- Laporan global komprehensif mengenai masyarakat adat terpencil yang belum terjamah, yang diterbitkan pada 27 Oktober 2025 oleh Survival International, memperkirakan bahwa di dunia terdapat sedikitnya 196 komunitas adat terpencil yang hidup di 10 negara di Amerika Selatan, Asia, dan kawasan Pasifik.
- Sekitar 95% masyarakat dan kelompok adat terpencil tersebut hidup di wilayah Amazon, terutama di Brasil, yang menjadi rumah bagi 124 kelompok.
- Setelah terjadinya kontak, kelompok masyarakat adat sering kali mengalami kehancuran akibat penyakit, terutama influenza, dimana mereka hampir tidak memiliki kekebalan terhadapnya.
- Survival International menegaskan bahwa, agar kelompok masyarakat ini dapat bertahan, mereka harus mendapatkan perlindungan penuh, yang memerlukan komitmen serius untuk tidak dilakukannya kontak dari berbagai pihak seperti pemerintah, perusahaan, maupun misionaris.
“Anak-anak saya meninggal. Ibu saya meninggal. Suami saya meninggal. Saudara laki-laki, saudara perempuan, bibi, dan paman saya meninggal. Saya melihat tulang-belulang mencuat dari mayat mereka yang membusuk di dalam rumah panjang. Kami terlalu lemah untuk menguburkan mereka. Saya ditinggalkan sendirian bersama dua adik laki-laki saya yang masih bayi. Seluruh keluarga saya meninggal, dan yang kami dapatkan sebagai gantinya hanyalah beberapa buah parang.”
Kisah ini berasal dari seorang perempuan adat Matis yang tinggal di Brasil dan berbicara kepada seorang antropolog pada tahun 1990-an.
Masyarakatnya hampir musnah dalam tahun-tahun setelah mereka pertama kali melakukan kontak dengan pihak luar pada 1970-an. Para pembalak dan penambang liar membawa penyakit, terutama influenza, yang hampir tidak dapat mereka lawan.
Kesaksian seperti yang disampaikan perempuan adat Matis ini meyakinkan Survival International akan kebutuhan mendesak untuk berkampanye melindungi hak kolektif masyarakat adat, suku, serta komunitas-komunitas terpencil yang belum terjamah di dunia, yang menurut organisasi hak asasi manusia tersebut harus dibiarkan hidup tanpa gangguan dan dilindungi sepenuhnya.
Pada 27 Oktober 2025 lalu, LSM ini menerbitkan laporan setebal 300 halaman berjudul Uncontacted Indigenous Peoples: at the Edge of Survival, yang mendokumentasikan berbagai ancaman masa lalu dan yang membayangi akibat kontak, serta memaparkan pengalaman berbagai masyarakat adat yang kehidupannya tercerabut, terganggu, dan selamanya berubah akibat kontak luar.
Laporan itu menyatakan: “Khususnya, desakan industri ekstraktif dan agribisnis untuk merebut sumber daya milik masyarakat adat terpencil telah mengancam pemusnahan mereka secara total.”

Survival International mencatat bahwa masyarakat adat terpencil menghadapi berbagai ancaman yang saling tumpang tindih. Menurut laporan organisasi HAM tersebut, industri ekstraktif (termasuk pembalakan hutan, pertambangan, serta pengeboran minyak dan gas) mengancam 90% kelompok adat terpencil; sepertiga di antaranya diteror oleh geng kriminal, termasuk jaringan narkotika; sementara agribisnis menempatkan seperempat kelompok dalam bahaya.
Proyek pembangunan yang didukung pemerintah mengancam total sebanyak 38 kelompok, sementara upaya misionaris untuk melakukan kontak dengan berbagai kelompok menempatkan satu dari enam kelompok dalam risiko. Bahkan industri yang dianggap berkelanjutan pun dapat menimbulkan ancaman, seperti isi laporan tersebut yang mencontohkan penambangan nikel untuk kendaraan listrik.
Laporan itu juga memuat kesaksian tentang dampak-dampak yang terjadi di masa lalu maupun yang sedang berlangsung.
Alex Tinyú, seorang laki-laki adat Nukak dari Kolombia, masih anak-anak ketika wilayahnya dimasuki oleh misionaris, pemukim, dan kelompok bersenjata pada akhir 1980-an.
“Kami, masyarakat Nukak, hidup dengan damai di wilayah kami dengan berburu, memancing, dan mengumpulkan hasil hutan seperti yang telah dilakukan bergenerasi. Namun semuanya berubah ketika kontak terjadi,” demikian kutipan pernyataannya dalam laporan tersebut.
“Ketika para pemukim datang, mereka membawa penyakit yang tidak kami kenal. Banyak orang Nukak jatuh sakit dan dibawa ke rumah sakit.” Lebih dari separuh komunitasnya meninggal akibat penyakit dan kekerasan.
Shocorua, seorang anggota masyarakat adat Nahua dari Peru, mengenang bagaimana kelompoknya yang belum tersentuh kontak terdampak oleh eksplorasi minyak yang dilakukan perusahaan transnasional Anglo-Belanda, Shell, pada 1990-an.
Ucapannya disorot dalam laporan tersebut: “Paman dan sepupu-sepupu saya meninggal saat mereka sedang berjalan… mereka mulai batuk, jatuh sakit, dan meninggal begitu saja di hutan. Beberapa di antaranya masih anak-anak. Semua jenazah dikumpulkan dalam satu lubang besar, dan semua orang meratap dan menangis.” Sekitar setengah populasi Nahua meninggal hanya dalam beberapa tahun.

