- Pertambangan di Jawa Barat, banyak menorehkan persoalan dari kerusakan lingkungan maupun menelan korban jiwa baik yang tertimbun longsor, sampai tenggelam di bekas lubang tambang.
- Catatan Walhi Jawa Barat, per Juni 2025, ada 233 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi di Jabar. Dalam temuan lapangan, ratusan pemegang IUP itu belum menjalankan kewajiban reklamasi dan pascatambang. Mereka meninggalkan lubang bekas galian begitu saja tanpa pengamanan.
- Hannah Alaydrus, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, menuturkan, publik kesulitan mengakses informasi soal IUP. Karena kontrol hanya ada pada sisi pemerintah, sedangkan partisipasi publik minim sekali. Sisi lain, pemerintah daerah selalu berkelit soal kewenangan. Padahal secara regulasi, mereka punya kuasa untuk audit dan pengawasan tambang berkala.
- Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, resmi melibatkan serdadu-serdadu dari Komando Distrik Militer (Kodim) di Jaya dan Komando Daerah Militer (Kodam) III/Siliwangi dalam menyelesaikan beragam persoalan termasuk lingkungan di Jawa Barat. Dia ingin penanggulangan tambang ilegal dan alih fungsi lahan hutan bisa militer tangani. Penertiban tambang ilegal, terutama di wilayah latihan militer di Kabupaten Bandung Barat, menjadi prioritas selama dua bulan ke depan.
Nining Kusnirah, baru saja kehilangan dua buah hatinya Sri Fatimah (7) dan Dimas Saputra (5) karena tenggelam di lubang tambang di Desa Leuweunggede, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, 13 Juni lalu.
Matanya lebam, batin marah. Tidak ada yang menyangka, sebelum ulang tahun mereka, maut menjemput lebih dulu.
Nining, menduga kedua anaknya menganggap lubang itu sebagai tempat bermain karena lokasi di sawah berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya.
“Setelah kakaknya pulang sekolah, anak saya yang bungsu selalu bermain bersama,” katanya.
“Kemana kakaknya pergi main, dia pasti ikut.”
Nining dan suaminya, Rama Priosantoso, jadi buruh. Selama mencari nafkah, anaknya mereka titipkan kepada kerabat.
Dia tak pernah tahu ada lubang selebar lapangan bola di sana. Begitu pun Rama mengaku tak pernah mendapat informasi atau penyuluhan kalau tempat tinggal mereka ada galian c.
Hingga kini belum ada keadilan mereka dapatkan. Begitu juga santunan atas kelalain yang menyebabkan kematian. Hanya ada garis polisi dan pagar terpasang setelah kejadian, sisanya sepi.
Lubang-lubang bekas galian C nyatanya merenggut nyawa anak-anak dengan sia-sia. Berdasarkan informasi, tercatat lima anak di Jawa Barat meninggal selama 2024-2025.
Seolah menjadi bom waktu, tambang galian c ilegal kembali memberi kabar duka. Dua pekerja tambang, Rian Adriani Pamungkas (23) dan Dani Danara (29) tewas terkubur reruntuhan longsoran tebing di Argasunya, Kota Cirebon, 18 Juni lalu.
Saat ditemukan keduanya tidak pakai helm atau antribut pelindung lain. Dalam keterangan polisi, masalah ini bukan sekadar ranah hukum, juga krisis sosial dan ekonomi.
Pemerintah Kota Cirebon coba menjadikan bekas tambang itu sebagai objek wisata. Beberapa pihak menilai itu bukan solusi konkret karena tak menyelesaikan pokok masalah, terutama soal kewenangan dan pengawasan.

Catatan Walhi Jawa Barat, per Juni 2025, ada 233 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi di Jabar. Dalam temuan lapangan, ratusan pemegang IUP itu belum menjalankan kewajiban reklamasi dan pascatambang. Mereka meninggalkan lubang bekas galian begitu saja tanpa pengamanan.
Ada aturan soal itu, seperti, UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Peraturan Pemerintah (PP) No. 78/2010 soal Reklamasi dan Pascatambang, Juga, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya (ESDM) No 11/2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam aturan-aturan itu mengatur reklamasi dan keselamatan. Sanksi pidana pun berat sampai lima tahun penjara, denda Rp100 miliar.
Meski begitu, Hannah Alaydrus, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, menuturkan, publik kesulitan mengakses informasi soal IUP. Karena kontrol hanya ada pada sisi pemerintah, sedangkan partisipasi publik minim sekali.
Sisi lain, katanya, pemerintah daerah selalu berkelit soal kewenangan. Padahal secara regulasi, mereka punya kuasa untuk audit dan pengawasan tambang berkala.
Sebenarnya, kata Hannah, para pemegang izin secara aturan wajib memberikan pelaporan.
“Tapi jika ada masalah atau aduan sulit bagi publik untuk melakukan pelaporan. Lalu pada kenyatanya tidak ada ruang aman menyampaikan aspirasi publik dalam urusan ruang hidup. Sehingga banyak sekali ancaman dan itimidasi,” kata Hannah saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Walhi juga menyoroti soal moratorium. Sejauh ini Pemerintah Jawa Barat belum menunjukkan peta jalan pemulihan pascatambang. Belum ada transparansi IUP mana yang akan evaluasi atau cabut, dan belum mengeluarkan satu pun laporan audit atas reklamasi.
Sedangkan ada 176 titik tambang ilegal di Jawa Barat. Wilayah dengan titik terbanyak adalah Sumedang dan Tasikmalaya, masing-masing 48 lokasi, lalu Bandung (37), dan Bogor 23 titik.
Kondisi itu, kata Hannah, menjadi indikator jika rencana tata ruang wilayah (RTRW) tiap daerah tidak terawasi dengan baik. Bukti daya dukung dan daya tampung lingkungan, katanya, tidak pernah jadi pertimbangan.
Pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan, cenderung menambah lahan kritis, terbukti memicu peningkatan intensitas dan skala bencana.

