- Enam puluh lima tahun sudah UU Pokok Agraria (UUPA) 5/1960 berlaku di Indonesia. Regulasi yang lahir pada era Presiden Sukarno ini semula bertujuan menghapus ketimpangan penguasaan tanah warisan kolonial dan menjamin keadilan bagi petani. Nyatakan, hingga kini ketimpangan kuasa tanah makin jomplang, masyarakat termasuk petani banyak kehilangan ruang hidup mereka.
- Data KPA mencatat, 17,25 juta keluarga petani hanya menguasai tanah di bawah 0,5 hektar. Adapun pendapatan harian petani gurem hanya sekitar Rp50.000.
- Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, reforma agraria sebagaimana amanat UUPA belum berjalan maksimal.Ketimpangan penguasaan tanah sejak era Presiden Joko Widodo hingga Presiden Prabowo Subianto makin parah.
- Agus Ruli Ardiansyah, Wakil Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI mendesak, pemerintah membentuk Dewan Nasional untuk Pelaksanaan Reforma Agraria dan Dewan Kesejahteraan Petani. Pemerintah, harus berkomitmen menjadikan reforma agraria sebagai program prioritas.
Enam puluh lima tahun sudah UU Pokok Agraria (UUPA) 5/1960 berlaku di Indonesia. Regulasi yang lahir pada era Presiden Sukarno ini semula bertujuan menghapus ketimpangan penguasaan tanah warisan kolonial dan menjamin keadilan bagi petani. Nyatakan, hingga kini ketimpangan kuasa tanah makin jomplang, masyarakat termasuk petani banyak kehilangan ruang hidup mereka.
Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, reforma agraria sebagaimana amanat UUPA belum berjalan maksimal.
Ketimpangan penguasaan tanah sejak era Presiden Joko Widodo hingga Presiden Prabowo Subianto makin parah.
Dewi mengutip indeks ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia yang menyebut bahwa 1% kelompok elit menguasai 58% tanah, kekayaan alam, dan sumber produksi. Sedang 99% penduduk berebut sisanya.
“Semakin banyak rakyat kecil, petani gurem yang kehilangan tanahnya. Petani penggarap semakin tidak punya kejelasan nasib,” katanya dalam konferensi pers jelang Hari Tani di Jakarta, Minggu (21/9/25).

Ketimpangan penguasaan tanah juga Nusron Wahid, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) amini.
Dia bilang, sekitar 46% lahan non-hutan dalam kuasa segelintir perusahaan milik hanya 60 keluarga.
Dari total 70 juta hektar tanah non-hutan, sekitar 30 juta hektar dalam bentuk hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) oleh sekitar 3.500 perusahaan. Mereka ini terafiliasi dengan 60 keluarga konglomerat di Indonesia.
“Ada satu keluarga, saya nggak mau sebut namanya, yang punya sampai 1,8 juta hektar. Sementara saya tahu ada warga yang mau cari dua hektar saja buat nanam sayur, itu susah,” katanya di Sukabumi, pada April lalu dikutip dari Detik.com.
Pemerintah merespons persoalan ketimpangan penguasaan tanah ini dengan sebatas program pembagian sertifikat tanah.
Menurut Dewi, sertifikasi tanah memang perlu untuk kepastian hukum kepemilikan tetapi reforma agraria lebih dari sekadar kerja-kerja administratif di bidang pertanahan.
”Reforma agraria adalah upaya sistematis negara untuk restrukturisasi penguasaan tanah, dari yang sebelumnya sangat timpang menjadi lebih merata dan berkeadilan,” ujarnya.
Dia bilang, harus tingkatkan redistribusi tanah. Sasarannya, memberikan tanah kepada buruh tani, petani penggarap, dan petani kecil dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar.
Data KPA mencatat, 17,25 juta keluarga petani hanya menguasai tanah di bawah 0,5 hektar. Adapun pendapatan harian petani gurem hanya sekitar Rp50.000.

Konflik agraria
Dewi mengatakan, ketimpangan penguasaan tanah menimbulkan konflik agraria di seluruh Indonesia. Konflik agraria, katanya, banyak terjadi di konsesi perkebunan.
Menurut dia, banyak kampung atau desa juga wilayah adat masuk klaim konsesi perkebunan, baik itu perusahaan swasta maupun BUMN.
“Puluhan tahun sudah menjadi kampung, tanah pertanian produktif, dan lumbung pangan nasional, tapi tidak kunjung dijamin dan dilindungi hak atas tanahnya.”
Konflik agraria, kata Dewi, juga terjadi melalui klaim kawasan hutan oleh negara. Dia menyebut, setidaknya 20.000 desa di Indonesia berada di dalam peta kawasan hutan.
Catatan KPA, selama 10 tahun terakhir (2015-2024), terjadi 3.234 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 7,4 juta hektar. Berdampak pada 1,8 juta keluarga kehilangan tanah, kehilangan mata pencaharian, dan masa depan.
Serikat Petani Indonesia (SPI) mencatat, konflik agraria terjadi di berbagai daerah dengan beragam pihak, mulai dari Dinas Kehutanan, Perum Perhutani, perusahaan perkebunan, pengusaha perorangan, hingga institusi militer.
Seperti terjadi di Banten. Abay Haetami, Ketua Pergerakan Petani Banten (P2B) mengatakan, konflik antara petani dengan aparat militer terus terjadi. Dia bilang, TNI ambil lahan petani dengan alasan program ketahanan pangan.
“Sekitar 1.200 tanah masyarakat diambil alih. (Mereka) menghancurkan pohon kelapa, dan pohon-pohon lain, diratakan! Diganti dengan jagung. Sedangkan petani sudah puluhan tahun semua jenis tanaman ditanam,” katanya.
Konflik agraria juga terjadi di ujung timur Indonesia, yakni Kabupaten Merauke. Pemerintah tengah menggarap proyek strategis nasional (PSN) perkebunan tebu melalui PT Murni Nusantara Mandiri (PT MNM), bagian dari konsorsium.
Pada 15 September lalu, perusahaan menurunkan alat berat untuk membuka hutan masyarakat adat Yei di Distrik Jagebob, Merauke, Provinsi Papua Selatan.
“Pemilik ulayat selama ini teguh mempertahankan tanah adat dan sudah berkali-kali menyatakan tidak akan melepaskan tanah. Namun orang-orang perusahaan terus datang. Itu sudah masuk kategori intimidasi. Itu diperparah dengan penyerobotan tanah adat belakangan ini,” kata Teddy Wakum, pendamping hukum Marga Kwipalo dari Lembaga Bantuan Hukum Papua Merauke.

