- Pemantauan satwa liar dengan menggunakan metode Passive Acoustic Monitoring (PAM) untuk penelitian satwa liar, termasuk burung migran, banyak membantu para peneliti Indonesia.
- Untuk pemantauan burung migran, metode ini berupa perangkat perekam akustik yang dipasang di lokasi-lokasi strategis yang menjadi persinggahan burung migran, khususnya burung pantai di Jalur Migrasi Asia Timur (East Asian Flyway).
- Data yang terkumpul dari waktu ke waktu, akan membentuk gambaran lebih jelas tentang waktu kedatangan burung migran, durasi tinggal, dan tekanan terhadap habitat.
- Tak hanya memiliki potensi besar dalam konservasi, metode Passive Acoustic Monitoring juga bisa efisien untuk memitigasi konflik manusia dengan satwa liar.
Bagi para peneliti burung migran, kehadiran ribuan spesies burung yang melintasi sejumlah benua setiap tahunnya selalu menjadi tantangan tersendiri untuk dipantau. Metode observasi langsung sering terbatas oleh waktu, tenaga, dan faktor alam seperti aktivitas burung yang banyak terjadi, misalkan di malam hari.
Namun, sebuah pendekatan inovatif kini semakin menunjukkan manfaatnya, yakni Pemantauan Akustik Pasif (Passive Acoustic Monitoring/PAM) atau yang dikenal dengan pendekatan bioakustik untuk memantau satwa liar, termasuk burung migran.
Dalam sebuah proyek kolaborasi internasional bernama Locally-led East Asian Flyway Acoustics (LEAFA) yang diinisiasi Cornell Lab of Ornithology, Cornell University, para peneliti lintas negara; Kamboja, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Indonesia, menerapkan metode ini.
Asman Adi Purwanto, Direktur Eksekutif BISA Indonesia, yang juga Lead Coordinator Project LEAFA untuk lima negara tersebut, melakukan riset burung migran menggunakan bioakustik.
Menurut Asman, bioakustik merupakan pendekatan baru untuk penelitian satwa liar, bukan hanya burung migran. Metode ini berupa perangkat perekam akustik yang dipasang di lokasi-lokasi strategis, tempat persinggahan burung migran. Khususnya, burung pantai di Jalur Migrasi Asia Timur (East Asian Flyway).
“Alat ini dapat merekam suara otomatis 24 jam serta dapat diatur, misalkan mulai dua minggu hingga satu bulan. Tujuannya, mendeteksi awal kehadiran burung-burung migran, jenis apa saja yang ada, durasi keberadaan, vokalisasi hingga perilakunya,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, awal Desember 2025.
Keunggulan utama metode ini adalah kemampuannya mengumpulkan data spasio-temporal (ruang dan waktu) secara berkelanjutan, tanpa kehadiran fisik pengamat setiap hari. Hal ini memungkinkan pemantauan lebih komprehensif dan efisien. Setelah periode pemasangan, data suara “dipanen” dan dianalisis untuk mengidentifikasi spesies berdasarkan panggilan khasnya.
“Selama pemantauan kami di Muara Sungai Progo, Yogyakarta, teridentifikasi sejumlah spesies burung migran berdasarkan rekaman suara. Sebut saja cerek kernyut, trinil semak, cerek tibet, trinil kaki hijau, hingga trinil pantai. Namun, analisisnya masih proses,” ujarnya.

Bentang suara
Selain Yogyakarta, perangkat serupa dipasang para peneliti yang terlibat LEAFA di Aceh, Gorontalo, dan Banyuwangi. Di Jatimulyo, Yogyakarta, metode ini juga dicoba untuk mempelajari perilaku keluarga burung, seperti interaksi panggilan antara induk dan anakan selama mencari makan.
Data yang terkumpul dari waktu ke waktu akan membentuk gambaran lebih jelas tentang waktu kedatangan (misalkan Agustus-September), durasi tinggal, bahkan kecenderungan overstay (tinggal melebihi musim migrasi) beberapa individu.
“Analisis dari bioakustik juga akan mengetahui soundscape (bentang suara) atau kumpulan suara-suara di sekitarnya. Di Sungai Progo, aktivitas antropogenik berpengaruh pada tingkat kehadiran burungnya, misalkan pembangunan jembatan dan kehadiran pemancing. Dari hasil rekaman suara yang kami dapati, lebih banyak kegiatan burung migran di malam hari ketimbang siang,” ujar Asman.
Dari soundscape yang ada, bioakustik tidak hanya merekam suara satwa liar, tapi juga menangkap latar suara kebisingan kegiatan manusia. Mulai suara kendaraan, tembakan senapan, atau chainsaw yang menjadi tantangan tersendiri dalam analisis data.
Menurut Asman, bioakustik menjadi cara yang bagus untuk pengembangan metodologi penelitian satwa liar, terutama menjawab tantangan untuk mendapatkan data. Bahkan, penelitian bioakustik untuk satwa bermigrasi tergolong baru di Indonesia.
“Data akan memberikan petunjuk lebih lengkap tentang biodiversitas hingga tekanan terhadap habitat.”