Seruan agar Masyarakat Adat Tidak Disentuh oleh Pihak Luar
Dalam laporan terbarunya, Survival International menyatakan bahwa bertahun-tahun riset yang ketat telah membantu LSM tersebut mengidentifikasi sedikitnya 196 kelompok masyarakat adat terpencil yang kini hidup di 10 negara di Amerika Selatan (188 kelompok), Asia (enam kelompok), dan kawasan Pasifik (dua kelompok). Brasil menjadi negara dengan jumlah kelompok terbanyak, yaitu 124 kelompok.
Laporan tersebut memperingatkan bahwa, kecuali pemerintah dan perusahaan mengambil tindakan tegas sekarang, hampir setengah dari kelompok tersebut dapat musnah dalam 10 tahun ke depan.
Laporan itu juga mencatat sejumlah contoh kelompok adat terpencil yang saat ini menghadapi pelanggaran hak asasi manusia dan perampasan tanah, serta sangat membutuhkan perlindungan dari berbagai ancaman yang terus berlangsung.
Daniel Aristizabal, sekretaris International Working Group for the Protection of Indigenous Peoples Living in Isolation and Initial Contact (IWG-PIACI), mengatakan kepada Mongabay bahwa meskipun ia tidak dapat mendukung klaim Survival International bahwa sebagian besar kelompok masyarakat adat terpencil dapat musnah dalam sepuluh tahun karena kurangnya data, baginya jelas bahwa dunia sedang berada pada titik kritis:
“Jika mereka lenyap, maka kelompok-kelompok terakhir masyarakat [adat terpencil] yang memberikan makna bagi dunia ini sebagai penyeimbang terhadap globalisasi dan kapitalisme akan turut musnah,” kata Aristizabal.
“Ini adalah kesempatan terakhir umat manusia untuk menunjukkan empati terhadap sesama. Kita berutang atas perjuangan mereka dengan menghormati keputusan mereka [untuk tetap terisolasi]. Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk tidak mengintervensi.”
Salah satu kelompok yang menghadapi ancaman tersebut adalah masyarakat Hongana Manyawa (dikenal sebagai Tobelo Dalam), yang diperkirakan berjumlah sekitar 500 individu yang menghuni hutan di Pulau Halmahera, Indonesia.
Hutan-hutan tersebut telah dimasuki perusahaan tambang. Pada April 2023, Survival International meluncurkan kampanye yang menentang operasi penambangan nikel di Halmahera yang, menurut mereka, berdampak pada wilayah Hongana Manyawa.

