- Ancaman kerusakan menghantui hutan di kawasan Gunung Slamet, Jawa Tengah (Jateng). Salah satunya, akibat eksplorasi panas bumi Baturraden yang jejak kerusakaannya bisa terlihat sampai saat ini.
- Tidak ingin situasi itu berlanjut, sejumlah elemen yang terdiri dari relawan, pegiat lingkungan, seniman hingga budayawan menggelar aksi penanaman di lereng Gunung Slamet sebelah selatan tepatnya di Dusun Sirongge di Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Banyumas.
- Ketua Yayasan Dhalang Nawan Bambang Barata Aji mengatakan bahwa penanaman pohon ini merupakan bagian penting menjaga lingkungan dan menjaga kehidupan. Budayawan Banyumas Titut Edi Purwanto tampil dengan menggelar aksi teatrikal. Ia menggambarkan relasi manusia dan alam sebagai sesuatu yang sakral
Bibi Retno duduk di depan bibit pohon dengan menyalakan hio kemenyan saat mengumandangkan kidung Jawa. Selain bibit pohon ditimbun tanah, ada ubo rampe yang disebut cok bakal. Isinya adalah kendil kecil berisi bumbu dapur, telur, dan rempah.
Sebuah simbol dalam budaya Jawa tentang kehidupan yang seimbang dengan rasa dan keberkahan. Filosofi itu menyatu dengan harapan agar pohon-pohon yang tumbuh kelak membawa manfaat. Tidak hanya bagi tanah tempatnya berdiri, tetapi juga bagi manusia yang hidup di sekitarnya.
“Sun miwiti hangabekti, konjuk sing Kang Maha Wikan, sumarah marang Kuasane, inartan menebing rasa, hamengkas panca driya, manjining sepi ning asamun, samapta amangun brata,” nyanyi Retno.
Secara bebas, nyanyian itu berarti mengajak berserah pada Sang Pencipta, menyatukan panca indra dalam hening, dan menyiapkan diri menunaikan darma untuk bumi. Ini merupakan pesan spiritual dalam bahasa yang menyejukkan, mengalir bersama langkah kecil untuk menanam bibit demi kehidupan.
Usai prosesi itu, penghijauan kemudian digelar oleh para pegiat lingkungan, seniman dan budayawan pada Minggu (18/5/25). Lokasinya di Dusun Sirongge, Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng).

Diskusi tentang kondisi lingkungan yang makin rusak mengawali kegiatan pagi itu. Sesi ini diikuti para relawan dan pegiat lingkungn yang datang dari berbagai pelosok Banyumas, bahkan luar daerah. Seperti Pemalang dan Brebes.
Inisiator kegiatan ini adalah Yayasan Dhalang Nawan, lembaga sosial yang peduli terhadap lingkungan dan kebudayaan. Bambang Barata Aji, Ketua Yayasan Dhalang Nawan mengatakan, penanaman pohon ini merupakan bagian penting menjaga lingkungan dan menjaga kehidupan.
“Kami tidak hanya menanam tidak hanya di sini (Dusun Sirongge) saja, tetapi sebelumnya kami telah mendistribusikan bibit pohon di sekitar mata air-mata air yang ada di lereng selatan Gunung Slamet. Jenis yang kami tanam adalah tanaman keras dan tahunan seperti nagasari, beringin, jenitri, pule, pete dan lainnya,” katanya.
Dia bilang, akan terus menanam setiap pekan di tempat-tempat yang sekiranya membutuhkan, termasuk di lereng-lereng pegunungan. Pada lokasi dengan kemiringan tinggi, keberadaan pohon sangat penting untuk mencegah terjadinya longsor dan menahan limpasan air.
“Jadi, sangat penting. Apalagi kami mendengar adanya isu mengenai PLTP Baturraden yang membuat dampak serta adanya penanaman kentang di lereng bagian barat Gunung Slamet. Ini semua persoalan yang harus disikapi.”
Titus Edi Purwanto, budayawan Banyumas turut tampil dalam kegiatan itu dengan menggelar aksi teatrikal. Dia menggambarkan relasi manusia dan alam sebagai sesuatu yang sakral. Menanam pohon adalah bentuk amal jariah. Selama pohon itu hidup, selama itu pula si penanam mendapat pahala. Karena ia memberi oksigen, memperindah alam, dan menjaga kehidupan.
