- Nasib petani di Indonesia masih jauh dari sejahtera. Para petani dihimpit oleh berbagai permasalahan seperti kelangkaan pupuk bersubsidi, dan perubahan iklim telah mengubah jadwal tanam padi, serta tren kenaikan suhu akibat pemanasan global yang membuat krisis air
- Semua permasalahan tersebut membuat biaya produksi padi meningkat jadi Rp5.667/kg pada tahun 2022. Padahal saat ini petani hanya bisa panen padi setahun sekali dibanding sebelumnya dua kali setahun.
- Ditengah menyusutnya lahan pertanian, para petani juga dihadapkan permasalahan harga gabah kering giling (GKG), dimana pemerintah menetapkan harga gabah 000/kg tetapi kenyataannya dihargai Rp5.000/kg di tingkat petani, padahal biaya produksi padi meningkat
- Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santosa menegaskan pemerintah mesti hadir dan berpihak pada para petani ditengah permasalahan yang dihadapi mereka dan kebijakan pertanian yang serampangan seperti impor beras jelang panen raya dan sulitnya pupuk bersubsidi
Disadari atau tidak perubahan iklim telah mengubah jadwal tanam padi. Dampaknya, harga pangan terutama beras naik signifikan tapi tidak dengan nasib petaninya.
Hal itu dirasakan oleh Yoyo Mulyana (51), seorang petani padi di Desa Talaga Wetan, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Tahun lalu masa tanam mundur empat bulan akibat El Nino. Kali ini petani diuji kembali dengan tren kenaikan suhu akibat pemanasan global yang diperkirakan bakal mencapai rekor tertinggi secara global.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat terjadinya anomali suhu lebih panas sepanjang 2024. Berdasarkan analisis dari 115 stasiun pengamatan, suhu udara rata-rata di Indonesia sebesar 27,43 derajat celcius. Padahal, normal suhu udara klimatologis untuk Maret pada periode 1991-2020 adalah 26,63 derajat celcius.
Yoyo mengakui cuaca panas kerap membikin pikiran ruwet. Salah satunya ketersedian air yang sulit dijangkau lantaran air irigasi surut. Bahkan kadang urusan air ini kerap memicu konflik dengan petani lain.
Biasanya, petani sudah menanam padi menjelang akhir tahun. Kini berbeda, padi justru mulai ditanami awal tahun.
“Dan April kemarin baru panen, mungkin akhir Mei mulai menanam lagi,” kata Yoyosaat ditemui awal Mei lalu menjelaskan jeda waktu sebulan antara musim panen dan tanam padi.
Tahun 2023, Yoyo hanya bisa panen satu kali. Kekurangan pasokan air menjadi penyebabnya. Kelangkaan air menjadi fenomena berulang bagi petani masa kini.
“Semoga tahun ini normal kembali bisa panen dua kali,” imbuhnya.
Baca : Menderitanya Petani Rawa Lebak di Sumatera Selatan Akibat Perubahan Iklim
Dari luas lahan yang dimiliki sekitar satu bahu atau sekitar 7.000 meter persegi, Yoyo mampu menghasilkan 3,5 kuintal gabah kerDonning. Setengah hasil panennya habis untuk biaya pupuk, buruh kerja dan ongkos panen.
“Bersihnya rata-rata 1,8 kuintal tiap panen,” ucap bapak tiga anak tersebut.
Jika dihitung-hitung, agaknya sulit untung. Semisal, harga gabah dihargai Rp6.000/kg, Yoyo mendapat untung bersih sebesar Rp1.080.000. Sedianya dibagi masa tanam padi selama tiga bulan, rata-rata penghasilannya sekitar Rp350.000/bulan.
Yoyo tak pernah merasakan harga gabah kering giling (GKG) yang sempat menembus angka Rp9.000/kilogram. Harga yang mungkin menjadi dambaan petani termasuk Yoyo yang sudah menekuni dunia tani sejak remaja.