Seorang pria Hongana Manyawa yang pernah meninggalkan hutan menyampaikan dengan tegas bahwa masyarakatnya harus dilindungi sepenuhnya dari kontak luar. Pada tahun 2024, ia mengatakan kepada Survival International secara anonim.
“Sejak zaman para leluhur, Hongana Manyawa hidup di dalam hutan hujan. Ketika [kerabat saya yang belum terhubung] terikat dengan hutan hujan, mereka terhubung dengan alam semesta. Mereka tidak ingin terhubung dengan dunia luar.”
Ngigoro, seorang pria Hongana Manyawa lain yang sebelumnya juga tidak tersentuh kontak, turut bersuara pada tahun 2024.
“Hutan hujan adalah rumah kami, tempat kami hidup. Perusahaan telah menghancurkan hutan hujan kami dan hanya ini yang tersisa. Kami tidak akan memberikan tanah kami kepada siapa pun. Ini adalah hutan hujan tempat orang tua dan leluhur kami hidup. Tempat ini milik kami. Kami tidak akan membiarkan kalian mengambil tanah kami. Berhentilah mencurinya dari kami.”
Meskipun ada seruan seperti itu, tekanan dari luar tetap mengancam untuk menghancurkan isolasi masyarakat Hongana Manyawa. Kelompok-kelompok lokal menyatakan bahwa mereka “berperang” dengan kelompok adat tersebut dan melakukan penyerbuan bersenjata ke dalam hutan untuk membunuh atau menculik orang.
Kementerian Sosial memiliki program “Komunitas Adat Terpencil” (KAT) yang, menurut Survival International, masih beroperasi dengan asumsi bahwa melakukan kontak dan mengasimilasi masyarakat adat terpencil adalah kepentingan semua pihak. Sebagai tanggapan, pemerintah menyatakan bahwa kebijakannya berkontribusi pada “pemberdayaan” komunitas tersebut.
Menurut laporan itu, dari tahun 1960-an hingga 1980-an, KAT berupaya melakukan kontak paksa dan memukimkan masyarakat Hongana Manyawa, yang mereka anggap sebagai kelompok yang “tertinggal secara budaya.”
Selama bertahun-tahun, KAT berhasil menggusur banyak anggota masyarakat tersebut dari hutan hujan leluhur mereka, sehingga membuat mereka terekspos pada penyakit yang menyebabkan penderitaan dan kematian secara luas.
Tidak ada catatan resmi mengenai total jumlah korban jiwa, tetapi di salah satu lokasi permukiman kecil yang dihuni beberapa ratus orang, sekitar 50–60 orang dilaporkan meninggal hanya dalam dua bulan.

Para penyintas Hongana Manyawa menyebut masa itu sebagai “wabah.” Kemudian, pada tahun 2015, seorang perwakilan pemerintah daerah menyerukan upaya permukiman kembali yang lebih intensif, menggambarkan gaya hidup masyarakat Hongana Manyawa di hutan sebagai “zaman batu,” dan menyatakan bahwa mereka memerlukan “kehidupan yang layak,” menurut laporan tersebut.
Saat ini, ancaman besar datang dari Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) sebuah pusat pemrosesan nikel yang berkembang pesat dan dibangun oleh konsorsium perusahaan tambang, Tsingshan Holding Group dari Tiongkok sebagai pemegang saham mayoritas sebesar 51,3%, grup pertambangan dan metalurgi asal Prancis, Eramet, yang memiliki 37,8% saham, serta PT Antam Tbk, BUMN Indonesia, dengan kepemilikan 10%.
Konsorsium tersebut merupakan kekuatan utama yang mendorong kegiatan penambangan nikel di pulau tersebut saat ini. Operasi mereka tumpang tindih dengan wilayah adat yang sangat luas, dan banyak masyarakat Hongana Manyawa yang belum tersentuh kontak kini terpaksa melarikan diri dari buldoser, ekskavator, dan juga dari potensi aparat keamanan, menurut Survival International. Namun, meskipun menghadapi tekanan yang berlangsung selama bertahun-tahun, masyarakat Hongana Manyawa menolak meninggalkan rumah hutan mereka.
Mereka juga telah menerima dukungan vokal dari kerabat adat, para aliansi mereka di pulau tersebut, serta berbagai wilayah di Indonesia dan beragam komunitas internasional. Dukungan ini mulai membuahkan hasil. Salah satu perusahaan tambang telah mundur dari proyek tersebut, sementara sejumlah calon pembeli menyatakan dukungan mereka bagi masyarakat Hongana Manyawa, dan beberapa politisi Indonesia juga turut bersuara.

