- KKP mulai melakukan uji coba penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota di tiga pelabuhan, yakni PPN Tual di Maluku, PPN Ternate di Maluku Utara dan PPN Kejawanan di Jawa Barat pada Rabu 14 September 2022
- Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (Koral) melihat kebijakan ini memberi peluang kepada investor di dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona perairan yang sebagian besar kondisinya berstatus eksploitasi penuh (fully exploited) dan eksploitasi berlebih (over exploited).
- Koral melihat kebijakan penangkapan ikan terukur belum memiliki kajian ilmiah tentang dampak yang akan ditimbulkan dan juga bertentangan dengan asas keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
- Walhi melihat adanya maladaptasi krisis iklim dari kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang akan memperparah dampak krisis iklim yang selama ini dialami oleh nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional di Indonesia.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai melakukan uji coba penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota di tiga pelabuhan, yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tual di Maluku, PPN Ternate di Maluku Utara dan PPN Kejawanan di Jawa Barat pada Rabu 14 September 2022. Dari kebijakan tersebut, Pemerintah menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp12 triliun pada 2024 atau meningkat Rp1 triliun dari tahun 2021.
Koalisi NGO untuk perikanan dan keluatan berkelanjutan (Koral) melihat kebijakan ini memberi peluang kepada investor di dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona industri melalui perizinan khusus berjangka 15 tahun.
Padahal dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No.19/2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB), dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) menunjukkan fakta bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di sebagian besar WPPNRI telah menunjukkan status eksploitasi penuh (fully exploited) dan eksploitasi berlebih (over exploited). Kepmen KP itu semestinya menjadi patokan dalam penyusunan kebijakan perikanan tangkap agar lebih berkelanjutan.
Mida Saragih, Sekretaris Koral dalam rilisnya, Selasa (27/9/2022) mengungkapkan kelompok sumber daya ikan pelagis besar, udang penaeid, lobster dan rajungan di semua WPP RI sudah mengalami fully exploited dan over exploited. Tidak ada lagi yang berstatus moderate.
baca : Penangkapan Ikan Terukur Dimulai dari Tual
Dia mengatakan, dengan kondisi WPP di Indonesia, yang sebagian besar mengalami perikanan tangkap berlebih, maka diperlukan kebijakan perikanan keberlanjutan yang kuat yang sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dengan tiga prinsip penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional tidak terkecuali di bidang perikanan.
Pertama, keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Kedua, keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam menikmati hasil produksi nasional; dan ketiga, penyelenggaraan produksi dan pembagian hasil-hasilnya harus memperhatikan prinsip berkelanjutan dan wawasan lingkungan.
“Berlandaskan pada konstitusi RI, Pemerintah perlu menunjukkan keberpihakan pada keberlanjutan sektor perikanan tangkap, sekaligus keberpihakan kepada nelayan skala kecil,” lanjut Mida.
Sumber daya perikanan masuk ke dalam kategori sumber daya berkarakter milik bersama (common pool resources). Dalam konteks ini, katanya, pemanfaat yang memiliki motivasi hanya untuk mendapatkan manfaat akan terus melakukan eksploitasi dan memicu pada eksploitasi sumber daya perikanan tangkap secara berlebihan.
Selain itu, kondisi tersebut akan memacu konflik dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yang ada. Saat ini Indonesia membutuhkan kepemimpinan dan pengawasan negara dalam mengendalikan pemanfaatan dan permintaan ikan.
Artinya, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota jangan sampai mengulang kegagalan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya ikan dengan memberikan akses khusus bagi pemodal di zona perairan tertentu.
baca juga : Tak Ada Sistem Kontrak dalam Penangkapan Ikan Terukur
Koral mengkhawatirkan dampak lanjutan terjadinya eksploitasi penuh di seluruh WPP di Indonesia, terlebih saat ini pengawasan perikanan tangkap di Indonesia masih lemah dan perlu diperkuat sebagai prasyarat utama untuk berjalannya kegiatan perikanan tangkap di Indonesia.
