- Pendataan populasi macan tutul (Panthera pardus melas) di hutan Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat, menunjukkan temuan baru. Sanggabuana Conservation Foundation (SCF) berhasil merekam kehadiran 19 individu macan tutul berbeda.
- Ada satu kamera jebak yang berhasil merekam tujuh individu macan tutul berbeda, melintas di lokasi yang sama. Rekaman itu membuka tabir dinamika sosial predator puncak ini, yang jarang terungkap sebelumnya.
- SCF juga menemukan fenomena terkait interaksi macan tutul dengan manusia. Konflik yang muncul di sekitar permukiman warga, bukan semata akibat kekurangan pakan. Induk macan justru sengaja membawa anaknya ke dekat kampung untuk melatih kemampuan berburu.
- Sanggabuana diusulkan menjadi kawasan konservasi, atau setidaknya areal preservasi, agar habitat macan tutul terlindungi.
Pendataan populasi macan tutul (Panthera pardus melas) di hutan Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat, menunjukkan temuan baru. Sanggabuana Conservation Foundation (SCF) butuh lima tahun untuk menelisik keunikan biodiversitas hutan ini.
Dari total 16.500 hektar kawasan kerja, fokus pengamatan diarahkan ke hutan Perhutani seluas 11.000 hektar, sebagai hidup macan tutul.
“Semula kami skeptis soal keanekaragaman hayati, karena statusnya bukan konservasi dan ancamannya beragam. Namun seiring waktu, kami menemukan alasan kenapa wilayah ini penting,” ujar Bernard T Wahyu Wiryanta, peneliti SCF, Kamis (18/9/2025).
Untuk memantau macan tutul, SCF bersama Sintas Indonesia memasang 40 kamera jebak di 20 grid berukuran 2 x 2 kilometer. Kegiatan dilakukan sejak April 2025 dengan skema dua periode 90 hari, sehingga pergerakan satwa terekam dari berbagai sudut habitat secara akurat, tanpa mengganggu aktivitas alaminya.
Tiga bulan pertama, tim merekam total 198 aktivitas macan tutul, mulai dari melintas, menandai wilayah (marking), hingga berburu. Dari rekaman tersebut, identifikasi dilakukan berdasarkan pola tutul unik pada setiap individu, yang berfungsi seperti sidik jari manusia. Tidak akan pernah sama sekalpun terlihat serupa.
“Kami simpulkan ada 19 individu macan tutul yang berbeda,” jelasnya.
Ada satu kamera jebak yang berhasil merekam tujuh individu macan tutul berbeda, melintas di lokasi yang sama. Rekaman itu membuka tabir dinamika sosial predator puncak ini, yang jarang terungkap sebelumnya.
Lokasi tersebut diduga jalur lintasan utama. Alasannya, lanjut Bernard, kawasan tersebut memiliki kelimpahan satwa mangsa. Kamera memperlihatkan, kucing-kucing besar itu datang bergantian, meninggalkan jejak berupa cakaran atau semprotan feromon.
Uniknya, jejak-jejak itu segera “dihilangkan” oleh individu lain sebagai tanda dominasi. Dari rekaman itu pula terlihat macan yang beristirahat, berburu babi hutan, bahkan ada yang tertangkap kamera dalam kondisi pincang, diduga akibat perkelahian.
Bernard menyebut, pakan yang melimpah membuat wilayah tersebut menjadi “medan pertempuran”. Melalui analisis pola tutul, diidentifikasi ketujuh individu itu terdiri 5 jantan dan 2 betina. Hal ini menunjukan, kepadatan populasi macan di Sanggabuana relatif tinggi meski ruang habitatnya terbatas.

Dukungan habitat
SCF juga menemukan fenomena terkait interaksi macan tutul dengan manusia. Konflik yang muncul di sekitar permukiman warga, bukan semata akibat kekurangan pakan. Induk macan justru sengaja membawa anaknya ke dekat kampung untuk melatih kemampuan berburu. Ternak warga menjadi target karena lebih mudah ditangkap ketimbang satwa liar.
“Ini bukan karena pakannya kurang, tapi mengajarkan anaknya berburu,” ujarnya.
Dari sisi ekologi, kondisi Sanggabuana juga unik. Topografi pegunungan yang curam dan terfragmentasi, membuat macan tutul memiliki daya jelajah (home range) lebih kecil dibandingkan populasi di dataran rendah seperti Baluran.
Dalam satu kasus, Bernard menemukan, satu jantan dan dua betina terjebak di area hanya sekitar 600 hektar karena dikelilingi Waduk Jatiluhur. Secara teori, luas itu tidak cukup menopang populasi sehat, namun kelimpahan satwa mangsa menjadikan mereka mampu bertahan.
Namun, kemampuan adaptasi tersebut tidak serta-merta menjamin kelangsungan hidup macan tutul. Ancaman terbesar justru datang dari manusia. Sekitar sepertiga wilayah Perhutani di Sanggabuana -habitat utama macan tutul- masuk peta KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus). Hal ini menegaskan bahwa meski macan mampu beradaptasi, ancaman dari manusia lebih krusial menentukan nasib mereka.
“Berdasarkan kajian ini, kami mengusulkan agar Sanggabuana menjadi kawasan konservasi, atau setidaknya areal preservasi, agar habitat macan tutul terlindungi,” ucapnya.
Berinard menambahkan, terdapat 339 mata air yang tersebar di wilayah survei habitat. Akan tetapi, sumber air bagi lumbung padi di Karawang hanya tersisa 30% ketika peralihan musim. Hal ini menunjukkan ancaman serius terkait degradasi hutan.

