- Meskipun ada komitmen untuk beralih dari batubara, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menutup pembangkit listrik tenaga batubaranya.
- Hashim Djojohadikusumo, Utusan iklim Indonesia meragukan komitmen negara untuk mencapai target Perjanjian Paris, setelah program kerjasama Just Energy Transition Partnership (JETP) tidak berjalan sesuai rencana.
- Pejabat tinggi pemerintah dan investor yang memiliki aset batubara, khawatir atas konsekuensi hukum terkait kerugian negara, yang membuat upaya mempensiunkan pembangkit batubara lebih awal menjadi terhambat.
- Beberapa proyek energi terbarukan sedang berjalan, di tengah kebijakan yang restriktif dan kekurangan pendanaan, namun pertukaran hutang untuk investasi energi bersih dapat menawarkan solusi potensial.
Saat menjelang pertemuan puncak para pemimpin Asia Tenggara di Jakarta pada September 2023, penyedia listrik negara Indonesia (PLN), menutup sebagian boiler dari PLTU Suralaya, Benten sebuah pembangkit batubara tertua dan terbesarnya. Harapannya saat itu, agar polusi Ibu Kota Jakarta, dapat dikurangi. Presiden saat itu, Joko Widodo, bahkan mengalami batuk yang dikaitkan dengan kabut asap.
Namun pada akhirnya, langkah tersebut jadi tampak kurang berarti, karena 15 pembangkit listrik lainnya yang mengelilingi Jakarta terus menghasilkan polusi. Lalu apakah untuk target iklim Indonesia siap untuk menutup 135 PLTU batubara sebelum waktunya?

Pada akhir Januari 2025 lalu, Hashim Djojohadikusumo, adik dan utusan khusus Presiden di bidang Energi dan Iklim dalam sebuah forum mengisyaratkan Indonesia akan keluar dari Perjanjian Iklim Paris. Dia menyebut bahwa Indonesia masih memerlukan pembangkit listrik tenaga batubara dalam 15 tahun ke depan, dengan menyebut menutup PLTU sebagai “bunuh diri ekonomi.”
Pernyataan Hashim pun dinilai sebagai respon atas inisiatif besar bernilai miliaran dolar untuk menutup PLTU di Indonesia, termasuk Just Energy Transition Partnership (JETP), yang kemungkinan besar akan gagal.
“Kita perlu dengan tegas mengatakan ‘selamat tinggal’ kepada JETP,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur dan pendiri lembaga penelitian Centre for Economic and Law Studies (CELIOS), kepada Mongabay. “JETP sudah mati. Ia tidak lagi menjadi platform untuk mendukung transisi energi di Indonesia.”
Melihat ke belakang, JETP sendiri disepakati pada KTT G20 di Bali tahun 2022, yang bertujuan untuk melibatkan negara-negara kaya yang menjalankan industrialisasi berkat bahan bakar fosil untuk membantu ekonomi besar negara berkembang di Global Selatan agar tidak melakukan hal yang sama.
Alih-alih telah mengalokasikan dana bagi negara penerima untuk menutup pembangkit listrik tenaga batubara mereka sebelum akhir masa operasionalnya, kenyataannya bertolak belakang.
Negara-negara kaya G7, termasuk AS dan Jepang, Uni Eropa, Denmark, dan Norwegia, setuju untuk menyumbang 20 miliar dolar AS kepada Indonesia untuk menutup pembangkit listriknya dalam beberapa dekade mendatang.
Selain Indonesia, negara seperti Afrika Selatan dan Vietnam pun memiliki perjanjian serupa dengan G7 dan Uni Eropa senilai total 25 miliar dolar AS.
Awal Februari lalu, Kementerian Federal Jerman untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan menyatakan akan memimpin JETP bersama Jepang, menggantikan peran AS.
Namun, Jerman mengadakan pemilihan federal pada 23 Februari, dengan kemengangan pada Partai Sayap Kanan Alternatif, yang ingin keluar dari Perjanjian Paris, berada di posisi kedua. Hal ini dapat membuat komitmen tersebut diragukan.
Di sisi lain, Indonesia berharap dapat menghasilkan dua pertiga listriknya dari sumber energi terbarukan atau sekitar 220 gigawatt pada tahun 2040, mengacu studi JETP yang diterbitkan pada November 2023.
Sejauh ini, dari 20 miliar dolar AS yang dijanjikan kepada Indonesia, hanya 500 juta dolar AS yang telah terealisasi. Belum ada satu pun pembangkit yang memulai proses penutupan di bawah JETP.
Pada awal Februari, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Bahlil Lahadalia, menegaskan kembali rencana pemerintah untuk mempensiunkan pembangkit Cirebon 1 berkapasitas 660 megawatt pada tahun 2035, tujuh tahun lebih awal dari rencana semula, dengan bantuan dari Bank Pembangunan Asia (ADB).
ADB dan anggota konsorsium pemilik pembangkit listrik, termasuk Marubeni dari Jepang, Indika Energy dari Indonesia, dan Korea Midland Power, menandatangani perjanjian tidak mengikat pada Desember 2023 untuk menutup pembangkit tersebut dan menginvestasikan hampir 200 juta dolar AS dalam proyek energi surya, angin, dan penyimpanan baterai sebagai penggantinya.

