- Perkebunan kakao penghasil bahan baku coklat, mekanan dan cemilan telah menjadi salah satu komoditas perkebunan di Sulawesi yang mengalami masa jaya di tahun 1990-an, meskipun kemudian anjlok akibat serangan hama dan penyakit serta usia produktif tanaman itu.
- Tren budi daya kakao mengubah menjadi penguasaan lahan secara individu, menggerus sistem kepemilikan kolektif sebagai ciri khas kepemilikan lahan di Sulsel. Karena sifatnya yang monokultur, hadirnya kakao berdampak pula pada tergerusnya pertanian tanaman pangan.
- Ada banyak desa di Sulsel yang tak memiliki tanaman pangan karena semua lahan diubah menjadi kebun kakao. Banyak terjadi penyingkiran ruang-ruang yang biasanya digunakan oleh perempuan.
- Dalam lima tahun terakhir justru terjadi pembalikan tren, telah terjadi konversi lahan kakao ke pertanian pangan, yaitu padi dan jagung.
Perkebunan kakao merupakan salah satu komoditas utama di Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan, di masa jayanya telah memberi dampak pada peningkatan ekonomi masyarakat. Meskipun kemudian menurun seiring dengan anjloknya produktivitas akibat serangan hama dan penyakit.
Tetapi kehadiran perkebunan kakao berdampak munculnya penguasaan lahan secara individu, menggerus sistem kepemilikan kolektif sebagai ciri khas kepemilikan lahan di Sulsel. Karena sifatnya yang monokultur, hadirnya kakao berdampak pula pada tergerusnya pertanian tanaman pangan.
“Hampir semua lahan kakao dalam bentuk monokultur sehingga petani tidak bisa menanam tanaman lain, sehingga tradisi panjang kebun campur di Sulawesi itu lenyap ketika pertanaman kakao datang. Ini memunculkan individuasi tanah dan bercocok tanam,” ungkap Nurhady Sirimorok, peneliti dari Ininnawa, dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Sajogjo Institute, Selasa (14/12/2021).
Menurut Nurhady, awalnya kebanyakan penguasaan lahan itu berbasis kekerabatan ataupun patron klien dimana tanah didistribusikan secara bergilir, dan kalau tanahnya banyak maka setiap keluarga mendapatkan tanah. Namun ketika kakao datang tiba-tiba sistem kepemilikan lahan berubah dari kolektif ke individu.
“Karena tanaman yang ditanam adalah tanaman perenial, beda dengan tanaman musiman, sehingga keluarga-keluarga dalam satu kerabat itu bisa bergilir menggunakan tanah tersebut. Tanaman kakao sendiri tidak memungkinkan sistem giliran terjadi. Sehingga satu orang atau satu keluarga harus menguasai lahan tersebut untuk melanjutkannya sebagai kebun kakao,” tambahnya.
baca : Kisah Masyarakat Mekarti Jaya: Tegas Tolak Sawit, Mantap Kembangkan Kakao
Selain individuasi lahan, di banyak tempat sistem peladangan berpindah di masa lalu juga terhenti, karena datangnya komoditas kakao yang membutuhkan sistem yang menetap.
“Di sinilah titik awal sistem kapitalisme atau perkebunan industrial itu menghilangkan sistem cocok tanam ala petani itu, menjadi capitalist farming.”
Menurut Nurhady, perkembangan komoditas kakao di Indonesia sangat terhubung dengan dinamika pasar kakao global, dimana pada akhir 1970-an dan awal 1980-an terjadi perang dan kekeringan di hutan Afrika sehingga pasar kakao global mencari sumber produksi baru.
Di saat yang sama, ketika mereka sedang mencari lokasi baru, di Indonesia sedang melancarkan kampanye ekspor non-migas, karena Indonesia sebagai salah satu pengekspor migas terbesar pada waktu itu sedang mengalami krisis karena jatuhnya harga minyak dunia.
“Maka mulailah kampanye mendorong tanaman perkebunan yaitu kakao. Pemerintah kemudian dengan gencar mendistribusikan bibit-bibit kakao ke banyak desa.”
Pada saat yang sama, terjadi tren kembalinya para migran buruh perkebunan kakao yang pulang membawa bibit kakao dari Malaysia
baca juga : Mencari Solusi Perbaikan Ekosistem Pertanaman Kakao di Sulsel
Dinamika global dan tren migran kemudian mengubah hampir seluruh lanskap Sulsel menjadi kakao. Para petani menyediakan modal, tanah, tenaga kerja, untuk mengintegrasikan diri dalam tanaman primadona ini, kemudian booming sejak pertengahan 1990-an dimana Pulau Sulawesi menjadi penghasil kakao terbesar di Indonesia dan sampai pertengahan 2000-an Sulsel masih menjadi yang terbesar penyedia lahan kakao terbesar di Indonesia.
“Dampaknya sangat besar, dari Sulsel perkebunan kakao berpindah ke provinsi lain di Sulawesi, ke Sulbar,
dan terakhir Sulteng. Ada sejumlah efek negatif yang berlangsung ditimbulkan oleh mendalamnya integrasi petani ke dalam rantai komoditas kakao ini.”
Sebelum terjadinya integrasi ke perkebunan kakao, tanah-tanah itu ditanami dengan tanaman musiman dan dimiliki bersama, setelah itu komoditas ini menciptakan individuasi lalu pasar tanah.
“Karena terjadi individuasi lahan, ketika terjadi muncul kebutuhan tiba-tiba atau gagal panen atau guncangan yang sering dialami petani, memunculkan pasar tanah. Tadinya tanah itu milik bersama, setelah diindividuasi kemudian bisa dijual. Ini memungkinkan terjadinya akumulasi tanah dan sebagian tak punya lahan.”
perlu dibaca : Kakao Berkelanjutan Makarti Jaya: Jenis Burung Bertambah, Produktivitas Meningkat
“Selain itu, karena dia bukan produksi yang bisa langsung dikonsumsi maka jalurnya itu sudah ditetapkan oleh pasar global, jadi hanya bisa dijual di tempat tertentu, mungkin ditentukan di New York sana, sehingga petani sama sekali tak punya kuasa di dalam hal menentukan harga dan begitupun dengan standar mutu yang harus dipenuhi petani.”
Sejak itu, tambahnya, tenaga kerja kita seperti dikontrol dari jauh untuk memenuhi standar mutu yang diinginkan pasar global. Dengan kata lain petani tidak bisa lagi melakukan apa yang biasa mereka lakukan di tanahnya sendiri.
“Tidak ada penyingkiran secara brutal, tetapi yang terjadi adalah pengontrolan terhadap apa yang bisa petani lakukan terhadap tanah mereka. Akibat langsungnya adalah tanaman pangan menjadi berkurang. Banyak lahan padi atau jagung atau lahan musiman biasanya adalah tanaman pangan dikonversi menjadi kebun kakao.”
Menurut Nurhady, ada banyak desa di Sulsel yang tak memiliki tanaman pangan karena semua lahan diubah menjadi kebun kakao. Banyak terjadi penyingkiran ruang-ruang yang biasanya digunakan oleh perempuan.
“Semacam cara berpikir kapital yang menguasai seluruh ruang. Semua lahan pekarangan yang tidak ada rumah diubah menjadi kebun kakao. Pekarangan tempat tanaman sayur dan obat-obatan berubah menjadi kebun kakao. Ruang kelola perempuan jadi lebih sempit.”
menarik dibaca : Kakao Fermentasi Jembrana Menembus Pasar Dunia [Bagian 4]
Pada akhirnya hampir semua petani kakao mengalami kebangkrutan dan banyak yang mengalami kebangkrutan berkali-kali. Ketika kampanye datang untuk menanam kakao dan mereka melihat pasarnya bagus, harga bagus, tidak ada yang memberitahu mereka bahwa kakao memiliki siklus hidup. Bahwa masa produktivitas hanya 15-20 tahun dan harus ada peremajaan.
“Karena petani tidak punya informasi terkait hal itu, ketika produktivitas pohon sudah mulai menurun mereka mulai menggunakan input kimia. Kalau satu input kimia masuk maka akan menyusul input kimia yang lain. Dan karena itu ekosistemnya menjadi rentan dan tentu saja tidak lama kemudian hampir semua disapu oleh hama dan penyakit.”
Masa kejayaan kakao pada akhirnya bersifat sementara dan di saat yang sama petani juga sangat rentan secara ekologis, sosial dan ekonomi. Salah satu dampaknya hingga sekarang adalah tergerusnya kemampuan mereka melakukan organisir diri untuk melakukan tindakan-tindakan kolektif.
“Collective action yang bisa dilakukan oleh orang desa kebanyakan yang berhubungan dengan acara kultural atau siklus hidup, misalnya kelahiran, perkawinan, naik rumah baru, kematian, dsb. Namun untuk urusan-urusan kolektif ekonomi dan politik, apalagi yang berjangka panjang, itu sangat sulit ditemukan di pedesaan di Sulsel.”
baca juga : Mengenal Cocoa Doctor, Petani Kakao Penggerak di Sulawesi
Pembalikan Tren
Menurut Prof. Dr. Ade Rosmana, Guru Besar Pertanian Universitas Hasanuddin, meski pernah terjadi tren kakao di berbagai daerah di Sulawesi, dalam lima tahun terakhir justru terjadi sebaliknya, telah terjadi konversi lahan kakao ke pertanian pangan, yaitu padi dan jagung.
Hal ini dipicu oleh semakin rendahnya produktivitas kakao akibat serangan hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit yang sangat tinggi membuat petani frustasi sehingga tak ada jalan lain bagi petani selain melakukan konversi lahan.
“Contoh di Kabupaten Pinrang dan beberapa daerah lain di Sulsel dimana lahan-lahan kakao diubah menjadi kebun jagung dan sawah karena produksi kakao menurun di sisi lain tanaman pertanian lain seperti jagung dan padi justru lebih menjanjikan,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Senin (17/01/2022).
Dampaknya kemudian produktivitas terus menurun secara nasional, sehingga posisi Indonesia sebagai penghasil kakao terbesar di dunia bergeser dari posisi ketiga ke posisi keenam.
Sulawesi menjadi penghasil kakao terbesar di Indonesia. Dalam Outlook Kakao 2020 Kementerian Pertanian menyebutkan tiga daerah penghasil terbesar kakao di Indonesia berasal dari Sulawesi, masing-masing Sulawesi Tengah (18,76 persen), Sulawesi Selatan (17,05 persen) dan Sulawesi Tenggara (16,33 persen). Sisanya 47,86 persen tersebar di sejumlah provinsi dengan persentase tak lebih dari 10 persen di masing-masing provinsi.