‘Kami tidak ingin ada orang luar di hutan kami’
Kelompok lain yang disorot dalam laporan dan membutuhkan perlindungan segera adalah masyarakat adat Shompen yang menghuni hutan hujan di Pulau Great Nicobar, India. Sebagian besar masyarakat Shompen belum tersentuh kontak luar, dan terbagi dalam setidaknya dua kelompok besar serta banyak klan.
Beberapa anggota Shompen telah mengalami penurunan populasi yang katastrofis akibat penyakit yang dibawa oleh para pendatang. Mereka pun disebut tidak menginginkan adanya kontak lebih lanjut dengan pendatang. Seorang perempuan Shompen, yang memiliki kerabat yang belum tersentuh kontak, berkata pada tahun 2019:
“Jangan datang ke hutan kami dan menebangnya. Di sinilah kami mencari makanan untuk anak-anak kami dan diri kami sendiri. Kami tidak ingin orang luar berada di hutan kami.”
Namun pemerintah India memiliki rencana lain. Pemerintah berambisi mengubah pulau tersebut melalui program infrastruktur berskala besar, menjadikan Pulau Great Nicobar sebagai “Hong Kong-nya India.”
Jika Proyek Great Nicobar dilanjutkan, maka sebagian besar wilayah hutan hujan yang menjadi rumah masyarakat Shompen akan dihancurkan dan digantikan dengan pelabuhan raksasa, kota baru, bandara internasional, pembangkit listrik, pangkalan militer, kawasan industri, serta lonjakan besar jumlah penduduk.
Menurut Survival International, masyarakat Shompen menghadapi ancaman pemusnahan budaya jika proyek ini dijalankan. Hutan hujan mereka akan musnah, tanah mereka akan diduduki para pendatang, sistem sungai sakral mereka akan rusak, dan jenis-jenis pandan yang menjadi salah satu sumber makanan terpenting mereka akan hilang.
Kemampuan Shompen untuk bertahan hidup, beserta seluruh cara hidup mereka, berada di ambang kehancuran.

Sementara itu, Pemerintah India telah memandang Proyek Great Nicobar sebagai prioritas tinggi karena “signifikansi strategis dan keamanan nasional.” Meski masyarakat Shompen telah hidup selaras di pulau mereka selama sekitar 10.000 tahun, proyek tersebut kini berpotensi memusnahkan mereka sepenuhnya.
Pada Februari 2024, sebanyak 39 pakar genosida terkemuka dari berbagai negara mengirimkan surat kepada pemerintah India, menyampaikan pandangan bahwa pelaksanaan Proyek Great Nicobar akan setara dengan tindakan genosida terhadap masyarakat Shompen.
Dalam sebuah dokumen tertulis, pakar genosida Mark Levene menyatakan bahwa “tidak ada alasan pembenaran atas ketidaktahuan ketika para pelaku mengetahui apa konsekuensinya.”
Dia menegaskan bahwa meskipun sebuah perusahaan tidak bermaksud membunuh masyarakat terpencil, namun jika perusahaan tersebut tetap beroperasi di atas tanah mereka, maka “hasil perusahaan itu tidak akan berbeda jauh dari hal yang bersifat genosida, dan menjadi suatu bentuk tanggung jawab yang dilakukan secara langsung dan sadar.”

Pesan untuk Dunia Modern
Davi Kopenawa Yanomami, seorang pemimpin adat dari Brasil Utara, memahami secara tragis harga yang harus dibayar akibat kontak; hampir seperempat masyarakat Yanomami meninggal akibat invasi ilegal ke tanah mereka oleh para penambang liar pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an. Dalam kata pengantar laporan Survival International, ia menulis:
Ada banyak masyarakat adat terpencil. Saya tidak mengenal mereka, tetapi mereka memiliki darah yang sama dengan kami, kerabat saya yang hidup di dalam hutan dan yang belum pernah melihat dunia orang non-adat. Kita semua menghirup udara yang sama.
Mereka menderita seperti halnya kami. Napë [orang non-adat] selalu menginginkan lebih dan menghancurkan alam untuk mencari sumber daya alam.…
Masyarakat adat terpencil berada di rumah mereka karena mereka memilih tempat itu! Mereka tidak kelaparan! Mereka memiliki makanan untuk dimakan, hewan buruan untuk diburu, serta buah-buahan seperti açaí dan bacaba untuk dikumpulkan dan dijadikan jus. …
Saya ingin membantu kerabat saya yang belum tersentuh kontak. Saya tidak ingin mereka bersedih atau menderita. Kami, masyarakat hutan, sebelumnya tidak pernah menderita, tetapi sekarang kami menderita karena orang-orang kota menghancurkan keindahan hutan kami dan semakin mendekat, membangun jalan, membuka akses bagi orang luar untuk memasuki dan menduduki tanah kami.
Tulisan asli diterbitkan pertama kali diterbitkan di sini. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita
Referensi:
Survival International: Uncontacted Indigenous Peoples: at the Edge of Survival, (Oct. 27, 2025).
*****