-
Embung Tirta Mulya menjadi bukti nyata bagaimana sebuah infrastruktur dapat mengubah kehidupan 3000 warga Tegalmulyo di lereng Gunung Merapi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Embung menjadi solusi bagi warga Tegalmulyo menghadapi perubahan iklim.
-
Identifikasi AruPA, warga di lereng Gunung Merapi menghadapi masalah dalam melestarikan embung yang menjadi sumber air utama mereka. Aktivitas pertambangan pasir dan batu di tanah hak milik marak, membuat lingkungan rusak dan mengancam kelestarian embung.
-
Edi Suprapto, Direktur AruPA, menjelaskan, siklus hidrologi di lereng Desa Tegalmulyo melibatkan air hujan yang jatuh di wilayah atas mengalir ke sungai dan akhirnya sampai ke embung di Tirta Mulya.
- Ruky Umaya, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Gunung Merapi (TNGM), menjelaskan keunikan Gunung Merapi. Dia bilang, empat lereng gunung ini memiliki kondisi berbeda. Selatan dan barat memiliki sumber air yang melimpah, sementara minim air di lereng tenggara, timur dan utara.
Sukono, warga Lereng Gunung Merapi, Klaten, Jawa Tengah, tak bisa menyembunyikan antusias menyambut Kirab Gunungan perdana Desa Tegalmulyo, akhir April lalu. Pagi itu, rombongan warga mulai berjalan mengarak aneka jenis buah hasil panen mereka. Menumpuknya menyerupai satu gunung di atas tandu.
Mereka mengarak gunungan itu keliling kampung untuk menarik perhatian warga dan berpartisipasi ikut barisan. Tujuannya ke Embung Tirta Mulya, tak jauh dari ladang pria 56 tahun itu.
Warga mengarak gunungan mengitari embung dengan luas hampir seukuran lapangan sepak bola. Prosesi itu berakhir dengan sosialisasi pentingnya bergotong royong melestarikan embung oleh tokoh masyarakat di sana, kemudian mempersilakan warga berebut isi gunungan dengan suka cita.
“Ini loh karena ada embung, kita masih bisa panen. Tujuannya itu,” kata Subur, pengelola Embung Tirta Mulya yang memprakarsai gunungan bersama Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (AruPA).
Usai proses, mereka yang berpartisipasi, antara lain, para lansia, perempuan dan anak-anak melakukan penanaman bibit kopi dan alpukat yang sudah mereka siapkan.
“Semakin banyak pohon nanti kan udara kita juga akan semakin sejuk, mempengaruhi iklim,” katanya.
Pemilihan dua tanaman itu berdasarkan manfaatnya untuk menjaga kualitas tanah resapan embung dan bentuk edukasi pada petani supaya tidak menggunakan banyak pestisida dan pupuk kimia. Kedua bahan kimia itu membuat hama jadi kebal terhadap pestisida.
Masih terang dalam ingatan Subur saat kecil dulu kerap mandi hanya tiga hari sekali saat desanya mengalami kekeringan panjang. “Tetapi dulu udara sangat sejuk. Warga Tegalmulyo jarang keringetan, meski ketika sedang mencangkul tanah di bawah matahari siang bolong.”
Situasi itu hanya berlangsung hingga akhir 1990-an, ketika hutan-hutan lebat beralih fungsi menjadi perkebunan hortikultura. Sebagian lain jadi korban tambang pasir untuk bahan bangunan.
Identifikasi AruPA, warga di Lereng Gunung Merapi menghadapi masalah dalam melestarikan embung yang menjadi sumber air utama mereka. Aktivitas pertambangan pasir dan batu di tanah hak milik marak, membuat lingkungan rusak dan mengancam kelestarian embung.
Dulu, warga Tegalmulyo hanya mengandalkan air tadah hujan dan penampungan air dari gumbang tembikar. Mereka harus mengambil air bersih di mata air kecil yang ada di sekitar desa.
