- Mendaki gunung, sekarang menjadi gaya hidup. Namun, tidak semua pendaki mengikuti etika yang ada seperti menghormati adat masyarakat setempat dan menjaga kelestarian lingkungan.
- Persoalan paling mencuat adalah sampah yang ditinggalkan para pendaki di gunung. Berdasarkan catatan Trashbag Community [TC], pada 2017, sebanyak 3,3 ton sampah dikumpulkan dari 17 gunung di Indonesia.
- Dulu, kegiatan mendaki dimaksudkan untuk mencari kesunyian, menghirup udara bersih, atau melepas penat dari rutinitas di perkotaan.
- Gunung dalam pemahaman masyarakat lokal, dianggap sebagai wilayah suci yang harus dihormati.
Mendaki gunung saat ini sudah menjadi gaya hidup. Namun, tidak semua pendaki mengikuti etika yang ada. Hal paling mencuat adalah lingkungan menjadi rusak dan sampah bertebaran di lokasi pendakian.
Gunung dalam pemahaman masyarakat lokal, dianggap sebagai wilayah suci yang harus dihormati. Dikutip dari penelitian berjudul “Mendaki Gunung yang Disucikan: Perspektif Pariwisata, Lingkungan, dan Kebudayaan” oleh I Gede Mudanaa, I Ketut Sutamab, dan Cokorda Istri Sri Widhari, dari Politeknik Negeri Bali, dijelaskan bahwa di Indonesia dikenal sejumlah gunung yang dianggap sebagai tempat suci.
Ada Gunung Agung, Gunung Batur, Gunung Batukaru, Gunung Semeru, Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung Salak. Status sebagai tempat suci membuat gunung tersebut terlindungi dan terpelihara dari perusakan dan pencemaran.
Persoalan sampah di gunung, berdasarkan data Trashbag Community [TC] dikutip dari Jawapos.com, pada 2017 berhasil mengumpulkan 3,3 ton sampah yang berasal dari 17 gunung di Indonesia.
Baca: Rindu Berat Para Pendaki, Tidak Bisa Naik Gunung Selama Pandemi
Banyak perubahan
Diah Bisono [56], Founder Perempuan Pendaki Peduli Lupus [P3L], dalam webinar “Pariwisata Gunung Berkelanjutan” Seri Ke-3, yang digelar Federasi Mountaineering Indonesia [FMI] dan Masyarakat Geowisata Indonesia [MAGI], Sabtu [12/6/2021], mengatakan dunia pendakian saat ini sudah banyak mengalami perubahan.
“Dulu, kegiatan mendaki dimaksudkan untuk mencari kesunyian, menghirup udara bersih, atau sekadar melarikan diri dari rutinitas di perkotaan. Tetapi sekarang, suasana gunung berubah, banyak para pendaki yang kurang pengetahuan dan etika, dampaknya, volume sampah di gunung kian mengkhawatirkan,” kata alumni Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia, tahun 1986 ini.
Perempuan yang sudah mendaki sejumlah gunung tertinggi di dunia, seperti Kilimanjaro [Tanzania], Cayambe dan Cotopaxi [Ecuador], serta Carszten Pyramid [Papua], juga mengeluhkan banyaknya sampah visual. Contohnya, bangunan warna-warni di kebanyakan lokasi wisata di Indonesia.
“Seharusnya alam atau gunung itu, dibiarkan begitu adanya, tetap alami. Kita harus belajar banyak dari masyarakat lokal, bagaimana mereka menghargai dan menjaga gunung,” lanjutnya.
Baca: Mendaki Kerinci Bukan Hanya Menaklukkan Atap Sumatera
Para pendaki juga harus dapat menerapkan prinsip responsibility travel, yaitu jaga alam. Artinya, alam atau gunung tidak hanya harus bersih dari sampah, tetapi juga jangan mengubah kondis alam. Biarkan alam begitu adanya.
Lalu, prinsip local economy support, artinya saat berkunjung atau mendaki ke suatu wilayah, kita harus berbelanja atau memanfaatkan jasa ekonomi di masyarakat setempat. Misal, belanja di warung, menginap di homestay, hingga jasa transportasi. Intinya, harus membangkitkan ekonomi masyarakat lokal.
Berikutnya, suitanable lifestyle, artinya konsep berkelanjutan atau lestari menjadi gaya hidup, seperti mengurangi penggunaan sampah plastik saat mendaki.
“Tidak seharusya gunung disediakan tempat sampah. Sudah hukumnya, semua yang dibawa pendaki harus dibawa turun. Semua itu dampak dari serba sachet atau kaleng seperti sekarang,” kata Diah.
“Pendaki seharusnya berperan sebagai pembawa pesan untuk isu-isu kelestarian lingkungan, kesehatan, maupun pendidikan,” tuturnya.
Baca juga: Setiap Bukit di Bangka adalah Wilayah Larangan, Mengapa?
Jangan melanggar adat
Di Pulau Bangka, hampir semua perbukitan yang disebut dengan gunung, dianggap sebagai wilayah larangan. Sebut saja Gunung Maras [705 meter], bukit tertinggi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang disucikan oleh Suku Maras, yang hidup di sekitar bukit tersebut.
Dalam kepercayaan Suku Maras, orang yang mendaki bukit tersebut harus bersih dan mempunyai niat baik. Para pendaki juga harus menghormati aturan adat.
Misalnya, dilarang mandi di air terjun tanpa pakaian, bersiul, membawa telur bebek atau itik [mentah maupun matang] dan pisang masak. Berikutnya, dilarang berkata kotor, memukul jangkar pohon dengan tongkat, menyalakan api unggun, hingga satu tenda dengan pasangan yang bukan istrinya [menikah].
“Semua pantangan tersebut, sebenarnya hampir terdapat di seluruh gunung atau bukit di Indonesia. Termasuk di Gunung Maras ini. Namun, banyak pendaki saat ini tidak lagi mematuhi dengan berbagai alasan. Akibatnya, kadang ada pendaki yang menerima dampak buruk seperti tersesat ” kata Damino [51], generasi ketiga Suku Maras yang tinggal di kaki Bukit Maras.
Dia mengatakan, semua pantangan adat dibuat demi keselamatan pendaki itu sendiri.
“Harapan kami sederhana. Hormati gunung seperti yang dilakukan selama ini oleh masyarakat adat yang ada di sekitarnya. Jangan kotori gunung dengan sampah makanan, sampah visual, sampah suara, terlebih berbuat asusila,” katanya.