Suara burung terancam punah
Bioakustik tidak hanya digunakan untuk memantau burung migran, tetapi juga jenis terancam punah.
Panji Gusti Akbar, Staf Yayasan Cikananga Konservasi Terpadu (YCKT), Sukabumi, Jawa Barat, mengatakan bioakustik digunakan untuk memantau keberadaan burung ekek-geling jawa (Cissa thalassina) di Suaka Margasatwa Gunung Sawal, Ciamis, Jawa Barat. Tujuannya, sebagai upaya konservasi in situ satwa berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) ini.
“Cikananga memiliki program pemulihan spesies ekek-geling jawa,” jelasnya, pada Simposium for Indonesia – Malaysia Bioacoustics (SIMBA 2025), di Universiti Malaysia Terengganu (UMT), Malaysia, pada 23-25 Mei 2025 lalu.
Pertanyaannya adalah bagaimana pengelolaan populasi Javan Green Magpie tersebut? Tidak mungkin dilepaskan, tanpa dipastikan lokasi yang aman dan possible untuk kehidupannya. Berdasarkan hasil survei dan penelitian, Gunung Sawal merupakan lokasi yang memenuhi kriteria tersebut.
“Tim memasang alat bioakustik di 72 titik di kawasan seluas 5.600 hektar tersebut. Tim juga mengumpulkan lebih dari 1.000 rekaman yang terdiri 12 jam rekaman diurnal (05.00-17.00 WIB) dan 4 jam rekaman nokturnal (18.00-19.00, 23.00-01.00 dan 04.00-05.00 WIB) setiap hari.”
Suara ekek-geling jawa terekam sangat jelas, persis kicau aslinya. Menurut Panji, ketika suara rekaman ini didengarkan kepada ahli burung, memang diakui ekek geling. Meskipun, ada beberapa frasa suara yang belum pernah didengar sebelumnya, jika dibandingkan dengan individu di kandang Cikananga.
“Analisis diurnal menghasilkan dua deteksi ekek-geling jawa yang menjadi satu dari tiga catatan terkonfirmasi sejak 2010. Ini mengindikasikan, Gunung Sawal merupakan rumah besar spesies tersebut.”
Suara rekaman juga diputar dekat kandang ekek geling jawa. Suara itu mendapat respons individu ekek geling. Sementara, ketika suara rekaman yang mirip diputar yaitu ekek layongan (Cissa chinensis), tidak ada sahutan kiacauan.
“Ekek geling di captivity itu sangat vokal. Meski pemalu dan takut sama manusia, tapi begitu vokal. Sekiranya kita tidak lihat langsung, at least kicaunya terdengar.”
Berdasarkan data, ekek geling berkicau pada jam 6 pagi WIB dan jam 12 siang WIB, di dua titik berbeda di Gunung Sawal.
“Pastinya, pemasangan alat bioakustik itu berpindah sejak Februari hingga Agustus 2023,” jelasnya.

