- Selama Januari hingga Mei 2025, Sahabat Relawan Indonesia mencatat 36 kasus gigitan ular tanah berbisa di wilayah komunitas adat Suku Badui, di Kabupaten Lebak, Banten. Dari jumlah itu, sebanyak empat kasus berujung kematian.
- Ular tanah memang berbisa, tapi bukan tipe agresif kalau tidak merasa terancam. Benarkah ketiadaan serum antibisa ular menjadi penyebab utama kematian?
- Menurut dr. Tri Maharani, satu-satunya dokter spesialis toksinologi ular berbisa di Indonesia, akar persoalan sebenarnya bukan pada ketiadaan serum, melainkan kesalahan dalam penanganan pertama (first aid) setelah gigitan.
- Yayasan Penyelamat Satwa Liar yang berbasis di Cilegon, mencatat lebih dari seratus laporan masuk dalam satu tahun terakhir. Mayoritas, kejadian berasal dari kawasan permukiman padat di Serang, Cilegon, Lebak, hingga Pandeglang.
Sepanjang Januari hingga Mei 2025, Sahabat Relawan Indonesia mencatat 36 kasus gigitan ular tanah berbisa terjadi di wilayah komunitas adat Suku Badui, di Kabupaten Lebak, Banten. Dari jumlah itu, sebanyak empat kasus berujung kematian.
Benarkah ketiadaan serum antibisa ular menjadi penyebab utama kematian? Atau, ada faktor lain yang luput dari perhatian?
Menurut dr. Tri Maharani, satu-satunya dokter spesialis toksinologi ular berbisa di Indonesia, akar persoalan sebenarnya bukan pada ketiadaan serum, melainkan kesalahan dalam penanganan pertama (first aid) setelah gigitan.
“Belum tentu kasusnya akibat ular berbisa atau sudah masuk fase sistemik,” ujarnya, di kantonya di Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Jakarta, Kamis (5/6/2025).
Dari hasil kunjungan dan telaah data sepanjang 2024 hingga 2025, dia menyebut mayoritas gigitan di wilayah Badui hanya menunjukkan gejala lokal seperti bengkak atau nyeri di lokasi gigitan, yang termasuk fase sistemik lokal.
Sedangkan kasus yang berkembang menjadi keracunan sistemik berat, menurutnya, hanya sekitar sepertiga dari keseluruhan kasus yang tercatat.
“Kalaupun ada kematian pada 2025, hanya satu kasus yang terjadi di Rumah Sakit Ajidarmo. Itu pun karena pasien datang dalam kondisi sistemik berat dan sudah terlambat ditangani.”
Masalah utama, justru terletak pada kesalahan dalam penanganan awal oleh masyarakat. Warga masih banyak menggunakan cara-cara tradisional seperti mengikat area yang tergigit, menyayat luka, menyedot bisa, menyiram air panas, atau memberikan ramuan herbal.
Padahal, semua tindakan itu tidak efektif dan bisa memperburuk kondisi korban.
“Penanganan pertama inilah masalahnya. Tidak dilakukan pembidaian, akhirnya malah mempercepat kerusakan jaringan.”

Populasi ular berbisa beragam
Tantangan besar juga muncul dari sistem layanan kesehatan yang ada di daerah terpencil, seperti Badui.
Puskesmas yang menjadi fasilitas kesehatan tingkat pertama, kata dia, tidak dilengkapi peralatan dasar yang memadai untuk penanganan akibat gigitan ular.
“Tidak ada alat resusitasi, seperti tabung oksigen, alat bantu jalan napas, infus, hingga alat pemeriksaan darah sederhana seperti 20 WBCT yang memantau pendarahan.”
Dalam kondisi demikian, dr. Maha, sapaan akrabnya bilang, penempatan serum antibisa ular di puskesmas harusnya tidak menjadi prioritas utama. Bahkan, bisa berbahaya jika diberikan tanpa pengawasan dan peralatan tidak memadai.
Serum hanya berfungsi untuk menetralisir racun, namun tidak bisa menggantikan fungsi utama menyelamatkan nyawa seperti membuka jalan napas membuat sirkulasi darah berjalan lancar, serta mengatasi reaksi alergi berat yang mungkin timbul.
Serum antibisa ular hanya boleh diberikan di rumah sakit, yang tersedia sumber daya manusia terlatih dan alat medis lengkap untuk menangani komplikasi serius. Sebut saja reaksi anafilaksis, yaitu reaksi alergi yang sangat parah dan berpotensi mengancam jiwa.
“Di rumah sakit, pasien bisa mendapat penanganan lengkap dan terintegrasi. Pemberian serum di fasilitas tidak lengkap justru berisiko.”

