- Penerapan aturan tradisional awik-awik mendorong kemandirian ekonomi dan menekan angka migrasi tenaga kerja dari Lombok Timur. Konservasi laut berbasis komunitas terbukti menekan praktik merusak dan memperkuat ketahanan pangan serta sosial masyarakat pesisir.
- Aturan komunitas melarang perusakan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, serta mencegah penggunaan bahan kimia berbahaya seperti potasium. Pelanggaran terhadap awik-awik seperti penggunaan potasium untuk menangkap ikan mendapat sanksi sosial dan denda. Mediasi permasalahan dilakukan di tingkat kmunitas.
- Awik-awik menjamin pelibatan perempuan dalam perlindungan sumber daya laut yang menopang ekonomi rumah tangga mereka. Kelompok perempuan nelayan di Teluk Jor tidak hanya membantu suami, tetapi juga aktif menyusun awik-awik dan mengambil keputusan dalam pengelolaan pesisir.
- Perkembangan ekonomi di Teluk Jor, membuat masyarakat tidak lagi harus merantau menjadi tenaga kerja migran ke luar negeri. Dengan terjaganya ekosistem, mendorong ekonomi lokal.
Matahari baru saja muncul di ufuk timur Gili Re, Desa Paremas, Lombok Timur. Di atas pulau karang seluas 1,9 hektar itu, kaum perempuan sibuk memotong ikan-ikan kecil seukuran ruas jari. Potongan ikan-ikan itu rencananya dijadikan pakan lobster di keramba jaring apung (KJA) yang rata-rata dimiliki para suami mereka.
Pekerjaan ini sudah jadi rutinitas yang mereka lakukan setiap paginya saat budidaya lobster telah menjadi gantungan hidup sekitar 60 persen warga di Desa Paremas dan Desa Jerowaru.
“Pagi hari semua pekerjaan ini sudah harus selesai,” kata Harniati (43), Ketua Kelompok Perempuan Nelayan “Ingin Maju.”
Sebagai pakan untuk lobster, potongan ikan-ikan itu diberikan sekali sehari, pada pukul 07.00 pagi, saat sebelum sinar matahari menyengat dan memanaskan suhu permukaan air.
Tidak saja mengelola lobster yang menjadi komoditas utama di Paremas dan Jerowaru. Untuk menambah nafkah keluarga, para perempuan juga mengolah hasil tangkapan nelayan seperti ikan, cangkang kepiting, cumi-cumi untuk diproduksi menjadi kerupuk, bahkn hingga produksi terasi.
Terlebih, terasi buatan warga setempat amat diminati oleh pasar swalayan dan kerap dijadikan oleh-oleh khas dari Lombok Timur.

“Ibu-ibu senang sekali jika bisa membantu ekonomi keluarga. Mereka semangat,” jelas Harniati. “Semua bahan baku ada dari sini, tidak perlu cari jauh-jauh. Contohnya rebon (sejenis udang kecil) untuk buat terasi, kami peroleh dari mangrove.”
Dia bersyukur ada aturan desa yang disebut awik-awik yang mengatur tentang pengelolaan pesisir, hutan mangrove dan padang lamun, habitat penting bagi ikan-ikan dan biota yang mereka perlukan.
Bagi Harniati dan rekan-rekannya sesama nelayan perempuan, awik-awik sebagai aturan utama pelestarian alam amat bermanfaat.
Di dalam awik-awik, warga dilarang menebang pohon mangrove, termasuk juga tidak boleh menggunakan kerakat oros (sejenis pukat) di sekitar kawasan tersebut. Selain itu di dalam awik-awik juga melarang perusakan padang lamun dan terumbu karang dari penggunaan bom, potasium sianida, pestisida, dan bahan kimia beracun lainnya.
Bagi siapa pun yang melanggar kesepakatan ini, maka akan dikenakan sanksi berupa denda materi hingga sanksi sosial.
“Sekali melanggar awik-awik, selamanya orang tersebut akan terus dicap sebagai pelanggar awik-awik. Mungkin karena itu masyarakat sangat menjaga alam dan lingkungan mereka,” ungkap Muhammad Nasrudin, Kepala Desa Jerowaru.

Nasrudin memberi contoh kejadian beberapa waktu lalu saat seorang tokoh dari luar Kecamatan Jerowaru tertangkap tangan saat menebar potasium. Kasusnya dimediasi dan diselesaikan di tingkat komunitas lokal.
Awalnya, kejadian ini diketahui oleh Haji Roja, salah satu nelayan KJA lobster, Di suatu pagi, Roja amat terkejut ketika sampai ke keramba miliknya. Dia melihat banyak lobster muncul ke permukaan, sebagian mengapung mati, dan sebagian terlihat oleng.
Dia pun paham penyebab kematian lobsternya adalah karena potasium (sianida). Roja coba mengingat bahwa pagi hingga sore sehari sebelumnya laut sedang surut. Banyak warga luar kampung yang mencari kerang dan ikan yang terjebak di kubangan air laut. Di saat-saat seperti itu beberapa pencari ikan menggunakan potasium.
“Ini pekerjaan orang luar, kalau penduduk di sini sudah tidak ada yang pakai potas,’’ kata Roja saat ditemui di keramba miliknya, Sabtu (10/5/2025).