Dia mengingatkan, leluhur bangsa ini punya kearifan yang luar biasa dalam mengatur musim, menentukan masa tanam, hingga saat panen. Semua terhubung dengan alam. Maka, menjaga alam adalah bagian dari menjaga warisan kecerdasan budaya bangsa. “Bumi ini adalah ibu. Ia melahirkan kehidupan setiap detik. Tugas kita bukan menaklukkan ibu, tapi merawat dan menghormatinya,” katanya.

Hutan makin rusak
Secara khusus, Bambang mendorong ada Taman Nasional Gunung Slamet. Itu akan memberi proteksi lebih terhadap kawasan hutan di sana. “Adanya kerusakan akibat geothermal atau tanaman kentang, kami berupaya untuk mengampanyekan Gunung Slamet sebagai Taman Nasional,” katanya.
Meski begitu, dia tak menampik suara-suara pesimistis dari sebagian pihak atas rencana itu. Terlebih, di banyak tempat, wilayah-wilayah yang sebelumnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi, pada akhirnya tetap dibuka untuk keperluan investasi.
“Nah, hal-hal begitu itu yang nanti kita kawal. Kami kan lahir dan besar di lereng Gunung Slamet yang telah merasakan bagaimana telah mendapatkan berkah luar biasa, sehingga harus menjaganya.”
Andi Rustono, Ketua Presidium Gunung Slamet Menuju Taman Nasional Andi Rustono mengatakan, telah mengusulkan Gunung Slamet menjadi taman nasional. Keputusan itu lahir dari gerakan kolektif diskusi akar rumput, yang menindaklanjuti dalam Kongres Selamatkan Gunung Slamet, Oktober 2024. Pertemuan ini yang melatari kelahiran Presidium Gunung Slamet Menuju Taman Nasional.
“Kami mendorong penetapan kawasan Gunung Slamet sebagai taman nasional agar proses konservasi bisa berjalan secara sistematis dan kuat secara hukum. Gerakan ini bukan perlawanan, tapi panggilan nurani. Kami hanya ingin Slamet tidak semakin rusak. Kami ingin semua pihak mulai petani, pelaku wisata, masyarakat adat bisa hidup berdampingan dengan alam, bukan menggusurnya,” kata Andi.
Dia menegaskan taman nasional tidak akan membunuh pariwisata. Sebaliknya, zonasi dalam kawasan konservasi memungkinkan ruang untuk konservasi murni, aktivitas tradisional masyarakat, dan pemanfaatan secara terbatas yang berkelanjutan.
Abdul Rozak, Sekretaris Presidium yang juga Komunitas Jaga Rimba, Desa Dawuhan, Brebes mengatakan, hutan lindung di Gunung Slamet kini makin rusak. Bahkan, kerusakan sampai ketinggian 2.400 mdpl.
“Dari patroli yang kami lakukan, masih mendapati praktik alih fungsi lahan terus terjadi hingga wilayah Kabupaten Tegal tepatnya di Dusun Sawangan, Desa Sigedong, Kecamatan Bumijawa.”
Akibat pembukaan hutan, sejumlah sungai seperti Kali Pedes dan Kali Keruh mengalami kerusakan. Bahkan, beberapa waktu yang lalu Desa Mendala bahkan mengalami tanah bergerak yang merusak lebih dari 130 rumah. Banjir bandang pun menjadi ancaman rutin bagi Desa Dawuhan dan Igirklanceng, padahal sebelum 2017, fenomena itu nyaris tak pernah terjadi.
Banjir, longsor, dan surutnya mata air bukan isapan jempol. Di Kabupaten Pemalang saja, luas sawah menyusut dari 38.000 hektar menjadi 35.000 karena debit air dari Gunung Slamet menurun drastis.
Melihat persoalan ini, lima kabupaten di kaki Gunung Slamet seperti Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes didorong ikut menjaga dan mendorong percepatan pembentukan taman nasional ini. Bahkan, Pemprov Jateng dikabarkan telah berkirim surat ke kementerian terkait untuk merealisasikan usulan itu.
*****