- PT Dairi Prima Mineral di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, tengah mengajukan permohonan perubahan dokumen (adendum) analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Berbagai kalangan mendesak KLHK menolak amdal perusahaan, antara lain karena rawan kerusakan lingkungan hidup ancaman bagi warga.
- Berdasarkan pemantauan Bakumsu, untuk gudang pengalihan bahan peledak perusahaan meminta izin lokasi baru. Perusahaan sudah membangun fasilitas penyimpanan bahan peledak di lokasi baru, dan tidak termasuk dalam kawasan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Ia hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah penduduk terdekat di Dusun Sipat, Desa Longkotan, Dairi.
- Steve Emerman, ahli hidrologi dan lingkungan untuk tambang dari Universitas Cornel mengkaji adendum Dairi Mineral. Dalam kajian itu dia katakan fasilitas bendungan tailing belum dirancang untuk kemungkinan banjir atau curah hujan terbesar.
- Muhammad Jamil, Kepala Divisi hukum dan Advokasi Jatam Nasional mendesak, Pemerintah Indonesia tak memberikan izin Dairi Mineral dan menolak menyetujui adendum amdal.
Perusahaan pertambangan seng dan timah hitam, PT Dairi Prima Mineral di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, tengah mengajukan permohonan perubahan (adendum) dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pengajuan ini untuk mengubah beberapa rencana kegiatan perusahaan di kabupaten itu. Berbagai kalangan mendesak KLHK menolak amdal perusahaan, antara lain karena rawan kerusakan lingkungan hidup ancaman bagi warga.
Amdal, salah satu bagian dari dokumen persyaratan pemberian surat keputusan kelayakan lingkungan (SKKLH) dan izin lingkungan.
Baca juga: Warga Dairi Resah Kehadiran Perusahaan Tambang Seng
Juniaty Aritonang, Koordinator Studi Advokasi Bakumsu mengatakan, berdasarkan ketentuan UU Nomor 32/2009 dan PP 27/2012, tanpa ada amdal, SKKLH, dan izin lingkungan, kegiatan yang berdampak penting bagi lingkungan seperti penambangan tak bisa jalan dan tidak akan dapat izin usaha.
Berdasarkan dokumen mereka, dalam adendum, Dairi Mineral mengusulkan tiga perubahan izin lingkungan, yaitu, perubahan lokasi gudang bahan peledak, mengubah lokasi tailing storage facility (TSF) dan penambahan lokasi mulut tambang (portal).
“Dari jumlah itu, perubahan fasilitas penyimpanan bahan peledak dan perubahan fasilitas penyimpanan tailing paling memprihatinkan, ” kata Juni saat memberikan keterangan kepada media bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Yayasan Diakona Pelangi Kasih, Dairi di Medan, baru-baru ini.
Berdasarkan pemantauan mereka, untuk gudang pengalihan bahan peledak perusahaan meminta izin lokasi baru. Mereka sudah membangun fasilitas penyimpanan bahan peledak di lokasi baru, dan tidak termasuk dalam kawasan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Ia hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah penduduk terdekat di Dusun Sipat, Desa Longkotan, Dairi.
Dalam dokumen adendum amdal RKL-RPL tipe A Dairi Mineral akan membangun gudang bahan peledak sejauh 293 meter sesuai keputusan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara No. 309.K/30/DJB/2018.
Keputusan itu menyebutkan, jarak aman untuk kapasitas gudang bahan peledak Dairi Mineral 293 meter dari bangunan yang didiami manusia, rumah sakit dan bangunan lain atau kantor. Atau 244 meter terhadap tangki bahan bakar, bengkel dan jalan utama serta 87 meter terhadap rel kereta api dan jalan umum kecil.
Juni menilai, dokumen adendum ini tak memiliki analisis risiko lingkungan dan analisis risiko bencana. Dokumen ini tidak menjelaskan rinci poin-poin penting dalam addendum amdal RKL-RPL Tipe A. Permen LHK Nomor 23/2018 tentang uraian rencana usaha dan atau kegiatan, katanya, menyatakan harus menjabarkan rinci rencana usaha dan atau kegiatan sesuai pedoman UU.
Kalau melihat dokumen adendum amdal tentang TSF tidak dijelaskan detail. , Tampaknya dokumen tidak disiapkan dengan matang.
