- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meluncurkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 15 tentang Pelindungan Hak Masyarakat Adat, Kamis (10/7/2025). SNP ini akan jadi rujukan pembuat kebijakan, aparat penegak hukum, pemerintah daerah, korporasi, hingga masyarakat sipil, agar dapat menyusun dan menyesuaikan regulasi yang selaras dengan prinsip-prinsip HAM.
- Putu Elvina, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, menyebut, dokumen ini inklusif, partisipatif, dan aplikatif untuk menjawab realitas kompleks yang masyarakat adat hadapi. Menurutnya, Komnas HAM menilai masyarakat adat masih jadi kelompok paling rentan pelanggaran HAM, seperti penggusuran, perampasan wilayah adat, dan kriminalisasi.
- Sarulin Siagian, Komisioner Komnas HAM, menjelaskan, SNP ini terdiri dari 223 pasal yang terbagi jadi berbagai klaster kepentingan terkait masyarakat adat. Beberapa di antaranya meliputi hukum adat, peradilan adat, dan akses terhadap keadilan.
- Didik Darmanto, Direktur Agama, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Bappenas menilai perlunya integrasi SNP ke sistem perencanaan pembangunan di tingkat daerah dan nasional.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meluncurkan standar norma dan pengaturan (SNP) Nomor 15 tentang Pelindungan Hak Masyarakat Adat, Kamis (10/7/25). SNP ini akan jadi rujukan pembuat kebijakan, aparat penegak hukum, pemerintah daerah, korporasi, hingga masyarakat sipil, agar dapat menyusun dan menyesuaikan regulasi yang selaras dengan prinsip-prinsip HAM.
Putu Elvina, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, menyebut, dokumen ini inklusif, partisipatif, dan aplikatif untuk menjawab realitas kompleks yang masyarakat adat hadapi. Menurut dia, Komnas HAM menilai masyarakat adat masih jadi kelompok paling rentan pelanggaran HAM, seperti penggusuran, perampasan wilayah adat, dan kriminalisasi.
Catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdapat 328 kasus kriminalisasi masyarakat adat sepanjang 2015-2023. Padahal, masyarakat adat merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia.
Pengakuan mereka terdapat dalam UUD 1945 dan menjadi inspirasi Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI untuk menentukan semboyan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika.
“Maka dengan sejarah panjang masyarakat adat, keragaman bangsa, mereka merupakan penjaga kebudayaan, pengetahuan lokal, serta pengelola alam yang bijak dan berkelanjutan,” katanya.
Elvina bilang, penghormatan terhadap hak masyarakat adat bukan sekadar persoalan moral, melainkan juga kewajiban hukum yang mengikat negara dan seluruh aktor pembangunan. Keadilan sosial sejati tidak mungkin tercipta tanpa pengakuan penuh dan pemulihan hak-hak kolektif masyarakat adat.
Sarulin Siagian, Komisioner Komnas HAM, menjelaskan, SNP ini terdiri dari 223 pasal yang terbagi jadi berbagai klaster kepentingan terkait masyarakat adat. Beberapa di antaranya meliputi hukum adat, peradilan adat, dan akses terhadap keadilan.
Kemudian, ada juga terkait kelompok rentan dalam masyarakat adat, perlindungan, pedoman pelaksanaan hak masyarakat adat, serta pelaksanaan SNP oleh Komnas HAM dan stakeholder lainnya.
Ada sejumlah hak masyarakat adat yang harus ada jaminan, antara lain, hak menentukan nasib sendiri, dan penerapannya, hak berpartisipasi, konsultasi, persetujuan. Juga, hak atas tanah dan sumber daya alam, serta hak membentuk sistem politik, ekonomi, dan sosial sendiri. Lalu, hak atas kesejahteraan dan jaminan sosial, hak atas pekerjaan, hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta hak atas pendidikan.
“Negara berkewajiban menjamin perlindungan Masyarakat Adat tanpa diskriminasi, serta memastikan keterbukaan informasi dan layanan administrasi yang mendukung hak-hak mereka.”
Gam A. Shimray, Sekretaris Jenderal Asia Indigenous Peoples Pact, menyambut baik SNP ini. Dia menilai, SNP bukan sekadar instrumen hukum baru, tapi langkah perbaikan arah sejarah dan memperkuat fondasi moral serta demokratis bangsa.
Masyarakat adat di seluruh dunia, termasuk Asia, katanya, menghadapi tantangan serius. Penggusuran paksa, kehilangan tanah leluhur, penolakan identitas hingga kekerasan sistemik, menimpa mereka.
Instrumen global seperti Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) dan Konvensi ILO 169 menjadi dasar hukum internasional, namun masih bersifat aspiratif di banyak negara.
“Karena itu, SNP menjadi penting sebagai upaya Indonesia untuk membawa norma global ke dalam konteks nasional.”
Menurut dia, pendefinisian yang jelas menjadi tantangan utama perlindungan hak masyarakat adat. Tanpa kesepakatan definisi, maka sulit klaim hak, pembuktian pelanggaran, dan penegakan keadilan.