Dalam menjalankan kebijakan perikanan tangkap, KKP menjalankan fungsi pengawasan dan monitoring secara reguler terhadap jumlah pemanfaatan ikan dan keuntungan melalui sebaran perizinan penangkapan ikan dan kondisi sumber daya perikanan agar pemanfaatan ikan dapat terkendali baik secara biologi dan ekonomi.
Ada atau tidak adanya kebijakan kebijakan penangkapan ikan terukur, lanjut Mida, fungsi pengawasan dan monitoring ini harus diselenggarakan oleh KKP. Selanjutnya perlu mendorong dan menjalankan langkah nyata untuk WPP dengan tingkat pemanfaatan ikan over exploited. KKP sudah saatnya mendorong kebijakan moratorium, mengurangi trip penangkapan dan melarang alat tangkap merusak.
Sedangkan Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, melihat adanya maladaptasi krisis iklim dari kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang digulirkan oleh KKP. Hal itu akan memperparah dampak krisis iklim yang selama ini dialami oleh nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional di Indonesia.
“Maladaptasi adalah tindakan atau adaptasi yang gagal mengurangi kerentanan tetapi malah meningkatkannya. Dalam konteks ini, maladaptasi adalah berupa kebijakan yang dapat menyebabkan peningkatan risiko (dampak buruk) terkait (dengan krisis) iklim yang merugikan, menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap krisis iklim, atau menyebabkan penurunan kesejahteraan (well-being), baik sekarang atau pada masa yang akan datang,” ungkap Parid, saat dikonfirmasi Mongabay Indonesia, Kamis (28/9/2022).
Menurutnya, krisis iklim telah menghancurkan kehidupan ekonomi nelayan serta menyebabkan nelayan meninggal di laut lebih banyak. Berdasarkan catatan WALHI, dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama 180 hari. Sementara 180 hari sisanya, harus alih profesi menjadi kuli kasar atau pedagang asongan.
Jumlah nelayan yang meninggal di laut terus mengalami peningkatan sepanjang tahun 2010-2020. “Tahun 2010 jumlah nelayan yang meninggal tercatat sebanyak 87 orang. Namun pada tahun 2020, jumlahnya terus meningkat menjadi lebih dari 250 orang,” ungkapnya.
perlu dibaca : Penangkapan Ikan Terukur, Bisa Tekan Laju Perubahan Iklim
Pada masa-masa mendatang, krisis iklim akan memberikan dampak buruk jangka panjang bagi nelayan di Indonesia, diantaranya peningkatan suhu yang memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis. Hal ini akan mengurangi pendapatan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil di Indonesia. Jika demikian, Pemerintah Indonesia terbukti telah gagal, meskipun di berbagai forum internasional sering mengklaim berhasil melakukan adaptasi krisis iklim.
“Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota akan memperburuk kehidupan nelayan. Setidaknya, 237.280 orang nelayan di Provinsi Maluku (WPP 714, 715 dan 718), misalnya, dipaksa harus bersaing dengan kapal-kapal besar di wilayah tangkap mereka. Inilah bentuk maladaptasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,” tegas Parid.
Saat ini, kondisi aktual nelayan tradisional yang terdapat di Indonesia, khususnya di Provinsi Maluku dan Maluku Utara tengah bertarung dan berhadapan dengan berbagai industri ekstraktif dan eksploitatif.
Senada, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota akan semakin memberatkan kehidupan nelayan kecil dalam melakukan aktivitas produksi di lautnya sendiri akibat harus bersaing dengan nelayan skala besar dengan alat produksi yang lebih masif dalam menangkap ikan.
“Kebijakan penangkapan ikan terukur akan semakin menyingkirkan nelayan tradisional dan kebijakan ini hanya menjadi karpet merah untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan bagi para pemilik modal besar ataupun perusahaan atau korporasi perikanan. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan asas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terutama asas pemerataan, asas peran serta masyarakat dan asas keadilan,” ujarnya.
baca juga : Hak Istimewa Nelayan Tradisional pada Zona Penangkapan Terukur
Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia juga menegaskan, Kebijakan penangkapan ikan terukur belum memiliki kajian ilmiah tentang dampak yang akan ditimbulkan dan juga bertentangan dengan asas keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang No.27/2007 jo Undang-Undang No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Asas keberlanjutan mengandung arti bahwa pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian yang memadai. Artinya, semua elemen harus menyadari bahwa kondisi laut Indonesia saat ini sedang “sakit” dan perlu langkah nyata untuk memulihkannya.