Minimnya akses air membuat anak-anak Tegalmulyo putus sekolah. Tidak punya impian masa depan selain membantu orang tua mengairi pertanian.
Subur juga keluhkan tantangan perubahan iklim membuat petani perlahan mulai meninggalkan pranata mongso (penanggalan musim bertanam suku Jawa). Penanggalan, katanya, sudah tidak sesuai dengan yang mereka harapkan seperti dulu.
Meski demikian, dia dan petani lain kini tidak khawatir lagi. Ada embung yang membantu warga Tegalmulyo untuk tetap bercocok tanam. “Yang penting lahan sudah siap, kapanpun kita sewaktu-waktu bisa nanam,” kata Subur.

Penyadartahuan
Edi Suprapto, Direktur AruPA, mengatakan, siklus hidrologi di lereng Desa Tegalmulyo melibatkan air hujan yang jatuh di wilayah atas mengalir ke sungai dan akhirnya sampai ke embung di Tirta Mulya.
Dalam sarasehan Ngobrol Guyub di Tepi Embung–bagian dari rangkaian acara Gunungan di malam hari, dia bilang, AruPA selalu melakukan kegiatan di Tegal Mulya untuk melestarikan embung dan bersama warga meningkatkan kualitas produksi perkebunan dan pertanian mereka.
Menurut dia, penting untuk terus menyadarkan warga dalam meninjau kembali cara memperlakukan alam sebagai satu kesatuan ekologi yang tak terpisahkan dari manusia.
Embung, juga sempat mengalami kebocoran akibat ulah manusia. “Masa sih terpal atau membran setebal ini bisa bocor gitu, ya, baru beberapa tahun gitu.”
Membran yang rusak menyebabkan kekeringan panjang di embung. Warga Tegalmulyo kesulitan memenuhi kebutuhan air bersih di musim kemarau.
Sebagian dari mereka berhenti bertani sampai musim penghujan kembali. Sebagian lainnya menyisipkan sebagian besar pendapatannya untuk membeli air seharga Rp250.000 per tangki berkapasitas 5.000 liter–Harganya naik 100 kali lipat dari Rp25.000/tangki.
Kenaikan itu konsekuensi biaya operasional mobil tangki yang menempuh perjalanan menanjak sejauh belasan kilometer dari pemukiman dataran rendah Klaten ke Desa Tegalmulyo. Hampir setiap rumah tangga petani habiskan dua tangki air dalam sebulan.
Embung bermanfaat bagi warga di lereng Gunung Merapi, seperti untuk mengairi tanaman. Karena itu, kerusakan yang terjadi, mengancam sumber air ini. Suprapto menyarankan ke warga untuk membangun sumur resapan di sekitar embung untuk meningkatkan kemampuan menyerap air.
Ruky Umaya, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Gunung Merapi (TNGM), menjelaskan keunikan Gunung Merapi. Dia bilang, empat lereng gunung ini memiliki kondisi berbeda. Selatan dan barat memiliki sumber air yang melimpah, sementara minim air di lereng tenggara, timur dan utara.
Balai TNGM, rutin mengukur debit air di Sapu Angin–area tertinggi dari wilayah Desa Tegal Mulya yang masuk dalam kawasan TNGM. Hasilnya, debit air di Sapu Angin tidak sampai 0,1 mm/detik.
Dia membandingkan dengan debit air dari Gunung Merapi yang mengalir ke Umbul Temanten, Kabupaten Sleman, berkisar antara 400 sampai 600 mm/detik.
“Kami berterima kasih sekali dengan adanya embung yang ada di bawah, jadi penyangga Tegalmulyo.”

Jaga dengan cara alami
Para petani pun mulai bertahap beralih ke pertanian alami. Mengurangi penggunaan bahan kimia dalam pertanian jadi salah satu cara mereka melestarikan embung. Pasangan suami istri, Ati Ekawati dan Goti Nurhuda, mempraktikan hal itu.