Dia optimis SNP menjawab masalah itu dengan memberikan kriteria, definisi, dan prosedur identifikasi yang jelas. Hal fundamental untuk mencegah pengucilan sewenang-wenang, melindungi dari penghapusan identitas secara hukum atau politik, serta menegakkan hak masyarakat adat.
Shimray berpendapat, masyarakat adat bukan hanya kelompok rentan dalam krisis iklim, juga penjaga ekosistem paling kaya keanekaragaman hayatinya. Pengetahuan dan praktik mereka—berbasis keseimbangan dan tanggung jawab—sangat penting untuk keberlanjutan global.
“Ketika kita melindungi hak masyarakat adat, kita tidak memecah bangsa, kita menyempurnakannya.”
Cindy Yohana, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), mengatakan, sisi lain, SNP belum menyentuh isu pemuda adat. “Kami merasa bahwa tidak ada pengakuan formal terhadap pemuda adat di dalam dokumen ini.”
Menurut dia, SNP belum eksplisit menyampaikan peran dan posisi pemuda adat. Padahal, mereka merupakan ujung tombak dari perlindungan dan juga gerakan yang ada di komunitas masyarakat adat.
“Tanpa pemuda adat, perlindungan itu tidak akan berkelanjutan dan tanpa regenerasi, maka hak-hak masyarakat adat kemungkinan akan menjadi catatan sejarah saja.”

Kelompok sangat rentan
Devi Anggraini, Ketua Umum Perempuan AMAN, menilai, masyarakat adat berperan besar dalam proses kehidupan di masyarakat majemuk. Namun, masih menjadi kelompok rentan, terutama perempuan adat.
Survei Perempuan AMAN terhadap 34 komunitas adat di 7 wilayah adat Indonesia pada 2018–2019, menunjukkan 73% komunitas mengalami perampasan wilayah adat, termasuk hutan, tanah, dan sumber air.
Sebanyak 40% dari 2.989 perempuan adat yang menjadi responden, menyatakan pernah mengalami kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual.
Kemudian, 87,8% perempuan adat mempersepsikan kemiskinan masih terjadi di dalam komunitas mereka. Adapun tiga bentuk kemiskinan dalam komunitas masyarakat berupa penghasilan rendah, tidak punya pekerjaan tetap, dan tidak memiliki akses pada tanah.
Devi bilang, perempuan adat minim terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap lini kehidupan. “Perempuan adat ini mengalami satu proses pembatasan yang sangat berlapis.”
Padahal, pengetahuan perempuan adat merupakan pondasi penting dalam menjalankan perannya sebagai penjaga kedaulatan dan ketahanan pangan keluarga dan komunitas adatnya.

Dia menyerukan pengakuan atas otoritas perempuan adat. Dan SNP, harapnya, bisa mendorong terciptanya aturan untuk mengisi kekosongan hukum perlindungan masyarakat adat.
Selain perempuan, pemuda adat juga harusnya masuk ke dalam kelompok rentan. Menurut Cindy, kriminalisasi kerap terjadi pada pemuda adat ketika hendak mempertahankan wilayahnya.
Pengambilan keputusan pun jarang melibatkan kelompok ini. Diskriminasi struktural pemuda adat alami dalam mengakses pendidikan dan ruang berdaya.
Tanpa pendekatan yang regeneratif, kata dia, pengakuan yang bersifat administratif tidak dapat menjamin keberlanjutan kehidupan masyarakat adat.
“Saat ini sangat kecil ruang-ruang transfer knowledge atau regenerasi aktif yang terjadi baik di komunitas ataupun misalnya efek-efek dari pendidikan yang terlalu berfokus ke arah luar,” ujarnya.
Karana itu, BPAN sebagai organisasi pemuda adat, ingin ada revisi dan penyempurnaan revisi SNP yang melibatkan mereka. Menurutnya, tanpa pelibatan generasi muda adat yang lebih besar, maka SNP tidak akan hidup lama di dalam komunitas.

Integrasi RPJMN dan RPJPN
Didik Darmanto, Direktur Agama, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Bappenas menilai, perlu integrasi SNP ke sistem perencanaan pembangunan di tingkat daerah dan nasional.
“Saat ini adalah momentum yang sangat tepat ketika kita ingin mengintegrasikan SNP dalam dokumen perencanaan pembangunan,” katanya.
Masyarakat adat, sudah memperoleh posisi yang sangat strategis dalam kebijakan pembangunan nasional, dalam kebijakan jangka panjang (RPJPN) maupun jangka menengah (RPJMN). Ada tempat khusus dalam dua kebijakan tersebut ihwal upaya jaminan kebudayaan, ekspresi budaya, dan pemberdayaan masyarakat adat di dalam kebijakan nasional.
“Dalam hal ini bahwa masyarakat adat ini memiliki peran yang sangat penting untuk memperkuat landasan transformasi dalam upaya untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.”
Dia berharap, dokumen ini menjadi referensi normatif untuk memastikan agenda penguatan masyarakat adat—baik itu meliputi ulayat, lembaga adat, pendidikan anak-anak masyarakat adat, dan lain sebagainya—bisa terintegrasi di dalam dokumen perencanaan.

*****
Masyarakat Adat di Merauke Tersingkir Proyek Tebu dan Bioetanol, Transisi Energi Berkeadilan?