“Salah satunya dengan tidak mengeluarkan kebijakan yang justru memperparah keadaan. Laut Indonesia perlu kita istirahatkan. Harusnya kebijakan pemerintah mengarah pada pemulihan bukan malah meningkatkan kuota tangkapan,” kata Afdillah kepada Mongabay Indonesia.
Uji coba Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Sebelumnya pada Rabu 14 September 2022, Presiden Joko Widodo berkunjung ke Kota Tual, Maluku, guna menyaksikan langsung kesiapan KKP menjalankan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota
Bentuk kesiapan yang sudah dilakukan KKP yakni dengan menghadirkan timbangan elektronik yang akan dioperasikan di Pelabuhan Perikanan Nusantar (PPN) Tual. PPN Tual sendiri menjadi lokasi percontohan untuk penerapan kebijakan penangkapan terukur dan pemungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pasca produksi.
Presiden mengapresiasi kerja keras yang sudah dilakukan oleh KKP bersama tim di lapangan. Dia meminta agar program tersebut bisa berjalan baik dan memberi manfaat yang besar untuk nelayan serta masyarakat pesisir di sekitar.
perlu dibaca : Ada Aksi Korporasi dalam Regulasi Kelautan dan Perikanan
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada kesempatan itu menjelaskan, penggunaan timbangan elektronik di pelabuhan sebagai bagian dari penyiapan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Timbangan elektronik berguna untuk meningkatkan akurasi hasil tangkapan dan membantu pelabuhan untuk mempermudah proses inventarisasi data perikanan dengan bantuan teknologi. Sebanyak enam unit alat tersebut telah tersedia di PPN Tual, PPN Kejawanan, Kota Cirebon, Jawa Barat dan PPN Ternate, Maluku Utara sebagai pelabuhan percontohan.
Sedangkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi menjelaskan WPPNRI 715 dan WPPNRI 718 termasuk wilayah laut Maluku menjadi wilayah uji coba penangkapan ikan terukur.
Konsep tersebut mentransformasikan pengelolaan perikanan yang sebelumnya berbasis input kontrol ke dalam pengelolaan berbasis output control. Dengan cara itu, kuota penangkapan ditetapkan lebih dulu agar kapal perikanan yang berizin tidak lagi menangkap ikan melebihi kuota.
Untuk kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, Pemerintah membagi 11 WPPNRI menjadi tiga zona, yaitu zona berbasis kuota penangkapan ikan (fishing industry), yang terdiri dari tujuh WPPNRI; zona non kuota penangkapan ikan, yang terdiri dari tiga WPPNRI; dan zona penangkapan terbatas (spawning & nursery ground), yang terdiri dari satu WPPNRI.
Dengan sistem kuota, maka fokus akan dilakukan pada jumlah tangkapan yang bisa dilaksanakan oleh kapal ikan yang sudah mendapatkan izin dari Pemerintah Pusat dengan batasan waktu maksimal 15 tahun.
Sebelumnya, Zaini Hanafi yang dihubungi Mongabay Indonesia, Senin (8/8/2022) mengatakan KKP membatalkan rencana penerapan sistem kontrak untuk kebijakan penangkapan ikan terukur.
Pembatalan tersebut dilakukan melalui tahapan yang panjang dan masukan dari banyak pihak, terutama tentang rencana penerapan sistem kontrak yang melibatkan dua belah pihak antara Pemerintah dengan pihak swasta yang diwakili para pelaku usaha.
Sebagai gantinya, KKP akan fokus pada sistem kuota penangkapan dengan batasan maksimal 15 tahun. Sistem tersebut disiapkan agar pelaksanaan kebijakan penangkapan ikan terukur bisa berjalan seimbang antara kegiatan ekonomi dan ekologi.