Dia bilang, perusahaan perkebunan ini secara keseluruhan membongkar 4.912 hektar per Agustus 2025.
Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka menegaskan, PSN Merauke tanpa konsultasi dan keterlibatan bermakna masyarakat adat terdampak.
Masyarakat adat, katanya, tidak memperoleh informasi lengkap mengenai perizinan lingkungan hidup, pengalihan dan pemanfaatan hak atas tanah adat, hingga perizinan usaha perkebunan dan hak guna usaha, sebagaimana dalam peraturan perundang-undangan.
Dia bilang, operator perusahaan pengembang Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) Merauke maupun operator perusahaan perkebunan tebu dan bioetanol, dengan kawalan aparat militer bersenjata menggusur dan menghancurkan hutan adat, rawa, savana, tempat-tempat keramat.
“Tanpa memperdulikan hak dan suara keluhan rakyat, maupun keberlanjutan biodiversity yang bernilai konservasi tinggi,” kata Angky, sapaan akrabnya, kepada Mongabay , Senin (22/9/25).
Pusaka mencatat, sejak 2024-Agustus 2025, PSN Merauke merusak kawasan hutan lebih 19.000 hektar. Angka deforestasi ini berkontribusi mempertebal emisi gas rumah kaca, sekaligus wujud pengabaian komitmen negara untuk mengatasi perubahan iklim.
Dia bilang, pencaplokan tanah dan hutan adat melalui pemberian izin, pemberian kompensasi dan janji kesejahteraan pembangunan seolah-olah menjadi normal dan legal.
Dewi pun tekankan, memperparah konflik agraria. Proyek dengan segala kemudahan itu mendapat legitimasi lewat UU Cipta Kerja.
Dia bilang, banyak proyek pembangunan pengembangan pangan skala besar (food estate), infrastruktur, hingga pariwisata kelas kakap dapat beking aparat polisi dan militer.
Dewi menyebut, benturan antara aparat dengan petani, nelayan, hingga masyarakat adat dalam mempertahankan hak tanah, tidak terhindarkan. Dia bilang, ribuan orang dikriminalisasi, mengalami luka, hingga mendapat teror.

Harus evaluasi, agendakan UU Reforma Agraria
Sejak era Joko Widodo pemerintah membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 86/2018 tentang Reforma Agraria, GTRA sebagai wadah koordinasi lintas sektor untuk mendukung percepatan pelaksanaan reforma agraria.
Harapannya, GTRA dapat mengintegrasikan dan memadukan seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah agraria.
Dewi menilai, gugus tugas ini telah gagal menjalankan tugas reforma agraria. Sedekade GTRA bekerja, ketimpangan penguasaan tanah malah makin parah.
“Gugus tugas ini hanya menghabiskan uang rakyat dari rapat ke rapat, rakyat tetap tak punya kanal penyelesaian konflik agraria. Kementerian Agraria, Kehutanan, BUMN, Pertanian, Kementerian Desa PDTT dan Kementerian Koperasi, TNI-Polri masih abai pada masalah kronis agraria,” katanya.
Pada momen Hari Tani 2025 ini, Dewi mendesak DPR memanggil para menteri yang bertanggung jawab terhadap agenda reforma agraria, agenda penyelesaian konflik agraria, dan redistribusi tanah kepada rakyat.
Dia juga , DPR segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Reforma Agraria. Menurut Dewi, RUU Reforma Agraria akan memperkuat UUPA untuk menjalankan land reform.
“Sebagai jalan bagi tegaknya konstitusionalisme agraria, sudah saatnya UU Reforma Agraria hadir menjadi legacy baik DPR, DPD dan Presiden yang memimpin negara saat ini,” katanya.
Dewi bilang, bertepatan dengan Hari Tani 24 September 2025 ini, belasan ribu petani akan berdemonstrasi ke Jakarta.
Selain di Jakarta, para petani akan berdemonstrasi di berbagai daerah seperti Aceh Utara, Medan, Palembang, Jambi, Bandar Lampung, Semarang, Blitar, Jember, Makassar, Palu, Sikka, Kupang, dan Manado.
Agus Ruli Ardiansyah, Wakil Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI mendesak, pemerintah membentuk Dewan Nasional untuk Pelaksanaan Reforma Agraria dan Dewan Kesejahteraan Petani.
Pemerintah, katanya, harus berkomitmen menjadikan reforma agraria sebagai program prioritas.
“Kami berharap pemerintah menunjukkan target dan capaian nyata, sesuai dengan agenda pembangunan yang menekankan kesejahteraan rakyat desa dan pengentasan kemiskinan. Reforma agraria harus menjadi pintu masuk dengan menata ulang struktur penguasaan dan distribusi lahan agar lebih adil bagi rakyat, terutama petani,” katanya.


*****