Mengingat populasi ular berbisa di Indonesia sangat beragam dengan karakter racun berbeda, sebagian besar hemotoksin yang merusak jaringan dan pembekuan darah, serta beberapa neurotoksin menyerang sistem saraf, maka ketersediaan alat bantu napas seperti endotracheal tube (ETT), laringgoskop, LMA, alat bagging, dan peralatan akses vena atau intraosseus menjadi sangat krusial.
“Kalau vena pasien kolaps akibat perdarahan hebat, akses intraosseus melalui tulang adalah pilihan terakhir yang harus dikuasai tenaga medis,” ujarnya.
Penanganan yang tepat pun, katanya, tidak hanya soal ketersediaan alat dan serum, tapi juga edukasi kepada masyarakat.
Komunitas adat seperti Badui harus mendapatkan pelatihan first aid gigitan ular yang benar. Pelatihan ini, sebaiknya juga dilakukan melalui sekolah-sekolah lokal dan melibatkan tokoh adat supaya pesan medis dapat tersampaikan dengan baik tanpa mengganggu kepercayaan budaya.
“Disamping itu, peran pemerintah juga sangat penting untuk membekali puskesmas-puskesmas di wilayah rawan gigitan ular dengan alat dan pelatihan resusitasi dasar,” imbuhnya.

Frekuensi laporan dan dinamika lapangan
Tidak hanya terjadi di wilayah Badui, konflik antara manusia dan ular tanah juga marak di berbagai daerah lain di Banten.
Yayasan Penyelamat Satwa Liar yang berbasis di Cilegon, Banten, mencatat lebih dari seratus laporan masuk dalam satu tahun terakhir. Mayoritas, kejadian berasal dari kawasan permukiman padat di Serang, Cilegon, Lebak, hingga Pandeglang.
Tubagus Surya Bhaskara, Pendiri Yayasan Penyelamat Satwa Liar mengatakan, laporan mengenai ular Calloselasma rhodostoma ini menjadi kejadian hampir rutin.
Dalam seminggu, timnya menerima dua hingga tiga panggilan, terutama pada musim hujan dan saat penetasan telur, Juni hingga Agustus.
“Sering ditemukan di rumah warga, di mesin mobil, atau di tempat-tempat lembab seperti kamar mandi dan saluran air,” ujarnya pada Mongabay, baru-baru ini.
Menurut Tb, sapaannya, saat musim hujan habitat ular terganggu akibat curah hujan tinggi dan banjir kecil. Sedangkan kemarau, ular datang ke lingkungan manusia karena mencari tempat lembab dan sumber air.
“Lonjakan paling drastis biasanya terjadi saat musim menetas. Satu induk bisa menghasilkan belasan anak yang menyebar ke berbagai sudut permukiman.”

Reaksi masyarakat, katanya, menjadi tantangan tersendiri. Meski tim aktif memberikan edukasi, masih banyak warga yang secara refleks langsung membunuh ular yang mereka temukan.
“Ular tanah memang berbisa, tapi bukan tipe agresif kalau tidak merasa terancam. Kami selalu imbau warga untuk tetap tenang dan menghubungi kami,” imbuhnya.
Dituturkannya, dalam setahun terakhir, lebih 70 ekor ular berhasil dievakuasi hidup-hidup dan dilepasliarkan ke habitat aman yang jauh dari permukiman. Sisanya, ditemukan sudah dalam kondisi mati atau terluka parah akibat serangan manusia.
*****