Aktivitas mencari kerang dan ikan saat air laut surut tradisional itu dikenal dengan nama mada’. Kegiatan ini bukan semata dilakukan oleh masyarakat pesisir di Desa Paremas dan Jerowaru saja, tapi secara tradisi juga kerap diikuti masyarakat yang jauh dari pesisir. Kadang mereka datang ramai-ramai bersama dalam satu keluarga. Bahkan ada yang datang berombongan naik mobil pikap.
Di saat-saat mada’ itu, ada beberapa pencari yang ingin cepat mendapatkan ikan dengan menggunakan potasium (potas). Caranya botol potas di jepit di jari-jari kaki dan mereka berjalan ke genangan air laut. Saat potas disemprot, mereka tinggal menunggu ikan-ikan yang teler karena pengaruh bahan kimia itu.
Namun saat air laut kembali pasang pada keesokan paginya, residu bahan kimia itu juga masuk ke dalam keramba-keramba milik warga setempat. “Sejak saat itu, keramba juga kita jaga siang malam agar jangan ada lagi yang pakai potas lagi,’’ tegas Roja.

Dulu Buruh Migran, Sekarang Jadi Nelayan Budidaya
Dengan penerapan awik-awik sebagai aturan bersama warga, yang disertai dengan membaiknya ekonomi pesisir, hal ini berpengaruh kepada arus migrasi warga lokal. Sekarang mereka tidak perlu lagi jauh-jauh pergi merantau mencari penghasilan sebagai buruh migran.
“Dulu banyak warga di sini yang pergi ke Malaysia dan Hong Kong untuk cari pekerjaan sebagai TKI. Sekarang sudah makin banyak yang punya usaha sendiri,” ujar Nasarudin.
Dia menyebut, kini banyak warga yang bertahan, tinggal dan berkembang kehidupan ekonominya dari hasil usaha budidaya perikanan laut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Kabupaten Lombok Timur menempati posisi kedua secara nasional sebagai kabupaten pengirim pekerja migran Indonesia (PMI) ke luar negeri terbanyak.
Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Lombok Timur tahun 2024 tercatat sebanyak 2.587 warga Lombok Timur merantau ke luar negeri. Negara tujuan terbanyak adalah Malaysia, diikuti Taiwan, Hong Kong, dan Arab Saudi.
Namun sejak perekonomian lokal membaik dan dusun-dusun pun bergeliat, warga lebih fokus mencari pendapatan di kampungnya sendiri. Bahkan. inisiatif seperti wisata mangrove dan kegiatan konservasi yang dipimpin pemuda dan perempuan pun mulai berkembang.

Pelibatan Perempuan dalam Penyusunan Awik-Awik
Menurut Harniati, saat penyusunan awik-awik, peraturan ini tidak saja disusun oleh para nelayan laki-laki, tetapi juga melibatkan kelompok perempuan nelayan. Di dalamnya diatur perlindungan hak-hak perempuan nelayan, juga sumber-sumber penghidupan mereka.
Hal ini karena kaum perempuan adalah bagian penting dari struktur komunitas. Saat lingkungan rusak, maka ini dampat berdampak pada perempuan, seperti komplikasi pada saat kehamilan, pemenuhan sumber gizi bagi keluarga, hingga mencegah perkawinan dini pada anak perempuan akibat desakan faktor ekonomi.
“Kita tidak punya lahan (sawah), laut ini jadi lahan kami, maka kalau dirusak habis penghasilan kami. Karena itu, pesisir dan laut kami jaga,’’ katanya.
Dalam setiap pertemuan ibu-ibu, Harniati pun aktif mempromosikan awik-awik, “…. biar ibu-ibu lebih ‘galak’ jaga laut. Perempuan itu bukan pelengkap. Kami tahu persis dampaknya ke anak dan keluarga kalau laut jadi rusak.”

Berkat awik-awik, dia sebut partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan mulai dilibatkan. Perempuan pun dilibatkan dalam pengambilan keputusan saat membuat zonasi untuk kawasan lindung laut dan perencanaan KJA.
Harniati sendiri misalnya. Dia memiliki satu unit KJA dengan 19 lubang yang dijalankan bersama keluarga. Tidak saja sekedar membantu suami, dia pun turut berperan aktif dalam perencanaan keramba tersebut sedari awal.
Ketika membangun KJA, Harniati melihat posisi terlebih dahulu. Dia mlakukan survey ke rencana lokasi tapak, termasuk memerhatikan pasang surut, dan melihat keberadaan KJA sekitar. Setelah itu dia meminta izin ke pemilik KJA terdekat.
Pemilik KJA yang terlebih dahulu memasang keramba pun turun memastikan. Setelah jarak yang diatur awik-awik sesuai, Harniati mulai membangun keramba miliknya.
“Itu enaknya kita punya awik-awik, semua sudah ada di dalam aturan adat,’’ katanya. “Sekarang siapapun takut kalau mau melanggar,’’ tutupnya.
Dampak konteks ini keberadaan awik-awik di Teluk Jor sudah tidak lagi hanya bicara soal sisi lingkungan, tetapi juga sisi sosial dan keadilan sosial. Dampaknya ketahanan ekonomi mulai dirasakan langsung di dapur rumah tangga para nelayan.
Artikel ini hasil kerjasama antara Mongabay Indonesia dengan WGII dan LPSDN.
*****
Foto utama: Ikan-ikan hasil tangkapan yang di jual di TPI Tanjung Luar. Ekosistem yang sehat mendukung ekonomi yang berkelanjutan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Praktik Awik-Awik di Lombok: Menjaga Laut, Menjaga Hak Warga Teluk Jor