Surplus Energi dan Asset Pejabat
Bagaimanapun, Indonesia perlu mengurangi PLTU. Hasil dari pembangunan masif selama masa kepresidenan Joko Widodo dan pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono. Indonesia saat ini mengalami kelebihan pasokan yang menelan biaya lebih dari Rp 21 triliun per tahun bagi PLN.
Karena di dalam kontrak, PLN harus membayar para produsen listrik swasta sesuai listrik yang mereka hasilkan, terlepas dari apakah listrik itu digunakan atau tidak.
Namun, beberapa kalangan di pemerintahan menyebut pula kekhawatiran para pejabat bahwa mereka berisiko diajukan ke pengadilan atas tuduhan korupsi, jika menutup pembangkit listrik yang berarti mengakui sebagian dari kerugian tersebut, kata Bhima dari CELIOS.
Pada Juni lalu, Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama Pertamina, dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara dan denda Rp 500 juta setelah pengadilan memutuskan bahwa ia bertanggungjawab atas kerugian negara sekitar Rp 2,1 triliun yang disebabkan oleh perjanjian pasokan LNG dengan pemasok asal AS sejak 2012 yang menetapkan harga lebih tinggi dari pasar.
“Direktur perusahaan milik negara membutuhkan sesuatu yang konkret dari pemerintah, seperti undang-undang yang disahkan oleh parlemen, sebelum mereka dapat menutup pembangkit listrik,” kata Bhima.
Upaya untuk mulai menutup beberapa pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia juga mungkin bertentangan dengan kepentingan investor internasional dan anggota kabinet yang memiliki aset batubara.
Boy Garibaldi, yang merupakan saudara Erick Thohir, -yang menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara, adalah pengendali Adaro, salah satu perusahaan tambang batubara terbesar di dunia.
Perusahaan ini sedang membangun pembangkit listrik tenaga batubara berkapasitas 2 GW di Kompleks Industri Hijau di Provinsi Kalimantan Utara.
Catatan pemerintah menunjukkan bahwa aset pribadi Presiden Prabowo termasuk kepemilikan 40% saham di perusahaan PT Nusantara Energindo Coal, yang memiliki beberapa konsesi pertambangan batubara di Kalimantan Timur.
Perusahaan-perusahaan Jepang, termasuk Mitsubishi Heavy Industries, menawarkan teknologi kepada PLN yang mereka klaim dapat mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara. Yang bekerja pada dua generator baru di Suralaya-Banten, yang akan mencampur amonia dengan batu bara. Proyek ini dikatakan hampir selesai.
Mencampur amonia, gas beracun, memang menghasilkan pengurangan emisi gas rumah kaca secara moderat, tetapi menimbulkan risiko kesehatan yang serius, kata para aktivis lingkungan. Membakar amonia secara dramatis akan meningkatkan jumlah debu halus yang dikeluarkan oleh pembangkit batu bara.
Menurut laporan September 2023 dari Centre for Research on Energy and Clean Air, kompleks Suralaya-Banten berkontribusi terhadap 1.470 kematian dini dan bertanggungjawab atas penyakit serta hilangnya produktivitas senilai USD 1 miliar dolar per tahun.
“Bagi Jepang, ini lebih tentang promosi dan ‘menjual’ hidrogen hijau dan amonia hijau, ini adalah solusi yang tidak tepat,” ujar Leonard Simanjuntak, Direktur Greenpeace Indonesia, kepada Mongabay.

Prospek Energi Terbarukan di Indonesia
Meski mengalami tantangan investasi dalam energi terbarukan menunjukkan beberapa kemajuan.
Contohnya, pembangunan instalasi surya berkapasitas 120 MW di waduk Duriangkan, Pulau Batam, yang rencananya akan dimulai tahun ini akan berkapasitas mencapai setengah dari kapasitas pembangkit di kompleks Suralaya-Banten saat ini.
Proyek tersebut mengikuti pengembangan serupa yang berkapasitas 145 MW yang dilakukan oleh Masgar dari UEA dan PLN, yang mulai beroperasi pada 2023 di waduk Cirata, Jawa Barat. Tambahan kapasitas surya sebesar 500 MW sedang dalam tahap pengerjaan di sana.
Namun, pemerintah telah membatasi kapasitas pembangkit surya hingga 1,5 GW pada tahun 2028 atau sekitar dua kali lipat dari yang tersedia saat ini, karena kekhawatiran bahwa sinar matahari yang tidak konsisten dapat menjadi beban bagi jaringan listrik.
Meskipun pendanaan dari donor kaya dan lembaga multilateral untuk menutup pembangkit batu bara mungkin lebih sulit didapat, beberapa sumber dana alternatif mulai muncul.
Misalnya, upaya sekuritas pertukaran hutang PLTU dengan pengembangan infrastruktur seperti stasiun pengisian daya adalah sumber dana potensial. Pendekatan ini bisa menjadi solusi win-win-win, kata Bhima.
PLN dapat mengurangi sebagian dari utangnya yang hampir mencapai Rp 400 triliun sambil mengamankan dana baru untuk investasi dalam energi terbarukan. Pertukaran hutang dapat disusun agar pemberi pinjaman dapat mengklaim kredit karbon.
Menurut laporan CELIOS akhir tahun lalu, PLN memiliki sekitar Rp 95 triliun rupiah hutang yang jatuh tempo tahun ini yang mungkin cocok untuk dipertukarkan, sebut Bhima.
“Ada sedikit harapan dalam transisi menuju energi terbarukan.”
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 20 Februari 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
***
Foto utama: Seorang warga Babelan, Bekasi, yang hidup di dekat PLTU batubara. Dia memperlihatkan, tangannya kotor karena debu dari PLTU. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia