- Masyarakat di Desa Timbulsloko dan Surodadi, Demak, Jawa Tengah, menolak takluk dengan tenggelamnya pesisir utara jawa. Perkawinan naiknya permukaan air laut dan penurunan tanah itu mereka akali dengan berbagai cara. Terbaru, muncul inovasi rumah apung dan rumah amfibi yang memungkinkan mereka tinggal di pesisir utara jawa yang tenggelam itu.
- Perbedaan rumah apung dan amfibi terletak pada fleksibilitas. Rumah amfibi untuk wilayah yang banjir robnya dapat surut seperti di Surodadi. Kajiannya menyebut model ini dapat tahan hingga lebih dari 10 tahun.
- F.X. Bambang Sukiyanto, Ketua tim kajian prototipe rumah apung dan amfibi, menyebut, dia mendasari desain pada kondisi lapangan. Pengalaman dan pengetahuan warga jadi orientasi utama pembuatan desain hunian itu.
- Pengembangan rumah apung dan amfibi sendiri jadi komitmen Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Dinperkim). Tahun ini, mereka punya anggaran pembuatan 30 unit model rumah itu.
Masyarakat di Desa Timbulsloko dan Surodadi, Demak, Jawa Tengah, menolak takluk dengan tenggelamnya pesisir utara Jawa. Dampak kenaikan permukaan air laut dan penurunan tanah itu mereka akali dengan berbagai cara. Terbaru, muncul inovasi rumah apung dan rumah amfibi yang memungkinkan mereka tinggal di pesisir utara jawa yang tenggelam itu.
Penelitian di Universitas Gadjah Mada (UGM) memprediksi kenaikan air pasang di Demak mencapai 1,63 meter. Ia menambah bahaya setiap orang yang memilih tetap tinggal di daerah yang mengalami penurunan tanah 0,06-1,15 meter per tahun itu.
Bowo Prasetyo, warga Timbulsloko, bahkan pernah mendapati rumahnya roboh karena tidak kuat kena rob. Untungnya, dia mendapat bantuan rumah apung dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Demak yang berkolaborasi dengan berbagai lembaga.
“Saya juga dilatih bikin dan merawat rumah apung ini, saat proses pembangunannya saya ikut,” katanya.
Rumah apung ini, seakan jadi solusi panjang dari bentuk adaptasi sebelumnya yang berwujud rumah panggung. Karena, warga tidak perlu lagi memikirkan biaya tahunan mengganti bambu dan kayu yang biasanya menghabiskan Rp8 juta.
Jumlah itu, berat bagi masyarakat yang terdampak rob. Sebagian warga terpaksa beralih kerjaan dari petani, nelayan jadi buruh pabrik. Ikan dan produk laut makin sedikit karena tersapu gelombang yang terus meningkat dan ekosistem rusak.
Rony, panggilan karibnya, pun sehari-hari bekerja sebagai buruh lepas. Sejak meninggali rumah apung April lalu, dia jadi tidak khawatir beban penggantian kayu dan bambu seperti saat tinggal di rumah panggung.
“Tinggal bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti air karena sumur sudah tidak bisa dipakai lagi.”
Dia juga merasa lebih aman dan tak khawatir saat meninggalkan ibunya sendirian di rumah. Karena pasang laut kadang terjadi begitu saja yang mengakibatkan rumah-rumah di sana terhempas.
“Kalau pasang terjadi, rumah ini sudah otomatis mengapung. Ada penahannya juga agar tidak bergeser jauh,” katanya.
Rony bilang, biaya pembuatan rumah apung dengan ukuran 35 meter persegi sekitar Rp150 juta untuk belanja bahan material. Seluas itu, cukup untuk ruang tamu, dua kamar, dapur, dan kamar mandi.
Waktu pengerjaan sekitar satu bulan dan perlu lima pekerja. Semua adalah warga terdampak yang sudah mendapat pelatihan terlebih dahulu. Dia pun termasuk lima tukang yang mendapat pelatihan itu.
Rumah apung ini menggunakan drum sebagai penopang, yang saling tersambung sedemikian rupa sehingga kokoh. Kerangka rumah menggunakan material beton yang digabung dengan serat kaca (glass reinforced concrete/GRC). Bahan ini lebih ringan tetapi kuat.
“Beberapa kali sempat pasang dan dapat menyesuaikan dengan ketinggian air juga, goyangan karena gelombang yang ada juga dapat diredam sehingga aman,” ungkapnya.