Ruang jelajah
Hendra Gunawan, Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati BRIN, menuturkan temuan tersebut merupakan indikator krusial untuk menguji teori daya dukung ekosistem. Populasi baru bisa dianggap lestari apabila satwa mampu hidup dan berkembang biak dengan aman tanpa menimbulkan konflik, termasuk pemangsaan terhadap ternak warga.
Daya dukung habitat harus diuji cermat, mulai ketersediaan mangsa, luas jelajah, hingga kualitas tutupan hutan. Berdasarkan literatur, ruang jelajah macan tutul umumnya 600–800 hektar, bahkan dapat mencapai 1.000 hektar di lokasi mangsa terbatas. Fakta ini menunjukkan, kebutuhan ruang bisa jauh lebih luas dari perkiraan.
“Ruang jelajah sempit ini benar-benar bisa menopang populasi, atau hanya bertahan sementara karena mangsanya berlimpah,” tuturnya, Jumat (19/9/2025).
Menurut Hendra, kepadatan macan tutul di Sanggabuana bukan fenomena baru. Kasus serupa terjadi di Gunung Muria yang semula dianggap tanpa populasi, namun terbukti menyimpan banyak individu yang secara alami menghuni kawasan tersebut.
Hasil hipotesis Hendra tahun 2012 menjelaskan, Sanggabuana sudah terfragmentasi dari lanskap Gunung Gede–Pangrango. Meski begitu, selama konektivitas genetik masih berlangsung, populasi mungkin masih aman dengan koridor tersisa.
Sebab, kesesuaian habitat macan tutul dipengaruhi sejumlah faktor dengan bobot berbeda. Luasan hutan menjadi penentu utama dengan porsi 35 persen, disusul kelimpahan satwa mangsa (25 persen), dan jenis vegetasi (15 persen).
Hitungan itu menegaskan, macan tutul sangat bergantung pada kualitas ekologis hutan yang utuh seperti tutupan pepohonan, ketersediaan air, serta keberagaman yang menopang rantai makanan.
Namun, hampir 50 persen kantung populasi macan tutul berada di luar kawasan konservasi. Kondisi ini memperlihatkan kerentanan yang tidak hanya berasal dari keterbatasan ruang jelajah, tetapi juga keragaman genetik yang makin terancam.
Sanggabuana contoh nyata. Kawasan ini menyimpan catatan penting tentang variasi genetik macan tutul, yang memberi petunjuk bagaimana satwa ini beradaptasi dan berevolusi.
Hendra menjelaskan, macan kumbang sejatinya bukan spesies berbeda, melainkan macan tutul dengan mutasi genetik yang disebut melanisme. Mutasi ini membuat bulu berwarna hitam pekat, sebuah bentuk adaptasi terhadap hutan tropis lebat dan gelap.
Fenomena melanisme lebih sering dijumpai di Jawa bagian barat dan tengah, dengan kondisi hutan yang memberi keuntungan kamuflase bagi satwa berwarna hitam. Rekaman kamera jebak yang memperlihatkan seekor induk bersama dua anak dengan warna bulu berbeda, menjadi bukti bahwa keberagaman genetik masih bertahan di Sanggabuana.
Sebagai satwa soliter, macan tutul Jawa melahirkan 1–3 anak tiap 2–3 tahun. Dengan jumlah anak yang relatif sedikit, kombinasi gen induk langsung memengaruhi warna keturunannya. Semisal, pola kawin pada dua individu macan kumbang melahirkan anak hitam seluruhnya, sedangkan macan kumbang dan tutul bisa menghasilkan campuran.

Status kawasan hutan
Mulyana Kurniawan, Wakil Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Perhutani, membenarkan keberadaan macan tutul di wilayah kerjanya. Pihaknya mendukungan usulan perubahan kawasan yang sejak 1978 ditetapkan sebagai hutan produksi.
“Otoritas kepemilikan di bawah Kementerian Kehutanan. Kami hanya operator, sehingga apapun keputusannya didukung, apalagi berkaitan konservasi,” terangnya, Jumat (19/9/2025).
Mulyana menambahkan, usulan menjadi kawasan konservasi sudah diajukan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulayadi sejak awal 2025. Prosesnya masih bergulir, karena Sanggabuana secara administratif berada di empat Kabupaten: Bogor, Purwakarta, Karawang, dan Cianjur. Untuk itu, penyelarasan fungsi parapihak diperlukan, agar manfaat Sanggabuana dapat dirasakan masyarakat sekaligus sebagai rumah besarnya flora fauna Jawa.
*****