Mereka sadar penggunaan pupuk kimia dapat merusak tanah dan lingkungan. Hasil pertanian pun jadi lebih sehat dan mudah panen.
Pasangan ini belajar pertanian organik, termasuk cara membuat pupuk dari kotoran ternak, secara otodidak. Melakukan berbagai eksperimen untuk menemukan formula pupuk organik yang paling efektif.
Mereka juga memanfaatkan kotoran kambing kering, menggilingnya jadi serbuk, lalu menaburkan ke tanaman. Meskipun sudah menerapkan sistem semi organik, mereka masih pakai sedikit pupuk kimia. Mereka belum sepenuhnya organik karena masih waswas hasil panen tak maksimal.
Mereka tetap bertekad untuk terus belajar dan mengembangkan sistem pertanian organik. Harapannya, suatu saat nanti mereka dapat sepenuhnya beralih ke sistem organik dan mendapatkan hasil panen yang lebih baik.
Pasangan suami istri ini tak khawatir lagi hadapi krisis iklim yang ekstrem terjadi seperti di beberapa tahun terakhir. Kelangsungan embung menunjang pertanian organiknya dengan menyediakan sumber air untuk menyiram tanaman di musim kemarau.

Selain itu, warga juga menjaga embung dengan menanam pohon keras seperti kopi dan alpukat. Tanaman pertama tumbuh berderet rapi setinggi dua meter, puluhan meter di atas Embung Tirta Mulya. Tanaman ini berdampingan dengan palawija pada perkebunan warga di lereng Dusun Pejagen.
Penanaman tanaman keras di lahan yang dulunya terkena dampak erupsi Merapi 2010 ini terbukti efektif menahan air dan melindungi tanah dari erosi, untuk menunjang keberlangsungan embung Tirta Mulya. Meskipun menghadapi tantangan iklim ekstrim seperti angin kencang dan kekeringan, petani muda di Sapu Angin berhasil mengembangkan perkebunan kopi mereka beberapa tahun terakhir.
“Karena angin di sini kencang, diberi nama kopi sapu angin,” kata Gunawan, inisiator program kopi di Dusun Pajegan.
Dia berhasil merangkul 12 pemuda yang awalnya minder dan sebagian putus sekolah di jenjang pendidikan Menengah Pertama.
Gunawan melatih mereka membudidayakan kopi varietas Yellow Bourbon, yang memiliki cita rasa “brown sugar“-nya yang seimbang. Bibit awal sebanyak 1000 pohon datang dari Jawa Barat, namun kini mereka melakukan pembibitan sendiri.
Ketersediaan air jadi tantangan utama, sehingga pengolahan pasca panen mereka lakukan secara natural dengan metode honey. Tahun 2012, produksi kopi mencapai 4 ton, dan terus meningkat jadi 9 ton setiap tahun. Peningkatan hasil berkaitan dengan perhatian baru mereka pada tanaman kopi lokal yang sebelumnya terabaikan, memiliki cita rasa khas yang klasik.
Program ini tak hanya mengajarkan keahlian pertanian dan keberhasilan. Lebih dari sekadar penghasilan, kopi telah membawa perubahan signifikan bagi 12 pemuda di Dusun Pajegan tersebut.
Belasan pemuda itu kini telah membangun satu warung kopi di kawasan Sapu Angin, tidak jauh dari area perkebunan kopi mereka. Warung kopi itu untuk memanjakan wisatawan yang ingin melihat lebih dekat puncak merapi, sekaligus sebagai saran untuk memperkenalkan keunikan rasa kopi Sapu Angin.
Siapa sangka, keberhasilan-keberhasilan itu berdampak pada pelestarian lingkungan. Mereka kini bekerja sama dengan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) menghasilkan program konservasi anggrek dan upaya pelestarian burung, seperti pleci, yang berperan penting dalam ekosistem pertanian.

*****