- Langkah pemerintah untuk menjadikan Flores sebagai ‘pusat’ energi panas bumi dengan Flores, Pulau Panas Bumi, menuai protes. Serangkaian unjuk rasa berlangsung di berbagai tempat belum lama ini menuntut pencabutan klaim itu dan menolak proyek yang diklaim sebagai energi hijau itu.
- Pada 2017 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan Flores sebagai pulau geothermal dan ditargetkan tahun 2025 pemenuhan kebutuhan listrik dasar utama (baseload) di Pulau Flores berasal dari energi panas bumi.
- Penolakan terhadap proyek geothermal berlangsung di hampir semua wilayah perencanaan PLTP di Pulau Flores dan Lembata. Tema besar penolakan, menuntut pembatalan keputusan Menteri ESDM tentang penetapan Pulau Flores sebagai pulau panas bumi.
- Melky Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) nasional, mengatakan, pengembangan geothermal di Flores tidak untuk menerangi kampung-kampung yang gelap lebih sebagai ekspansi bisnis para pemilik modal.
Langkah pemerintah untuk menjadikan Flores sebagai ‘pusat’ energi panas bumi dengan Flores, Pulau Panas Bumi, menuai protes. Serangkaian unjuk rasa berlangsung di berbagai tempat belum lama ini menuntut pencabutan klaim itu dan menolak proyek yang diklaim sebagai energi hijau itu.
Di Kabupaten Manggarai, unjuk rasa berlangsung di Kantor Bupati Manggarai untuk menolak rencana pengembangan geothermal di Poco Leok. Agustinus Sukarno, pemuda Poco Leok menyebut, Poco Leok bukan wilayah kosong tanpa penghuni. “Mereka perlu menyadari bahwa Pulau Flores bukan pulau geothermal, melainkan Nusa Bunga,” katanya.
Di Kabupaten Ende, aksi berlangsung dengan melibatkan para rohaniwan Katolik, organisasi masyarakat serta perwakilan umat Katolik dari 39 paroki dan stasi di Keuskupan Agung Ende. Dalam aksi yang berlangsung di Kantor Bupati dan DPRD Ende itu, mereka menyuarakan hal yang sama: menolak geothermal.
Massa yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup ini juga mendorong Bupati dan DPRD Ende meminta KESDM mencabut penetapan Flores sebagai pulau geothermal. “Cabut SK penetapan titik geothermal di seluruh wilayah Ende,” teriak mereka.

Umat Katolik di Kevikepan Mbay, Keuskupan Agung Ende (KAE) yang tergabung dalam Forum Peduli Lingkungan Kabupaten Nagakeo juga melakukan protes serupa. Dalam aksinya di kantor pemkab dan DPRD itu, mereka menolak kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Romo Basilius Lewa, Wakil Vikaris Episkopal Kevikepan Mbay dalam orasinya menyebutkan, rencana proyek geothermal di Kevikepan Mbay, Kabupaten Nagekeo dan daratan Flores, bukan sebagai pembangunan, “Tetapi, bentuk eksploitasi yang mengancam kehidupan manusia,” katanya seperti dikutip dari Florespos.net.
Romo mengatakan, geothermal berisiko di Bumi Flores, sebagai daerah rawan bencana. Lebih dari 20 Paroki se-Kevikepan Mbay, kata Romo, satu suara menolak proyek geothermal karena mengancam tanah, air, udara, dan masa depan anak cucu mereka.
Aksi penolakan PLTP juga berlangsung di Kabupaten Ngada. Aliansi yang tergabung dalam gerakan peduli lingkungan dari 19 Paroki di Kevikepan Bajawa, menggelar aksi di Kantor Bupati dan DPRD Ngada. Salah satu tuntutannya, meminta pemerintah mengevaluasi dan menghentikan proses pembangunan geothermal di Mataloko.

