proyek.
Kedua, pengawasan ketat: Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, dan pemerintah daerah harus memantau seluruh kegiatan secara intensif untuk memastikan semua standar lingkungan dipatuhi.
Ketiga, edukasi dan kemitraan: Perusahaan dan pemerintah harus menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat lokal, memberikan edukasi tentang mitigasi dampak, dan melibatkan mereka dalam program konservasi atau pemulihan lingkungan.
“Dengan penanganan yang tepat dan komitmen penuh terhadap keberlanjutan lingkungan, pengembangan geothermal di Semende dapat berjalan selaras dengan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian ekosistem,” jelasnya.
*****
Relasi Sosial dan Kearifan Suku Semende Menjaga Wilayah Adat