Perabotan di dalam rumah apung juga terjaga posisinya. Televisi, rak, dan meja di ruang tamu itu kokoh duduk di tempatnya. Di dapur, tak ada suara gaduh yang menandakan piring yang bergeser di atas meja, juga sendok dan perkakas memasak lainnya.
Rony bilang, warga Timbulsloko yang awalnya sangsi dengan rumah apung ini jadi yakin atas keamanan dan kemampuannya beradaptasi dengan banjir rob. “Banyak warga yang pengin bikin seperti ini tapi masih mempertimbangkan biayanya karena memang tidak murah juga.”

Selain rumahnya, ada dua rumah apung percontohan lain di kampung itu punya Mukromin, dan bangunan tempat mengaji yang Nahdlatul Ulama bangun. Organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini punya banyak anggota di Timbulsloko.
Rumah mukromin merupakan prototipe pertama. Jaraknya hanya 100 meter dari rumah Rony. Bangunan tahun 2024 ini memiliki ukuran yang lebih tinggi.
“Beda lainnya rumah ini saya bangun sendirian, kalau yang punya Rony dibangun beberapa orang, termasuk saya. Dulu itu tidak ada anggaran untuk bayar tukang,” ucap pria 56 tahun itu.
Dia bahkan mengangkut bahan material itu sendirian dari pinggir jalan desa masuk perkampungannya itu. Dia rela lakukan itu karena enggan mengikuti imbauan relokasi Pemkab Demak.
“Saya mau karena bahan materialnya disediakan semua, daripada diminta relokasi lebih baik rumah apung ini.”
Warga, katanya, juga enggan relokasi, karena yakin banjir rob akan makin tinggi dan meluas hingga jalan pantai utara (pantura). Kemanapun mereka pergi, laut akan terus mengejar.
“Kami ini benteng terakhir banjir rob.”
Sekarang, pria yang jadi tukang bangunan ini mengaku aktivitasnya jadi lebih aman di rumah apung. Alfiyah, istrinya, lebih produktif dalam mengerjakan urusan domestik.
Mulai dari mencuci, menyapu, hingga mengolah hasil tangkapan ikan suaminya untuk mereka jual dapat dia lakukan dengan tenang. Bahkan, meningkatan tambahan pemasukan bagi keluarganya, lewat pengeringan ikan asin.
Alfiyah kini jadi lebih rutin mengeringkan ikan asin hasil tangkapan suaminya dan pembeliannya dari warga lain yang menangkapnya.
“Hasilnya lumayan juga sehari bisa lima kilogram mengeringkan ikan, dulu was-was karena emperan rumah yang buat jemur ikan agak rapuh,” katanya ibu dua anak itu.

Rumah amfibi pertama
Inovasi berikutnya terdapat di Surodadi. Banjir rob di wilayah ini memang tak separah di Timbulsoko, tapi tiap tahun ketinggian dan wilayah terdampaknya kian meluas.
Kasmini, salah seorang warga, bahkan harus merelakan tanah miliknya jadi rawa. Padahal, tanah itu untuk membangun rumah anaknya.
“Saya punya empat anak semuanya sudah berkeluarga tapi masih tinggal sama saya, tanah pekarangan ini mau dibangun rumah tapi malah kena rob,” katanya.
Kawasan di sekitar tanah itu memang sudah terendam sejak 2022. Perempuan yang kerap berdagang sayur itu bilang, sejak 2015 air laut sering merendam wilayah itu, tetapi akan kering dengan sendirinya. Kondisi ini terus bertahan sejak tahun 2022.
Dia pun sempat gundah. Itu sebabnya, ketika program rumah amfibi datang, tanpa ragu dia terima.
“Karena dijual sudah tidak laku lagi, mau ditanami enggak bisa, dibangun rumah apalagi,” katanya.
Mayoritas rumah di Surodadi juga sudah terdampak rob. Setidaknya tiap tahun mereka menguruk permukaan tanah supaya tidak mudah tergenang saat pasang terjadi.
Rumah amfibi, tidak seperti model rumah lain di kampung tersebut. Pondasi bangunan tidak tertanam dalam tanah, tetapi dalam drum-drum yang memiliki tiang pancang. Model rumah yang tidak mengandalkan pengurukan jadi hal baru di sana.
“Bagi saya malah ini bagus karena lebih hemat, rumah saya yang dipakai anak-anak itu sudah lima kali diuruk dan biayanya juga enggak murah.”
Kini rumah amfibi itu Kasmini gunakan untuk memulai usaha baru. Dia berniat jual jajanan anak-anak sekolah yang lokasinya berdekatan.
