- Krisis iklim mengancam tiga komoditas populer Gen Z: matcha, kopi, dan cokelat. Ketiganya mengalami tekanan serius akibat suhu ekstrem, cuaca tak menentu, dan degradasi lingkungan yang mengancam produktivitas hingga kualitas hasil panen. Produksi kopi diprediksi menurun drastis hingga 2050. Studi memproyeksikan penyusutan lahan cocok tanam sebesar 50% secara global, serta migrasi ke dataran tinggi yang berpotensi memicu deforestasi baru.
- Matcha dan cokelat pun terdampak suhu tinggi dan cuaca ekstrem. Produksi matcha di Jepang turun tajam akibat gelombang panas, sementara petani kakao di Indonesia melaporkan penurunan panen akibat kekeringan dan angin kencang.
- Gen Z punya peran besar dalam menyelamatkan komoditas ini. Dukungan terhadap produk berkelanjutan, transparansi rantai pasok, dan inovasi ramah iklim dapat menjadi langkah konkret menjaga keberlangsungan kopi, matcha, dan cokelat di tengah krisis iklim.
Di sebuah kafe di Kota Samarinda, saya duduk memesan es americano sambil bekerja. Di meja sebelah, dua orang mengobrol santai, ditemani dua gelas matcha latte dan sepotong brownies coklat. Di barista station, suara grinder kopi dan mesin espresso nyaris tak berhenti. Pemandangan ini mencerminkan bagaimana kopi, matcha, dan cokelat menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian Gen Z masa kini.
Bagi generasi yang tumbuh di tengah arus digital dan visual, minuman seperti matcha, kopi, dan cokelat telah melampaui fungsi dasarnya. Mereka menjadi pilihan populer yang diasosiasikan dengan gaya hidup sehat, produktif, dan estetis. Matcha, misalnya, dipromosikan sebagai simbol “clean living” dan ketenangan yang sesuai dengan tren kesehatan di media sosial. Menurut Matcha Market Report 2025, nilai industri matcha global diperkirakan akan tumbuh dari US$3,84 miliar pada 2024 menjadi US$6,4 miliar pada 2029.
Sementara itu, kopi telah menjadi bagian dari kehidupan lintas generasi, terutama sebagai pemicu produktivitas dan interaksi sosial. Di Indonesia, data dari ukmindonesia.id menunjukkan bahwa makanan dan minuman adalah kategori pengeluaran terbesar Gen Z Indonesia, mencapai 71,76% dari total belanja bulanan mereka. Kopi menjadi pilihan utama, dengan konsumsi mencapai 46%. Pengaruh media sosial dan visualisasi gaya hidup memperkuat daya tariknya.
Namun, ada realitas di balik tampilan yang sempurna ini. Antara gaya hidup bersih dan modern yang dipromosikan melalui produk-produk tersebut dan kenyataan di lapangan, terdapat kesenjangan besar. Sistem pertanian yang menopang pasokan komoditas ini sangat rentan terhadap perubahan iklim. Tanaman penghasil bubuk teh hijau, biji kopi, dan kakao semakin kesulitan beradaptasi dengan iklim yang berubah cepat.
Dampak Perubahan Iklim pada Produksi Kopi, dan Matcha
Kopi menjadi bagian penting dari keseharian Gen Z, namun ironisnya, komoditas ini berada dalam bahaya serius akibat perubahan iklim. Dalam penelitian berjudul A bitter cup: climate change profile of global production of Arabica and Robusta coffee, disebutkan bahwa area global yang cocok tanam kopi bisa menyusut hingga 50% pada 2050.
Penelitian tersebut juga memprediksi bahwa produksi kopi akan bergeser ke dataran tinggi, termasuk di Asia yang masih memiliki cadangan hutan. Tapi ini menghadirkan dilema: migrasi lahan kopi dapat memicu deforestasi baru, jika tidak dikelola dengan prinsip keberlanjutan. Ini menjadi pengingat bahwa menjaga kopi tak bisa dilepaskan dari isu perlindungan hutan dan tata ruang.

Kenaikan suhu mempercepat pematangan buah kopi, menurunkan kompleksitas rasa. Pola curah hujan yang tidak menentu mengganggu siklus berbunga dan mengancam kestabilan panen. Tantangan ini menempatkan kopi dalam posisi rentan secara agronomis maupun ekonomi.
Seperti kopi, matcha juga menghadapi ancaman serupa. Jepang sebagai produsen utama mengalami gelombang panas ekstrem, terutama di wilayah penghasil matcha seperti Kyoto. Masahiro Yoshida, petani teh di Uji, melaporkan penurunan panen hingga 25% pada 2025 karena suhu tinggi.

