- Konflik Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Timur, terus bergulir dengan penggusuran paksa Pelaku Wisata Pesisir Tanjung Aan. pencaplokan lahan dan penyingkiran aktivitas ekonomi ini lagi-lagi memakan korban dari masyarakat menengah ke bawah.
- Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menyebut, proyek ini sejak awal menimbulkan kontroversi karena penuh dengan proses yang tertutup. Tidak ada kejelasan market plan dari pembangunan KEK Mandalika, termasuk mitigasi dampak sosial-lingkungan yang akan masyarakat setempat hadapi.
- Harry Sandy Ame, Koordinator Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII) Wilayah Nusa Tenggara Barat, mengatakan, sudah ada ribuan orang, di 15 dusun dan 4 desa, yang terpaksa meninggalkan rumah dan lahan-lahan mereka sejak pembangunan KEK Mandalika.
- Tanjung Aan saja, ada 186 warung kecil, UMKM, dan pedagang keliling yang menjual kain, makanan dan aksesoris. Mereka bisa mendapatkan mulai dari Rp600 ribu sampai Rp150 juta. Ella Nurlela Raia, pedagang di Tanjung Aan, menyebut ribuan KK akan terdampak.
Konflik di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Timur, terus bergulir, teranyar, dengan penggusuran pelaku wisata Pesisir Tanjung Aan. Pencaplokan lahan dan penyingkiran aktivitas ekonomi ini terus makan korban masyarakat menengah ke bawah.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menyebut, proyek ini sejak awal menimbulkan kontroversi karena penuh proses tertutup. Tidak ada kejelasan market plan dari pembangunan KEK Mandalika, termasuk mitigasi dampak sosial-lingkungan yang akan masyarakat hadapi.
“Sehingga sejak proses pengadaan tanahnya, dimulai dari tahun 2019, sebenarnya sudah menjadi salah satu pusat konflik agraria yang diakibatkan oleh pengembangan kawasan ekonomi khusus,” katanya, 27 Juni.
Penetapan KEK Mandalika pada 2011, bagian dari masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan investasi Rp27 triliun.
Kemudian, di era Joko Widodo, KEK Mandalika jadi proyek strategis nasional (PSN). Dalihnya, untuk mempercepat pembangunan Sirkuit Internasional Mandalika dan pengembangan fasilitas umum penunjang pariwisata bertaraf internasional.
PSN selalu problematis. Catatan KPA, setidaknya 154 letusan konflik agraria dalam pengadaan 1.004.803 hektar lahan untuk PSN di Indonesia. Berdampak pada 103.685 keluarga.
Menurut Dewi, kampung-kampung, wilayah-wilayah adat, dan pusat-pusat ekonomi lokal yang sudah berkembang turun-temurun luput dalam market plan pemerintah dalam pembangunan KEK Mandalika. Prinsip kesetaraan pembangunan antara Jawa dan pulau lain di Indonesia dalam pengembangan KEK, seharusnya tidak mengancam pelaku ekonomi lokal.
“Justru harusnya kawasan ekonomi khusus itu merangkul pusat-pusat ekonomi yang rakyat kembangkan. Bukan justru ingin menciptakan ekonomi baru di wilayah non Jawa, dengan menghabisi ekonomi lokal yang sudah eksis, lama, dan berkembang di Lombok Tengah.”
Selain itu, penetapan hak pengelolaan lahan (HPL) secara sepihak di lokasi proyek merupakan peniadaan hak masyarakat. Seolah, lahan di sana kosong dan tidak bertuan.
Menurut Dewi, Kantor Pertanahan dan pemerintah daerah tidak bisa memberikan lampu hijau HPL pada Injourney Tourism Development Corporation (ITDC) selaku pengelola KEK Mandalika, kalau masalah agraria di lapangan belum tuntas sepenuhnya.
Seharusnya, kata Dewi, ada persetujuan warga yang menguasai bidang tanah dalam penetapan HPL. Kalau tidak, ada maladministrasi dalam proses, dan pembangunan pariwisata, tak boleh jadi alat merampas tanah warga.
“Jadi jangan sampai penetapan kawasan ekonomi khusus Mandalika ini justru meninggalkan kewajiban pemerintah yang lain untuk menuntaskan konflik agraria dan melakukan redistribusi tanah.”
Harry Sandy Ame, Koordinator Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII) Wilayah Nusa Tenggara Barat, mengatakan, sudah ada ribuan orang, di 15 dusun dan empat desa terpaksa meninggalkan rumah dan lahan-lahan mereka sejak pembangunan KEK Mandalika.
Tanjung Aan, katanya, sampai saat ini masih menyisakan dua kasus, soal lahan dan hak akses kelola masyarakat terhadap pesisir.
Sedangkan, dalam KEK Mandalika secara keseluruhan, ada empat masalah pokok, yakni, konflik lahan, pemukiman kembali, kompensasi kerugian warga tergusur, dan pemulihan penghidupan sosial ekonomi warga.
“Dalam empat masalah ini melekat secara komprehensif berbagai macam bentuk pelanggaran HAM,” katanya, 5 Juli.
Dalam konflik lahan, ada berbagai masalah bagi masyarakat dengan lahan terdampak, mulai dari hanya mendapat uang muka, salah bayar, pembayaran yang kurang, hingga tidak mendapatkan bayaran sama sekali.