Teknologi untuk konservasi burung
Pramana Yudha, Guru Besar Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menyatakan, penggunaan teknologi sangat penting dalam pengamatan burung liar, terutama dalam hal penandaan. Dari tanda yang diberikan, kita dapat mengetahui pergerakan burung tersebut, baik lokal maupun migrasi, sehingga paham perilakunya.
“Misal, ada jenis burung yang berpasangan dengan individu tertentu, namun musim berikutnya pasangannya berbeda. Ini dapat kita teliti perilakunya,” jelasnya, pada SIMBA 2025.
Ada juga penggunaan frekuensi radio atau satelit. Teknologi ini membantu kita melacak keberadaan burung. Pola ini digunakan untuk memantau keberadaan bangau bluwok di Pulau Rambut, yang kakinya dipasang satelit tracker.
“Alat ini memberikan sinyal ke satelit dan meberikan data penting. Terutama pergerakan dan tempat hidupnya, misal pantai atau mangrove. Dengan begitu kita paham, habitat bluwok harus kita jaga dari kerusakan.”
Begitu juga penggunaan bioakustik yang sangat membantu kegiatan konservasi. Bila disederhanakan, bioakustik merupakan suara yang berasal dari organisme hidup, meski sekarang masih terbatas pada suara satwa.
“Seluruh penggunaan teknologi tersebut, keuntungannya kita tujukan untuk pengelolaan habitat. Artinya, kegiatan konservasi harus menggunakan data. Teknologi itu membantu kita untuk mendapatkan informasi, sekaligus analisisnya.”
Apakah kemajuan teknologi membuat pengamatan burung di lapangan berkurang?
Menurut Pramana, manusia sendiri yang harus tahu tujuan penggunaan teknologi. Tergantung pada formulasi basic research atau persuasion-based research. Kebutuhan ini yang akan menentukan desain sampling, metodologi, dan teknologi yang dipakai.
“Untuk Indonesia, saya percaya kita butuh sumber daya manusia yang mengendalikan teknologi.”

Penelitian berjudul, “Peluang Pemanfaatan Teknologi Bioakustik dalam Konservasi Satwa Liar di Indonesia” menjelaskan bahwa bahwa bioakustik merupakan alat yang sangat efisien untuk pemantauan jangka panjang, di area luas dan sulit dijangkau. Teknologi ini tidak hanya mampu mendeteksi kehadiran, tetapi juga mempelajari pola aktivitas harian, musim kawin, dan distribusi spasial satwa.
Selain itu, bioakustik juga dimanfaatkan untuk memantau spesies kunci dan terancam punah di hutan-hutan Indonesia, serta mendeteksi aktivitas ilegal seperti perburuan dan penebangan liar melalui analisis pola suara yang mencurigakan. Tak hanya memiliki potensi besar dalam konservasi, metode ini juga bisa efisien untuk memitigasi konflik manusia dengan satwa liar. Apalagi, di Indonesia masih memiliki sumber daya manusia terbatas, sementara area yang harus diawasi sangat banyak, terpencar, dan luas.
Dengan kemampuannya “mendengarkan alam” tanpa mengganggu, bioakustik membuka era baru dalam penelitian, pemantauan, dan konservasi keanekaragaman hayati Indonesia. Data yang dihasilkan tidak hanya berharga bagi ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi fondasi penting untuk kebijakan perlindungan habitat yang berbasis bukti, baik bagi satwa yang bermigrasi maupun satwa liar penghuni tetap hutan dan ekosistem Indonesia.

Perkembangan teknologi suara
Benjamin Gottesman, peneliti bioakustik dari K. Lisa Yang Center for Conservation Bioacoustics, Cornell University, menyatakan dalam perkebangannya, BirdNet dapat digunakan untuk mengidentifikasi rekaman suara burung. Teknologi ini dikembangkan seorang ilmuwan komputer bernama Stefan Kahl di Chemnitz University of Technology, Jerman, pada 2019.
Teknologi ini dapat mengidentifikasi hingga 6.000 suara spesies dengan tingkat akurasi berbeda. Hal pentingnya adalah BirdNet bukan sekadar model.
“Ini merupakan metode otomatis untuk menganalisis kumpulan data bioakustik yang dapat diakses orang di seluruh dunia,” jelasnya, belum lama ini.
BirdNet tidak hanya mengenali suara burung tetapi juga suara orangutan, siamang, mamalia laut, hingga senapan atau gergaji mesin. Pertanyaannya adalah bagaimana komputer bisa mengenali suara dari alam?
BirdNet “dilatih” untuk mengenal berbagai suara contoh dari alam lalu mengidentifikasi jenis suara tersebut. Polanya, sama seperti manusia yang terus belajar untuk mengenali sesuatu.
“Berbagai suara alam dapat dideteksi.”
Apakah perbedaan bioakustik dan BirdNet?
Bioakustik mengacu pada studi lebih luas tentang suara satwa. Ada berbagai cara untuk menganalisis asal suara dan lanskap tersebut.
BirdNet merupakan algoritma. Ini salah satu cara untuk menganalisis rekaman akustik untuk mendeteksi suara yang menarik.
“Semua, bergantung pada berapa lama survei dilakukan. Semua indikator yang digunakan juga berbeda, sehingga hasilnya berbeda juga,” jelas Benjamin.
Referensi:
Rinaldi, D., & Mulyani, Y. A. (2024). Peluang Pemanfaatan Teknologi Bioakustik Dalam Konservasi Satwa Liar di Indonesia.
*****