“Ya biasanya tengkulak menerima rata-rata Rp5.000/kg, kadang juga dibawah itu jika beras impor masuk pasar,” ungkap Yoyo
Harga Gabah
Soal harga gabah, sejauh ini pemerintah pusat baru menetapkan kenaikan harga melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas). Pemerintah akan melakukan penyesuaian harga pembelian pemerintah (HPP) gabah yang sebelumnya Rp5.000/kg ditetapkan menjadi Rp6.000/kg.
Penetapan harga tersebut sedikit lebih murah dari usulan Serikat Petani Indonesia dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia yang mengusulkan HPP gabah di harga Rp6.757 – Rp7.000/kg.
Sebagai informasi, berdasarkan data Organisasi Pangan Dunia (FAO), selama 15 tahun, panen padi di Indonesia baru mengalami kenaikan pada pertengahan tahun 2023 lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan itu sebesar 3,62 persen atau Rp5.833/kg untuk harga gabah kering panen di tingkat petani.
Seperti diketahui, perubahan harga oleh pemerintah diputuskan lewat Keputusan Kepala Bapanas No.167/2024 tentang Fleksibilitas Harga Pembelian Gabah dan Beras Dalam Rangka Penyelenggaraan Cadangan Beras Pemerintah.
Baca juga : Dampak El Nino: Harga Beras Naik, Petani Lamongan Ubah Pola Tanam
Kelangkaan Pupuk Subsidi
Namun, penetapan harga gabah tak cukup menghibur para petani. Alasannya petani harus bersiasat menghadapi keterbatasan pupuk bersubsidi.
Padahal, Kementerian Pertanian melalui Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) No.249/2024 akan menyalurkan 9,55 juta ton alokasi pupuk bersubsidi pada tahun ini. PT Pupuk Indonesia (Persero) membagi ke berbagai wilayah termasuk Jawa Barat, sebesar 1.211.550 ton.
Di ruangan yang ber-AC pemerintah merancang anggaran cukup besar hanya untuk pupuk bersubsidi. Semula sudah ditentukan besarannya yakni Rp26 triliun, kemudian pemerintah kembali menambah alokasi sebanyak Rp14 triliun.
Sementara di sawah, Yoyo kesulitan mendapatkan pupuk jenis pupuk phonska atau NPK menjelang musim tanam kali ini. Padahal, stok pupuk melimpah tapi malah langka di pasaran.
“Urea sekarang mudah tapi tahun lalu susah. Malah sekarang phonska yang susah padahal butuh perbandingan 1 banding 1 untuk nutrisi padi,” keluhnya.
Beberapa waktu lalu program diskon pupuk nonsubsidi digelar PT. Pupuk Indonesia untuk menyasar para petani. Di Kabupaten Kuningan, Sakim (66) sempat kebagian satu sak pupuk urea dan NPK dengan harga Rp270.000. Jumlah itu dibawah harga biasanya yaitu Rp450.000. Namun, angka itu masih di atas harga pupuk bersubsidi jenis urea dan NPK, yakni sekitar Rp115.000 per dua sak.
Kini petani di Desa Mekarwangi, Kecamatan Lebakwangi, itu kembali menghitung ongkos pupuk. Pasalnya, satu kali musim tanam butuh tiga sak ukuran 25 kilogram supaya bisa menghasilkan 6-7 kuintal gabah.
“Sebetulnya kalaupun harus beli pupuk yang tidak disubsidi tidak apa-apa, asalkan ketersediaannya ada terus,” ucapnya Sakim yang menyewa lahan 100 bata atau 1.400 meter persegi.
Sebagai petani gurem, Sakim sadar diri. Biaya menanam hingga panen kadang berakhir besar pasak daripada tiang. Meski begitu, dia mengaku tak ada pilihan selain terus menanam.
“Ya paling tidak ada untuk menyambung hidup. Beras bisa untuk kebutuhan pangan keluarga,” katanya.