Untuk pemukiman kembali, yang pemerintah berikan hanya menyasar 120 KK dari Dusun Ujung dan Dusun Bunut di Desa Kuta, padahal yang terdampak 15 dusun dari empat desa.
“Warga di dusun-dusun yang lain itu tidak dihitung sama sekali, bahkan di dua dusun ini saja dalam verifikasi kita itu, saat itu, warganya ada 205 KK, tapi yang disediakan rumah pemukiman itu hanya 120 unit rumah.”
Selain itu, lokasi pemukiman yang pengembang bangun tidak mendukung adaptasi masyarakat, terutama terkait mata pencaharian warga.
Mereka yang sebelumnya nelayan, harus menempuh jarak 3-4 km setelah pindah. Juga untuk mengakses pertanian dan peternakan, karena pemukiman baru ini tidak boleh memelihara ayam, dengan dalih akan jadi kampung wisata.
“Itulah dasarnya kenapa dari awal banyak warga yang menolak untuk dipindahkan ke sana.”
Harry bilang, konsep rumah yang terbangun tidak seperti proyeksi awal untuk kampung wisata, melainkan seperti program rumah tinggal layak huni (RTLH), tak bertingkat sebagaimana konsep awal.
Program pemulihan penghidupan sosial pun tidak berjalan baik. Dulu, warga dijanjikan pekerjaan tetap dengan gaji minimal Rp2,5 juta, namun tidak terealisasi.
“Walaupun ada warga yang bisa bekerja, itu maksimal dia sebagai tenaga kontrak dan itu security, selebihnya buruh harian sebagai cleaning service dan gardener di hotel,” kata Harry.

Tak pernah musyawarah
Warga dengan lahan rentan dan kena gusur mengaku tidak mengetahui pengembangan di wilayah mereka. ITDC, tidak pernah mengundang warga untuk bermusyawarah.
Padahal, di Tanjung Aan saja, ada 186 warung kecil, UMKM, dan pedagang keliling yang menjual kain, makanan dan aksesoris. Mereka bisa mendapatkan mulai dari Rp600 ribu sampai Rp150 juta.
“Kalau Tanjung Aan ini dikosongkan, maka ribuan KK akan kehilangan mata pencaharian,” ucap Ella Nurlela Raia, pedagang di Tanjung Aan.
Dia tidak keberatan jika ada penataan pengelolaan Tanjung Aan, asal tidak mengusir warga. Yang mereka butuh adalah penataan infrastruktur jalan, pengelolaan sampah, atau bagaimana cara mereka berbisnis dengan lebih baik.
“Bukannya mengusir dan menghancurkan bisnis kami.”
Biasanya, kunjungan turis bulan Juli dan Agustus tinggi di Tanjung Aan. Bulan itu, pedagang sepertinya bisa mendapat penghasilan paling tinggi. Penggusuran yang terjadi, otomatis memengaruhi pendapatan mereka.
Sayangnya, tidak ada pihak yang berpihak pada warga. Pemerintah desa, kecamatan, hingga kabupaten, katanya, tidak berpihak dan membela warga. Mereka justru kena tuding sebagai pencuri lahan di Tanjung Aan.
“Jujur saja, di media sosial petisi kami sudah ribuan, mungkin banyak mendukung, tapi untuk kekuatan di bawah, kami belum mampu menghadapi ITDC,” kata Ella.
Mongabay berusaha mengonfirmasi berbagai persoalan yang warga alami karena KEK Mandalika, terutama yang terjadi di Tanjung Aan.
Anggun Wijaya, Corporate Communication ITDC, mengatakan, akan menyampaikan konfirmasi lebih lanjut dalam waktu dekat. Namun, tidak ada konfirmasi lebih lanjut hingga berita ini terbit.
“Akan kami sampaikan konfirmasi lebih lanjut dalam waktu dekat ya,” katanya, 17 Juli.
Dalam berita Mongabay sebelumnya, Wahyu Moerhadi Nugroho, General Manager The Mandalika menjelaskan, penataan kawasan merupakan bagian dari rencana pengembangan jangka panjang kawasan wisata The Mandalika yang berada di bawah pengelolaan ITDC. Pihaknya telah melakukan pendekatan persuasif sebelum tindakan tersebut diambil.
“Dua kali sosialisasi resmi pada Januari dan April 2024, serta mengirimkan tiga surat peringatan sejak bulan Maret hingga Juni 2025 kepada para pelaku usaha,” dalam keterangannya di Mandalika, Rabu (16/7).
Penertiban di atas lahan berdasarkan sertifikat hak pengelolaan (HPL) Nomor 49, 64, 80, 82, dan 83. Sertifikat itu terbit berdasarkan keputusan KATR/BPN sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 50/2008, dengan luas kawasan 1.175 hektar.
ITDC menyatakan, penertiban ini tidak serta-merta menggusur para pelaku UMKM lokal. ITDC menyiapkan zona khusus legal dan lebih representatif bagi pelaku usaha kecil agar tetap dapat menjalankan usahanya.
“Ini bukan akhir dari usaha mereka, justru awal dari penataan kawasan yang lebih tertib, aman, dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar,” klaim Wahyu, sebelum dia pindah tugas ke Jakarta.

*****
Para Pelaku Wisata Pesisir Tanjung Aan Tergusur Demi KEK Mandalika