Flores bukan pulau panas bumi
Penolakan terhadap proyek geothermal berlangsung di hampir semua wilayah perencanaan PLTP di Pulau Flores dan Lembata. Tema besar penolakan, menuntut pembatalan keputusan Menteri ESDM tentang penetapan Pulau Flores sebagai pulau panas bumi.
Penetapan Flores sebagai pulau panas bumi itu tertuang dalam SK Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tahun 2017. Dalam surat itu, KESDM menyebut, pulau ini sebagai pulau panas bumi.
Terdapat tiga pembangkit listrik panas bumi yang telah beroperasi di Flores, yaitu PLTP Ulumbu (10 MW), PLTP Mataloko (2,5 MW), dan PLTP Sokoria (5 MW). Tahun ini, pemerintah menargetkan kebutuhan listrik dasar utama (baseload) di Pulau Flores berasal dari energi ini.
Agustinus Tuju, warga Lungar, Poco Leok, mengakui, dari 14 gendang (komunitas adat) di Poco Leok, 10 menolak kehadiran PLTP.
Dia mengatakan, akan tetap mempertahankan tanah leluhur mereka dari penguasaan perusahaan tambang. “Tanah-tanah di Poco Leok bukan milik saya tetapi milik leluhur dan orang yang belum lahir.”
Richardo Barry Asto, dalam Jurnal Penelitian Pendidikan IPA menyebut, terdapat 18 lokasi di Pulau Flores yang memiliki potensi panas bumi dengan sumber daya mencapai 741, 5 MW dan dicirikan oleh mata air panas dan fumarol.
Potensi itu belum termasuk tiga prospek baru, yakni Marapokot, Randoteno, dan Pajoreja, yang berada di Kabupaten Nagekeo. “Dengan demikian, terdapat 20 wilayah prospek yang berpotensi mencapai 739,5 MWe khusus untuk daratan Flores.”
Jusuf A. Adoe, Kepala Dinas (Kadis) ESDM NTT menyebutkan, sebagian besar potensi panas bumi berada di Pulau Flores hingga Lembata. Berdasarkan sumber data dari One Map KESDM, secara keseluruhan 28 titik potensi panas bumi itu mencapai 861 MM.

Kepentingan bisnis
Melky Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) nasional, mengatakan, pengembangan geothermal di Flores tidak untuk menerangi kampung-kampung yang gelap lebih sebagai ekspansi bisnis para pemilik modal.
Hal itu, berdasarkan produksi listrik Flores yang dia nilai jauh dari kebutuhan warga. “Ini murni bisnis, bukan energi hijau yang diklaim sebagai salah satu cara untuk mengatasi krisis iklim.”

Dia juga singgung soal label energi terbarukan pada PLTP. Dia bilang, salah satu ciri energi terbarukan adalah kemampuan untuk terus memperbarui elemen di dalamnya. Dalam konteks geothermal, beberapa pertanyaan kritis muncul untuk mempertegas layak tidaknya panas bumi sebagai energi terbarukan.
“Misal, apakah lapisan magma di inti bumi selalu tersedia? Apakah air yang dipakai untuk sumur injeksi selalu tersedia, terutama air tanah? Dan apakah emisi atau jejak karbon yang dihasilkan dari ekstraksi panas bumi lebih rendah dari energi lain?”
Menurut Melky, transisi energi dari energi kotor ke energi bersih tidak cukup hanya pada hasil, perhatian juga harus pada setiap tahapan yang berlangsung. ” Semua harus bersih. Jadi, pemerintah dan perusahaan mengabaikan rantai kerja geothermal dari A sampai Z,” kata Melky.
Di Indonesia, panas bumi sebelumnya masuk jenis tambang tetapi sudah keluar dari kategori itu.. Motifnya, tentu agar proyek PLTP bisa masuk ke kawasan hutan, termasuk hutan konservasi yang status makin berkurang.
Melky sesalkan pemerintah tidak mau mendorong pengembangan energi berbasis komunitas, seperti warga ingin mengembangkan listrik surya untuk kebutuhan warga di wilayahnya. “Padahal, harusnya ini yang makin kita dorong untuk mewujudkan kedaulatan sektor energi ini.”

*****