Pemerintah mulai beraksi?
Sementara itu, Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, resmi melibatkan serdadu-serdadu dari Komando Distrik Militer (Kodim) di Jaya dan Komando Daerah Militer (Kodam) III/Siliwangi dalam menyelesaikan beragam persoalan termasuk lingkungan di Jawa Barat.
Dia ingin penanggulangan tambang ilegal dan alih fungsi lahan hutan bisa militer tangani. Penertiban tambang ilegal, terutama di wilayah latihan militer di Kabupaten Bandung Barat, menjadi prioritas selama dua bulan ke depan.
“Saya minta dukungan penuh dari jajaran TNI untuk menuntaskan penertiban tambang ilegal demi menjaga ekosistem,” katanya dalam rilis Humas Pemerintah Jawa Barat, akhir Juni lalu.
Dedi juga menargetkan reboisasi di kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS). Berdasarkan data Global Forest Watch (GFW), hilangan tutupan hutan (tree cover loss) terjadi di sekitar zona penyangga hutan dan lereng perbukitan, yang lokasi itu rentan terjadi alih fungsi dan tambang.
Meski dalam laporan GFW tidak eksplisit menyebut pertambangan tetapi dapat teridentifikasi melalui lokasi pada peta dengan tanda merah yang berarti rusak.
Maruli Simanjuntak, Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI menyambut baik komitmen itu. Dia menilai, permintaan kolaborasi dengan kepala daerah menunjukkan keseriusan untuk perubahan.
“Saya sangat bahagia hari ini. Biasanya sulit mendapat tindak lanjut dari kepala daerah. Hari ini, Jabar menunjukkan langkah konkret. Saya akan beri dukungan penuh,” kata Kasad.

Pesan jaga alam
Dua hari sebelum pertemuan antara pejabat dan aparat, ribuan orang berkumpul untuk satu pesan: hidup tidak untuk membahayakan alam.
“Nyanghunyar di juru nagri, milang laku eusi… bumi…..
Pahare-hare jeung karep ngaler ngidul peupeuntasan.”
Bait kalimat dari Rajah Bubuka menjadi tanda titik balik posisi matahari Utara menuju ke Selatan Bumi sudah mulai. Waktu dimana doa dan puja-puji sebagai ungkapan syukur terhadap alam pada ritual Ngertakeun Bumi Lamba yang mengacu perhitungan Suryakala dalam kalender Sunda.
Hening. Khidmat. Suara sayup dari karinding menuntun manusia nyelemani kembali hakikat hidup sebagai manusia. Perwakilan dari masyarakat adat silih bergantian menyampaikan pesan kalau kemajuan sudah salah jalan.
Ada juga yang menyampaikan kekhawatiran soal pola hidup yang makin tak berbudaya.
Radite Wiranatakusumah, Ketua Panitia Ngertakeun Bumi Lamba ke-17, mengatakan, ritual tahunan ini bentuk ekspresi ekologis terhadap ketimpangan relasi manusia dan alam.
Dalam praktiknya, memadukan unsur spiritual dengan etika lingkungan atau semacam simbolisme kosmis.
“Artinya manusia melihat alam bukan cuma sebagai benda mati, tapi sebagai bagian dari kehidupan yang harus dihormat,” katanya di Kawasan Kawah Gunung Tangkuban Paraharu, 22 Juli lalu.
Dia contohkan, ketika gunung sebagai tempat suci, air sebagai sumber kehidupan, dan ritual untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Itu, merupakan refleksi dari pemahaman kosmologi Sunda yang memosisikan manusia sebagai bagian kecil dari jagat raya, bukan penguasa atasnya.
Paham itu berasal dari tritangtu nagara Sunda yang disebut resi (langit), ratu (manusia), dan rama (bumi). Pada kehidupan Sunda masa lampau jadi pinjakan membangun peradabannya.
Dalam dunia modern yang serba antroposentris, kata Radite, upacara ini menjadi kritik ekologis. Maka, Ngertakeun Bumi Lamba ini semacam aktualisasi pola berpikir yang tecermin pada ajaran kebudayaan.
“Kami merefleksikan itu setiap tahun,” katanya.
*****