- Sebuah studi baru menunjukkan bahwa Bentang Laut Kepala Burung di Papua Barat dan Barat Daya adalah habitat pembesaran penting hiu paus (Rhincodon typus), di mana sebagian besarnya didominasi oleh hiu paus jantan muda.
- Para peneliti mendokumentasikan 268 individu selama 13 tahun, dengan lebih dari separuhnya menunjukkan cedera yang terkait dengan aktivitas manusia, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang aktivitas perikanan, pariwisata, dan tekanan pertambangan yang muncul.
- Para ilmuwan mengusulkan upaya perlindungan habitat dengan aturan yang lebih ketat dan pengelolaan yang lebih baik sangat penting untuk kelangsungan hidup dan pemulihan spesies yang terancam punah ini.
Sebuah studi baru melaporkan bahwa Bentang Laut Kepala Burung di Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya, Indonesia, adalah habitat penting bagi tumbuh berkembangnya hiu paus jantan muda. Namun, perikanan jaring angkat (bagang), aktivitas kapal wisata, dan aktivitas pertambangan di wilayah ini menjadi faktor ancaman serius yang mendesak pentingnya perlindungan dan pengelolaan kawasan yang lebih kuat.
Mengacu pada penelitian yang dipublikasikan pada 28 Agustus 2025 di jurnal Frontiers in Marine Science, populasi hiu paus (Rhincodon typus) di empat wilayah habitat kunci Bentang Laut Kepala Burung (Teluk Cendrawasih, Kaimana, Raja Ampat, dan Fakfak) didominasi oleh kawanan hiu paus jantan muda yang menggunakan area ini sebagai tempat berkembang, mencari makan, dan mengurangi risiko predasi selama masa pertumbuhan.
Kelompok peneliti internasional ini juga menemukan bahwa lebih dari separuh hiu paus dalam penelitian ini mengalami cedera akibat faktor manusia yang sebenarnya dapat dicegah.
“Bekas luka dan cedera yang kita lihat pada hiu paus seperti catatan buku harian perjumpaan mereka dengan manusia,” ujar Edy Setyawan, ilmuwan konservasi utama di Elasmobranch Institute Indonesia yang merupakan penulis utama makalah tersebut, kepada Mongabay melalui email.

Dari 2010-23, para peneliti melacak 268 hiu paus di seluruh Bentang Laut Kepala Burung — sebuah wilayah yang menjadi tuan rumah bagi 26 kawasan perlindungan laut dan hotspot untuk megafauna laut dan keanekaragaman hayati laut tropis.
Hampir semua penampakan terjadi di Teluk Cenderawasih dan Kaimana, tempat hiu-hiu itu sering mencari makan di sekitar anjungan penangkapan ikan jaring angkat yang disebut bagang.
Sebagian besar adalah hiu jantan muda dengan panjang sekitar 4-5 meter, dan lebih dari setengahnya terlihat lebih dari sekali dalam waktu tahunan. Observasi foto menunjukkan sebagian hiu mengalami luka ringan dari perahu dan jaring, meski cedera serius lebih jarang terjadi.
Hiu paus adalah ikan terbesar di dunia, dan terancam punah. Jumlah populasinya telah menurun tajam lebih dari separuhnya di dunia dan hampir dua pertiganya tinggal di Indo-Pasifik. Mereka membutuhkan waktu sekitar 30 tahun untuk mencapai usia dewasa, sehingga ketika populasinya menurun, akan sulit kembali pulih. Apalagi dengan ancaman yang meningkat seperti perburuan, hilangnya habitat, dan terjerat jaring ikan.

Setyawan mengatakan bahwa setiap cedera memiliki konsekuensi: cedera dapat memperlambat pertumbuhan mereka, mempersulit proses makan hiu, atau mengalihkan energi dari pertumbuhan dan kedewasaan menuju penyembuhan.
“Dengan menjaga anak-anak hiu ini tetap aman selama pertumbuhan, maka kita memberi mereka kesempatan untuk berkembang mencapai usia dewasa, bereproduksi dengan hiu betina, dan pada akhirnya mendukung pemulihan populasi hiu paus di seluruh wilayah Indo-Pasifik,” ujarnya.
Meskipun tidak diperhitungkan dalam studi awal, kepulauan Raja Ampat menghadapi ancaman penambangan nikel yang semakin meningkat di beberapa pulau, termasuk Pulau Gag. Banyak para ahli khawatir ini akan memperparah sedimentasi, polusi, dan berpotensi merusak habitat ekologi laut di sekitarnya.
Nikel dari Pulau Gag sendiri dikirim ke kawasan industri peleburan nikel di Teluk Weda di Halmahera yang berjarak sekitar 250 kilometer.
Setyawan mengatakan bahwa membiarkan penambangan nikel di sekitar Pulau Gag di Raja Ampat dapat mengancam keberadaan hiu paus, mencemari perairan, mengganggu pasokan makanan mereka, serta menambahkan logam berat ke dalam rantai makanan.
Ia pun menambahkan bahwa meningkatnya lalu lintas kapal dari lokasi penambangan meningkatkan risiko tabrakan dan gangguan bagi hiu.
“Bagi hiu paus, kombinasi ini berarti makin berkurangnya makanan, turunnya kualitas air jadi lebih buruk, dan memunculkan bahaya yang lebih besar,” ungkapnya.

Penulis studi menyebut temuan mereka tentang demografi hiu paus di Bentang Laut Kepala Burung bisa menjadi pijakan bagi studi analisis lanjutan (seperti penelitian lebih lanjut perihal lokasi yang disukai betina dan individu yang lebih matang secara seksual); serta pengembangan strategi pengelolaan konservasi dan pembangunan ekonomi yang lebih baik.
Setyawan menyarankan perlindungan yang lebih ketat sepanjang tahun, termasuk pengaturan batas kecepatan kapal, aturan pelindung baling-baling kapal, batas jumlah pariwisata, dan aturan bagang yang lebih aman untuk mengurangi cedera bagi hiu paus di Teluk Cenderawasih dan Kaimana, dua lokasi yang paling sering dijumpai penampakan hiu paus.
Ia pun menambahkan penutupan pariwisata musiman di Teluk Cenderawasih dan perlindungan yang lebih ketat untuk rute migrasi dan tempat mencari makan hiu paus di luar Kaimana.
“Langkah-langkah sederhana ini dapat menjadi pembeda besar dalam mengurangi dampak negatif pada hiu paus,” kata Setyawan .
Tulisan ini pertamakali diterbitkan di sini. Artikel ini diterbitkan oleh Ridzki R Sigit
Referensi:
Setyawan, E., Hasan, A. W., Malaiholo, Y., Sianipar, A. B., Mambrasar, R., Meekan, M., Gillanders, B. M., D’Antonio, B., Putra, M. I. H., & Erdmann, M. V. (2025). Insights into the population demographics and residency patterns of photo-identified whale sharks Rhincodon typus in the Bird’s Head Seascape, Indonesia. Frontiers in Marine Science, 12. doi:10.3389/fmars.2025.1607027
*****