“Sumber air juga ada, kamar mandi dan tempat mencuci juga bersih, sayang kalau enggak untuk lebih produktif.”
Pengerjaan bangunan amfibi ini berbarengan dengan rumah apung di Timbulsloko. Universitas Katolik Soegijapranata Semarang (Unika) turut serta mendesain model dua rumah ini. Keprihatinan akan kondisi pesisir yang berubah dari tapak jadi laut mendorong keterlibatan mereka di sini.
F.X. Bambang Sukiyanto, Ketua tim kajian prototipe rumah apung dan amfibi, mendasari desain pada kondisi lapangan. Pengalaman dan pengetahuan warga jadi orientasi utama pembuatan desain hunian itu.
Perbedaan rumah apung dan amfibi, katanya, terletak pada fleksibilitas. Rumah amfibi untuk wilayah yang banjir robnya dapat surut seperti di Surodadi. Kajiannya menyebut model ini dapat tahan hingga lebih dari 10 tahun.
Sedangkan rumah apung, khusus untuk wilayah yang memang sudah terendam parah dan tak mungkin surut lagi. Tapi ketahanannya juga lebih dari 10 tahun.
“Sebetulnya tingkat adaptifnya sama untuk krisis iklim, tapi rumah apung untuk wilayah yang sudah terendam di atas 50 centimeter, sedangkan amfibi untuk ketinggian air kurang dari itu,” jelas dosen arsitektur Unika itu.
Dua model rumah ini juga dia desain untuk meminimalisasi benturan atau pergeseran akibat banjir rob. Menurutnya, keduanya sudah terbukti memenuhi kelaikan hunian yang sehat dan aman dari bencana.

Tantangan tata ruang dan anggaran
Yayasan Sheep, juga turut berkontribusi dalam proyek itu menyebut kedua model rumah ini akan optimal jika terintegrasi dengan tata ruang dan wilayah agar mendung penghidupan di sana.
Hariyoso, Project Manager Yayasan Sheep, perubahan tata ruang jadi penting karena ada perubahan geografis perkampungan yang terdampak rob.
“Dari dulu wilayah pertanian kemudian jadi perikanan, sekarang banyak warganya buruh belum ada perubahan tata ruang padahal penting agar mendukung aktivitas dan kebutuhan warga.”
Warga, katanya, perlu menginventarisasi masalah untuk penataan ruang dan wilayah mereka. Daftar itu kemudian bisa mereka sampaikan ke pemerintah supaya bisa terselesaikan.
Hariyoso bilang, warga yang terdampak banjir rob sudah adaptif dengan kondisi mereka. Terbukti dengan pembentukan relawan kebencanaan secara swadaya, gotong royong bangun kebutuhan umum seperti jalan, hingga pengelolaan sumber air.
Sikap ini, katanya, adalah modal penting menghadapi krisis iklim. Kebijakan penanganan rob juga mesti berorientasi warga, sehingga aspirasi yang muncul perlu diakomodasi. “Karena warga yang memahami kondisinya dengan baik, mereka mampu merumuskan kebutuhannya sendiri, termasuk tata ruang ini.”
Yayasan Sheep sengaja melibatkan warga dalam mitigasi krisis iklim. Mereka latih warga untuk membangun rumah apung dan amfibi. Harapannya, mereka jadi berdaya dan berpengetahuan dalam membuat rumah, bukan hanya pasif jadi penerima bantuan.
Pengembangan rumah apung dan amfibi sendiri jadi komitmen Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Dinperkim). Tahun ini, mereka punya anggaran pembuatan 30 unit model rumah itu.
Rondiyah, Kepala Bidang Perumahan Dinperkim Demak, menyebut rencana dalam waktu dekat akan merealisasikan 10 unit rumah apung di Timbulsloko. Namun tantangannya adalah anggaran dan peraturan yang ada.
Surat Keputusan Badan Penanggulangan Bencana Nasional No.296/2023 tentang Bantuan Stimulan Rumah Rusak Terdampak Bencana menyebut maksimal bantuan Rp50 juta. “Jadi kalau mau merealisasikan mesti menggandeng mitra lain karena anggaran yang dibutuhkan Rp150 juta, sedangkan ada batas itu,” katanya.
Dia bilang, sudah ada Bank Jateng yang akan jadi mitra untuk realisasi target 10 rumah. Dalam hal ini, BUMD itu akan memberikan dana pertanggungjawaban sosial.
“Itu aturan pusat juga, kami tidak bisa mengutak-atiknya. Sebenarnya juga bagus untuk pemerataan juga, tinggal cari mitranya.”

*****