Kondisi ini diperparah oleh peningkatan permintaan global. Harga tencha melonjak 170% dalam satu tahun. Kombinasi antara gangguan produksi dan lonjakan permintaan menciptakan tekanan besar dalam rantai pasok.
Indonesia juga merupakan salah satu penghasil teh hijau terbesar di Asia Tenggara, terutama dari perkebunan di wilayah Jawa Barat dan Sumatera. Meskipun tidak semua diproses menjadi matcha, teh lokal kita menghadapi tantangan yang serupa dengan Jepang, terutama dalam hal sensitivitas terhadap cuaca ekstrem.
Penelitian di Cianjur, Jawa Barat menunjukkan bahwa perubahan pola hujan—kemarau berkepanjangan saat El Niño dan curah hujan ekstrem saat La Niña—berdampak langsung pada penurunan produktivitas teh. Proses pemetikan terganggu, daun muda rusak, dan hasil panen menurun signifikan.
Berbeda dengan Jepang yang telah mulai menerapkan teknologi adaptif seperti sistem naungan otomatis, banyak petani teh di Indonesia masih bergantung pada metode tradisional. Minimnya akses terhadap teknologi, modal, dan pelatihan membuat mereka lebih rentan terhadap gagal panen dan penurunan kualitas hasil. Hal ini memperkuat argumen bahwa adaptasi iklim di sektor pertanian bukan hanya persoalan teknik, tetapi juga kebijakan dan keadilan distribusi teknologi. Meskipun tidak seluruhnya diproses menjadi matcha, tanaman teh di wilayah ini menghadapi ancaman serupa. Suhu ekstrem dan pola hujan tak menentu mengganggu pertumbuhan dan panen.
Produksi Kakao yang Semakin Tertekan
Cokelat berasal dari tanaman kakao (Theobroma cacao), tanaman tropis yang tumbuh optimal dalam rentang suhu dan kelembapan yang sangat stabil. Karena sensitivitasnya terhadap perubahan iklim, kakao menjadi salah satu komoditas paling rentan terhadap krisis iklim global.
Di Indonesia, khususnya di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, dampak perubahan iklim terhadap tanaman kakao sudah sangat terasa. Dalam laporan Mongabay Indonesia petani kakao mengalami penurunan hasil panen drastis—dari 4 ton menjadi hanya 600–800 kilogram per siklus panen. Penurunan lebih dari 80% ini dipicu oleh kekeringan panjang dan angin kencang yang merontokkan daun serta bunga kakao. Kekeringan memperlambat pembentukan buah, sementara tanaman menjadi rentan terhadap serangan hama dan penyakit.
Di sisi lain, fenomena serupa juga terjadi di wilayah penghasil kakao terbesar dunia seperti Pantai Gading dan Ghana. Menurut laporan resmi, Afrika Barat diperkirakan mengalami penurunan produksi kakao hingga 10% pada musim 2025/2026 akibat kombinasi cuaca ekstrem, pohon tua, dan tekanan dari praktik pertambangan ilegal. Studi dari Wageningen University bahkan memproyeksikan bahwa sekitar 50% lahan cocok tanam kakao di Pantai Gading dapat hilang pada 2060 akibat perubahan iklim.

Data ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap kakao bersifat global, tetapi dampaknya paling parah dirasakan oleh negara-negara produsen di kawasan tropis. Di sinilah isu keadilan iklim menjadi penting. Negara-negara penghasil seperti Indonesia sering kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap teknologi adaptasi iklim, insentif finansial, atau kebijakan perlindungan harga. Padahal, mereka adalah fondasi dari rantai pasok industri cokelat global.
Tanpa intervensi serius—baik dari pemerintah, pelaku industri, maupun konsumen—krisis ini tidak hanya mengancam pendapatan petani, tetapi juga masa depan cokelat sebagai komoditas budaya dan ekonomi. yang sangat sensitif terhadap perubahan iklim. Kakao hanya dapat tumbuh di wilayah tropis dengan suhu dan kelembapan stabil. Di Indonesia, khususnya Luwu Utara, petani melaporkan penurunan panen lebih dari 80% akibat kekeringan dan angin kencang.
Kondisi ini juga tercermin di wilayah penghasil kakao global seperti Pantai Gading dan Ghana. Ini memperlihatkan bahwa ancaman terhadap kakao bersifat global, namun dampaknya paling dirasakan di negara-negara produsen. Isu ini menyangkut keadilan iklim dan perlunya dukungan konkret bagi petani di negara berkembang.
Gen Z dan Peran dalam Mendorong Perubahan
Kopi, matcha, dan cokelat telah menjadi bagian dari identitas dan keseharian Gen Z, tidak hanya sebagai produk konsumsi, tetapi juga sebagai simbol gaya hidup dan pencitraan sosial. Namun, di balik popularitasnya, ketiga komoditas ini sangat bergantung pada rantai pasok yang kini terancam oleh krisis iklim.
Kontradiksi antara gaya hidup sadar kesehatan dan kenyataan di lapangan menjadi semakin nyata: matcha berasal dari pertanian yang dilanda gelombang panas, kopi dari dataran tinggi yang makin rentan gagal panen, dan cokelat dari kebun kakao yang terdampak kekeringan serta angin kencang.
Meski begitu, sejumlah inisiatif lokal memberikan harapan, seperti praktik agroforestri di kebun kakao Sulawesi, regenerasi petani muda di Jawa Barat, dan pelatihan adaptasi iklim untuk petani teh di Cianjur. Langkah-langkah ini perlu diperluas, dan Gen Z bisa mengambil peran penting dalam mendorongnya.
Sebagai generasi dengan daya beli, kesadaran digital, dan kekuatan pengaruh sosial yang besar, Gen Z dapat mendorong transformasi industri lewat konsumsi bertanggung jawab. Mendukung produk berkelanjutan, menuntut keterbukaan rantai pasok, hingga menyuarakan keadilan iklim bukan lagi sekadar idealisme, tetapi kebutuhan. Masa depan kopi, matcha, dan cokelat bergantung pada siapa yang peduli hari ini. Gen Z bisa memilih untuk sekadar menikmati tren, atau menjadi generasi yang memastikan tren itu tetap punya masa depan.