Dairi Mineral, katanya, sudah membangun fasilitas penyimpanan bahan peledak di lokasi baru, di luar kawasan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
“Jarak hanya sekitar 50 meter dari rumah terdekat di Dusun Sipat Desa Longkotan,” kata Juni.
Kekhawatiran letak gudang bahan peledak, juga disampaikan Mangatur Pardamean Lumbantoruan, warga Dairi.
Banyak yang khawatir dengan letak gudang bahan peledak dekat pemukiman dan tanpa pelibatan masyarakat.
Seharusnya, kata Mangatur, ada informasi transparan dan lengkap, serta diberitahukan sebelum kegiatan terlaksana.
“Kami juga sangat khawatir jika suatu saat bahan peledak yang disimpan di gudang meledak. Kami di sekitar akan terkena dampak.”
Debora Gultom, Koordinator Advokasi Yayasan Diakona Pelangi Kasih (YDPK), mengatakan, melalui adendum, Dairi Mineral berencana memindahkan TSF, dari lokasi semula di kawasan hutan lindung berjarak 500 meter dari pabrik pengolahan ke Bondar Begu, Dusun Sopokomil yang berjarak dua km dari lokasi semula. Dengan status lahan untuk penggunaan lain dan penggunaan lahan pertanian kering juga semak belukar.
Dari kajian mereka, bahan akan dipompa ke fasilitas tailing yang diusulkan adalah sulfida bercampur air dan oksigen, kemudian hasilkan asam. Kalau kondisi asam tetap ada, logam berat dapat larut ke air di fasilitas tailing hingga ada kerusakan pada lapisan bendungan atau dinding bendungan runtuh dan bahan beracun lepas.
Dengan begitu, katanya, penting dalam membuat stabilitas fasilitas bendungan tailing. Ia harus tahan banjir dan gempa yang mungkin terjadi.
Dia sebutkan contoh, perusahaan pertambangan China Non-Ferrous Metals Mining Group, yang dikenal sebagai NFC, mengoperasikan tambang di Zambia. Pada 2005, terjadi ledakan di fasilitas penyimpanan bahan peledak menewaskan 51 orang.
“TSF merupakan sarana pengolahan limbah untuk dapat menyalurkan batuan sisa halus berupa slurry (tailing), “ katanya.
Para ahli internasional telah meninjau dokumen adendum amdal Dairi Mineral dan mengatakan, rancangan fasilitas bendungan tailing di bawah standar internasional, dan yang disyaratkan hukum Indonesia.
Steve Emerman, ahli hidrologi dan lingkungan untuk tambang dari Universitas Cornel mengkaji adendum Dairi Mineral.
Dalam kajian itu dia katakan fasilitas bendungan tailing belum dirancang untuk kemungkinan banjir atau curah hujan terbesar.
“Bendungan tailing tidak dapat dibangun begitu dekat dengan pemukiman.”
Muhammad Jamil, Kepala Divisi hukum dan Advokasi Jatam Nasional mendesak, Pemerintah Indonesia tak memberikan izin Dairi Mineral dan menolak menyetujui adendum amdal.
Jatam menemukan, ada kejanggalan dalam proses penyusunan amdal. Pada 8 Juli 2020, Komisi Penilai Amdal Pusat mengundang pertemuan LSM dan perwakilan masyarakat secara virtual untuk memberikan saran, pendapat dan tanggapan dalam penilaian adendum amdal.
Komisi Penilai Amdal Pusat hanya memberikan waktu satu minggu kepada masyarakat mengkaji dan memberikan masukan serta komentar.
“Menurut kami, ini tidak terlalu memberikan ruang partisipasi dan keterlibatan luas bagi masyarakat,” kata Jamil.
Herni Simanjuntak, warga sekitar tambang mengatakan, masyarakat sangat khawatir potensi daya rusak pertambangan di masa mendatang, terutama di lahan pertanian masyarakat. Apalagi, katanya, masyarakat Dairi mayoritas petani yang hidupn bergantung sumber daya alam seperti air, tanah, sungai dan hutan.
“Kami khawatir dengan berkurangnya ketersediaan air untuk pertanian, pencemaran tanah akibat drainase asam tambang, ” katanya.
Pertambangan Dairi Mineral di Sopokomil akan menyumbang kerusakan ekologis besar bagi wilayah sekitar pertambangan dan hilir.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, YDPK bersama warga sekitar meneliti pencemaran sumber air minum masyarakat dan sumber air tanaman dekat lokasi penambangan.
