Sontak semua berubah. Rumah tinggal tempat kami pulang, kasur tempat kami bermimpi, dan kehidupan terenggut seketika saat semua berubah menjadi lautan lumpur. Foto: Aji WihardandiSemua menjadi gumpalan tanah. Foto: Aji WihardandiKami bukan lagi petani. Tak ada lagi tanah yang bisa digarap. Tak ada ternak yang bisa beranak. Kami kini penjual DVD, tukang ojek, dan pemandu wisata atas kampung kami sendiri yang hilang. Foto: Aji WihardandiEnam tahun sudah berjuang, namun tak mungkin mengembalikan semua. Kini kami cuma bisa terus mengingatkan. Foto: Aji WihardandiKendati kami pun tak tahu, siapa yang 'benar'. Namun kami tak ingin dibeli. Kami hanya ingin kembali. Foto: Aji WihardandiCuma jerit suara yang bisa disampaikan, dengan harapan bergetar hingga telinga para penguasa. Foto: Aji WihardandiNamun kami pantang menangis. Kami tetap optimis. Kendati dalam hati terus meringis. Foto: Aji WihardandiTerus tersenyum, terus berjuang. Mengembalikan semua yang terbuang. Kami yakin, di akhir hari, kami akan menang. Foto: Aji WihardandiTerus terang kami serius, kendati aparat berjaga sambil BBM-an terus. Foto: Aji Wihardandi
Kondisi nelayan tradisional di Indonesia memprihantinkan. Negara makin tidak berpihak pada nelayan saja. Demi tingkatkan ekonomi, pemerintah izinkan privatisasi ruang laut dan pesisir serta sumber daya alam di dalamnya. Hingga perampasan ruang laut dan pesisir terus terjadi. Upaya-upaya masyarakat mempertahankan lahan pun tak jarang berakhir dengan jerat hukum. Belum lagi wilayah tangkap nelayan tradisional/kecil […]