Baca juga : Adaptasi Iklim: Petani Padi Pulau Buru Kurangi Musim Tanam dan Pilih Varietas Tahan Cuaca
Keberpihakan Pemerintah
Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University Dwi Andreas Santosa menyoroti fenomena kenaikan beras dengan nasib para petani padi. Tekanan hidup petani kini bukan hanya ada pada fenomena iklim ekstrem, pupuk subsidi yang sulit tetapi juga tentang banjirnya beras impor yang masuk ke Indonesia.
Sebelumnya, petani gembira karena harga beli gabah naik. Tapi itu setelah pemerintah memutuskan mengimpor 3,6 juta ton beras di 2024 ini. Dwi menyayangkan keputusan pemerintah yang membanjiri impor beras sebelum panen raya. Menurutnya, ini adalah kebijakan serampangan.
Dia bilang keputusan impor ini tanpa perhitungan yang jelas. Dampaknya, para petani bakal kena getahnya.
Hal itu, berdampak pada regenerasi petani. Jumlah rumah tangga usaha pertanian (RUTP) menurun sebanyak 5,1 juta pada periode 2003-2013. Tetapi pada periode 2013-2023 justru meningkat dari 26,14 juta menjadi 28,42 juta rumah tangga atau naik sekitar 8 persen.
Di tengah pertumbuhan itu, ditemukan fakta bahwa lahan pertanian makin menyempit. Kota Bandung misalnya, dalam 10 tahun terakhir luas lahan sawah menyusut hingga 1.379 hektare. Artinya lebih dari 100 hektare beralih fungsi di kota berpenduduk 2,7 juta jiwa itu.
Kondisi petani hari ini, kata Dwi, juga kian menua. Realitas ini bertolak belakang dengan klaim bahwa semakin banyak anak muda yang tertarik dunia pertanian. Petani berumur lebih dari 45 tahun meningkat dari 61,86 persen (2013) menjadi 66,4 persen (2023).
Menarik dibaca : Imam Dayak, Berbagi Literasi untuk Anak Petani
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) itu mengungkapkan ketiadaan regenerasi diakibatkan usaha tani yang rugi dan jauh dari sejahtera. Dari hasil kajiannya, setiap tanam padi ruginya Rp250.000- Rp.1.000.000 per 2.000 meter persegi.
Tahun 2019, misalnya, Dwi melakukan survei di 50 kabupaten untuk mengetahui biaya produksi padi Rp4.532/kg, sedangkan HPP yang ditetapkan pemerintah Rp3.700/kg. Tiga tahun berselang, biaya produksi padi meningkat jadi Rp5.667/kg, namun HPP yang ditetapkan pemerintah adalah Rp5.000/kg.
Tahun 2024, harga beli bulog dipatok Rp 6.000/kg. Sedianya harga produksi masih sama dengan 2 tahun lalu, artinya keuntungan petani hanya sekitar Rp400/kg GKG.
Secara upah pun nasib petani ini rendah. Berdasarkan 17 sub sektor usaha di Indonesia, laporan BPS mencatat upah buruh tani hanya 62% dari upah tukang bangunan. Rendah sekali.
Untuk itu, Dwi menegaskan pemerintah mesti hadir. Setidaknya, keberpihakan mereka diperlukan untuk mengikat harga HPP terendah untuk melindungi petani dari kebangkrutan. Sekaligus, menarik minat generasi muda untuk Bertani.
Hal ini dilatarbelakangi ketimpangan kebijakan. Konsumen dilindungi dengan harga eceran tertinggi (HET), sedangkan harga beli petani rentan dimonopoli.
“Kita menghadapi persoalan besar terkait pangan kita. Masalah yang mendasar hari ini adalah harga produk pertanian di bawah biaya produksi. Solusinya tidak perlu macam-macam, negara wajib menjaga harga yang baik untuk petani,” pungkasnya.
Kenyataannya nasib petani ini acapkali terpinggirkan. Akan tetapi eksistensi petani seperti Yoyo dan Kasim diharapkan keberadaannya, sekalipun sudah jompo. (***)
Hari Tani Nasional 2023: Jokowi Dinilai Gagal Perbaiki Kehidupan Petani