Gerson Tampubolon, warga sekitar tambang juga khawatir kalau nanti ada tempat pembuangan limbah. Apalagi, katanya, kalau itu terbangun di wilayah gempa.
“Ini mengkhawatirkan masyarakat jika dam ini jebol. Sudah tentu sangat berdampak pada desa-desa dan pertanian, sungai, keragaman hayati dan lain-lain,” katanya.
Tampubolon tak pernah membayangkan, di sekitarnya akan ada tambang . “Tambang tidak pernah membawa kesejahteraan bagi masyarakat, namun kesejahteraan bagi korporasi.”
Achmad Zulkarnain, Manager External Relation PT. Bumi Resources Mineral, induk PT Dairi Prima Mineral merespon berbagai kekhawatiran dan keberatan atas rencana operasi perusahaan termasuk perubahan amdal dengan memaparkan beberapa hal tanpa memberikan penjelasan detil atas klaimnya.
Dia sebutkan beberapa poin, pertama, adendum amdal itu sebagai bentuk kepedulian perusahaan mengantisipasi dan meminimalisir kerusakan lingkungan di lokasi tambang.
Perusahaan, katanya, sudah bikin amdal pada 2005. Ada perubahan sejak 2017 dan hingga kini KLHK belum menerbitkan amdal perubahan dengan alasan masih dalam kajian mendalam.
Adendum amdal, katanya, ingin mengubah tempat pembuangan tailing atau limbah, awalnya di dalam hutan lindung ke area penggunaan lain, termasuk perubahan mengenai pembangunan mulut portal tambang.
Perusahaan juga ajukan perubahan produk tambang. Awalnya, tambang emas, setelah survei dan penelitian, ternyata tidak ada emas hingga ubah pengajuan produk pertambangan jadi tambang seng dan timah hitam.
“Untuk adendum masih kami susun ulang karena ada perbaikan, untuk peledak Mabes Polri menganggap aman hingga kami dikasih izin,” katanya kepada Mongabay 22 Desember lalu
Kedua, untuk gudang penyimpan bahan peledak jarak dengan rumah penduduk lebih kurang 100 meter, namun dianggap tidak berbahaya karena detonator dan dinamit tak dalam satu tempat melainkan terpisah. Kemungkinan meledak, katanya, sangat kecil karena keduanya tidak dalam satu tempat.
Dia bilang, ledakan bisa terjadi kalau detonator disambungkan dengan dinamit dan lain-lain namun sudah diantisipasi dan aman dari gangguan atau hal-hal lain.
Ketiga, untuk pengolahan limbah sampai saat ini mereka belum produksi atau proses masih dalam pembangunan infrastruktur. Kalau nanti sudah produksi, dia mengklaim akan mempertimbangkan sebaik mungkin.
Tanpa menjelaskan detil metode atau sistem yang mereka gunakan, dia hanya bilang tidak akan ada pencemaran di sungai atau rumah penduduk dampak produksi tambang.
Dia bilang, kekhawatiran sungai tercemar tidak akan terjadi karena perusahaan sudah memperhitungkan sedetil mungkin. Limbah bahaya atau tidak, dia jelaskan, hanya mengukur dari ikan mati atau tidak saat dimasukkan dalam sarana limbah itu.
Sebelum limbah buang ke sungai, kata Zulkarnain, akan ditampung di pengolahan akhir. Di situ, katanya, akan ada pengujian dengan menempatkan ikan untuk mengetahui kalau ikan mati, harus ada proses ulang pengolahan limbah. Jika, ikan hidup maka itu tak akan berbahaya.
“Untuk limbah, tidak main-main karena akan merusak nama besar perusahaan jika harus mengolah limbah dengan tidak benar. Satu unit saja yang mencoba bekerja tidak baik akan kami tindak.”
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, katanya, meminta agar ada proses laporan online setiap saat jadi bisa diketahui bagaimana kerja tambang dalam mendapatkan atau mengeruk bahan baku di Dairi.
Dia mengatakan, target pabrik perusahaan produksi pada 2022 atau 2023. Saat ini, baru membangun infrastruktur tambang seperti jalan tambang, pabrik, gudang bahan peledak dan lain-lain.
Pembangunan infrastruktur berada di kawasan hutan lindung dengan izin pinjam pakai yang sudah mereka ajukan pada 2012, perpanjangan lagi 2020 pada Oktober lalu. Izin sudah terbit dan ditandatangani Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.