Merasa kampungnya hanya mendapatkan kerugian, masyarakat di Desa Labuan Taposo, Kecamatan Labuan, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, ramai-ramai menolak kehadiran perusahaan tambang galian C.
Namun, nasib masyarakat yang berjuang untuk lingkungan mereka itu justru berujung pada pemanggilan enam orang oleh kepolisian sektor di kecamatan. Mereka berurusan dengan aparat hukum, karena di duga melakukan tindak pidana perusakan berdasarkan pasal 170 KUHP.
Surat panggilan pertama masuk pada 12 Agustus 2015 dan keenam warga tersebut diminta hadir pada Kamis, 15 Oktober 2015. Panggilan sebagai saksi ini berdasarkan laporan polisi nomor : LP/104/IX/2015/SEK Lbn, 8 September 2015.
Karena panggilan polisi itu, masyarakat merasa tidak nyaman. Peristiwa yang terjadi di Lumajang, Jawa Timur, yang mengakibatkan Salim Kancil terbunuh dan Tosan dirawat intensif di rumah sakit, terus membayangi warga. Mereka merasa situasinya hampir sama, dimana preman-preman kampung juga banyak yang pro tambang.
Bahkan untuk wawancara, masyarakat berharap nama mereka tidak disebutkan.
“Kami sedang berkumpul mendiskusikan nasib keenam kawan yang berniat baik menyelamatkan lingkungan. Sayang, kasus ini menimpa mereka yang selalu berniat baik,” kata salah seorang warga.
Keenam warga yang dipanggil kepolisian itu adalah, Zamu, Sud, Suki, Amir, Umar, dan Badu. Mereka adalah petani dan diberbagai kesempatan sering menggelar diskusi kampung, sehingga mempunyai pengetahuan tentang seluk-beluk penyelamatan lingkungan.
Berdasarkan penuturan warga, kronologis kejadiannya dimulai pada 21 Agustus 2015. Saat itu, mereka mengadakan pertemuan bersama pemerintah desa. Total masyarakat yang hadir 38 orang. Kesepakatan yang dihasilkan adalah pemberhentian tiga perusahaan, yaitu CV. Putra Labuan, CV. Lelea Ratan, dan CV. Rementana di wilayah Desa Labuan Toposo.
Pada 31 Agustus 2015, kepala desa mengirimkan surat kepada operator alat berat CV. Rementana, yang meminta agar proses penggalian diberhentikan untuk sementara, sambil menunggu pertemuan berikutnya. Namun, faktanya perusahaan masih terus beroperasi.
Senin, 6 September 2015, sekitar pukul 20:00 malam, warga berkumpul di rumah ketua RT (Rukun Tetangga) untuk merencanakan aksi di lokasi perusahaan. Esoknya, Selasa, 7 September 2015, pukul 15:30 sore, warga mulai berkumpul di dekat lokasi penggalian. Jumlah mereka sekitar 60 orang. Massa melihat masih ada satu alat berat milik CV. Rementana yang beroperasi. Mereka kemudian mendekat ke tambang galian dan menemui dua orang operator alat berat bernama Edward dan Aco.
“Kenapa alat berat masih beroperasi?” tanya warga.
“Alat ini rusak,” jawab Edward dan Aco.
Namun warga tidak percaya. Karena sebelumnya mereka menyaksikan dari dekat kalau alat berat tersebut masih beroperasi. Tidak lama setelah itu terjadi lagi percakapan yang meminta agar Edward dan Aco menghubungi pemilik perusahaan dan memindahkan alat berat.
“Saat alat berat dipindahkan, ternyata alatnya tidak rusak. Dan entah siapa yang memulai, terjadi pelemparan batu ke alat berat,” ungkap salah seorang warga.
Menurutnya, mereka mulai gusar dengan aktivitas perusahaan ini, sebab sejak 2014, terjadi banjir besar di wilayah Kecamatan Labuan yang mengakibatkan banyaknya tanaman warga seperti kelapa dan kakao ikut terbawa banjir.
“Perkebunan warga yang rusak karena banjir itu terjadi di desa kami di Labuan Toposo. Akibat banjir besar ini, bendungan irigasi jebol,” katanya.
Sejak kejadian itu, masyarakat mulai merasa keberatan atas beroperasinya alat berat di aliran sungai yang ada di wilayah desa Labuan Toposo. Menurut mereka, dengan adanya penggalian sungai membuat badan sungai semakin meluas. Selain, pada saat musim kemarau sekarang ini, mereka kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Bahkan ada beberapa titik sumur milik masyarakat yang ada di pinggirian sungai menjadi kering.
Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sulawesi Tengah, Aries Bira menjelaskan, pemanggilan polisi ini menekan nilai patriotis dalam melakukan pembelaan lingkungan. Hal ini katanya, hanya akan membuat warga takut melawan yang dianggapnya benar.
“Tentu ini satu cerita yang akan terus berulang, karena dimana pun ada perlawanan rakyat dalam investasi berkedok pendapatan daerah atau pertumbuhan ekonomi. Contoh saja aksi kriminalisasi, intimidasi, hingga berujung matinya Salim Kancil di Lumajang,” ungkapnya.
Aries juga menjelaskan, bahwa sampai saat ini mereka belum yakin jika yang melakukan pelemparan tersebut adalah warga. Karena dalam aksi-aksi mereka sebelumnya, pelemparan ini tidak pernah terjadi. Atau, katanya, jika ini betul dilakukan warga, tentu harus melihat kondisi mereka yang hanya terus diberi janji, bahwa perusahan akan berhenti beroprasi.
“Selain itu mestinya polisi juga memanggil pihak perusahaan, karena sejak Agustus yang lalu telah diminta berhenti sementara oleh pemerintah desa. Namun, fakta dilapangan warga menemukan perusahaan masih terus beroprasi,” ujar Aries.
“Untuk menjamin rasa keadilan dan perlindungan terhadap mereka yang membela lingkungan, kami telah menyiapkan tim hukum yang akan membantu keenam warga dalam proses hukum nantinya.”