- Anoa dan babirusa merupakan satwa endemik di Wallacea yang kini menghadapi tekanan akibat aktivitas manusia.
- Wallacea merupakan wilayah biogeorafi yang begitu unik dan penting bagi ilmu pengetahuan yang meliputi pulau-pulau Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, yang dihuni berbagai spesies endemik dan tidak ditemukan di Asia (Paparan Sunda) maupun Australia (Paparan Sahul).
- Anoa, yang sering disebut sebagai kerbau kerdil, menjadi satu-satunya keluarga Bovidae yang lincah bagai rusa, yang mampu hidup di lingkungan hutan dan pegunungan. Sementara babirusa, dikenal karena taring khasnya yang menembus moncong hingga menyerupai tanduk rusa.
- Populasi satwa di pulau kecil sering kali dianggap rapuh dan sulit bertahan hidup. Akibatnya, perlindungan keanekaragaman hayati di daratan pulau-pulau kecil kerap diabaikan.
Permata keanekaragaman hayati itu ada di Indonesia. Wallacea, wilayah biogeorafi yang begitu unik dan penting bagi ilmu pengetahuan. Wilayah yang meliputi pulau-pulau Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, yang dihuni berbagai spesies endemik dan tidak ditemukan di Asia (Paparan Sunda) maupun Australia (Paparan Sahul).
Sulawesi sebagai jantung Wallacea, bentuk geografisnya kompleks. Sejarah geologisnya yang terisolasi telah mendorong evolusi spesies-spesies endemik yang menarik untuk diamati.
“Kepulauan Wallacea di Indonesia menyediakan laboratorium alami untuk menyelidiki efek gabungan dari isolasi jangka panjang dan aktivitas manusia saat ini terhadap struktur dan kelangsungan hidup genetik populasi pulau. Karena sejarah geologisnya yang panjang dalam isolasi, Wallacea adalah hotspot global untuk endemisme,” tulis Sabhrina Gita Aninta, dalam laporan di jurnal PNAS, Juni 2025.

Sayangnya, populasi vertebrata besar di kawasan ini mengalami tingkat kepunahan yang tinggi. Mengutip laporan itu, dalam satu abad terakhir ancaman jangka panjang terhadap populasi Pulau Sulawesi semakin diperparah oleh aktivitas manusia seperti urbanisasi, introduksi spesies invasif, konservasi lahan untuk pertanian, pertambangan, dan perburuan.
Di antara kekayaan hayati di Sulawesi, terdapat dua mamalia besar yang menjadi ikon konservasi pulau ini, yaitu anoa (Bubalus sp.) dan babirusa (Babyrousa sp.). Keduanya merupakan satwa endemik yang kini menghadapi tekanan akibat aktivitas manusia.
Anoa, yang sering disebut sebagai kerbau kerdil, menjadi satu-satunya keluarga Bovidae yang lincah bagai rusa, yang mampu hidup di lingkungan hutan dan pegunungan. Sementara babirusa, dikenal karena taring khasnya yang menembus moncong hingga menyerupai tanduk rusa.
Bersama timnya yang berasal dari berbagai negara, peneliti Indonesia yang terlibat dalam penelitian pascadoktoral di Universitas Kopenhagen, Denmark, ini menganalisis genom anoa dan babirusa di Sulawesi. Mereka pun membandingkan satwa yang berada di pulau kecil dan daratan besar. Hasilnya, anoa dan babirusa di pulau kecil ternyata lebih tangguh secara genetik meski populasinya kecil.
Hasil penelitian itu menjungkirkan asumsi selama ini bahwa satwa besar di pulau kecil mudah punah karena jumlahnya sedikit, rawan perkawinan sedarah, dan ruang geraknya terbatas.
Menurut Sabhrina, ternyata satwa besar di daratan utama lebih banyak memanggul “beban genetik” yang lebih berat dibanding yang berada di pulau kecil. Secara genetik, populasi ini lebih banyak membawa gen yang berpotensi merusak ketahanan hidup mereka di masa depan.
“Upaya konservasi di Indonesia sepatutnya memberi perhatian lebih pada pengelolaan habitat alami di pulau-pulau kecil,” tulisnya, kali ini di Conversation.
Sebab, pulau-pulau kecil ini pun bisa menjadi tempat berlindung bagi satwa langka, dengan biaya operasional yang jauh lebih murah, sekaligus efisien. Ketimbang misalnya, membuat penangkaran buatan.

Tahan banting
Dalam penelitiannya, Sabhrina dan tim menggunakan bahan genetik dari 67 individu anoa dan 46 babirusa. Untuk anoa, 29 individu dari Sulawesi Utara, 15 individu dari Sulawesi Tenggara, serta 23 individu dari Buton. Sementara untuk babirusa, 24 individu dari Sulawesi Utara, 14 individu dari Sulawesi Tenggara, dan 8 individu dari Togean. Togean adalah pulau lepas pantai yang berada di timur laut Sulawesi, sementara Buton berada di tenggara.
Dalam analisanya, mereka menemukan bahwa populasi di pulau kecil memiliki keragaman genetik yang lebih rendah dibanding populasi di pulau besar. Di pulau kecil Togean dan Buton keragaman genetiknya 2 hingga 6 kali lebih rendah dibanding daratan utama Sulawesi.
Selanjutnya, peneliti memeriksa apakah terjadi kemacetan populasi dengan mengamati rentang homozigositas. Hasilnya, babirusa di Sulawesi Utara serta anoa di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara menunjukkan populasi besar dan stabil setidaknya selama 200 generasi. Perkawinan sedarah juga rendah. Di pulau kecil memang lebih banyak terjadi perkawinan sedarah, dibanding pulau besar. Populasi mereka juga lebih kecil. Namun, rupanya populasi ini tetap stabil untuk jangka waktu yang lama.
Mereka juga menemukan babirusa di Sulawesi Tenggara mengalami kemacetan populasi sekitar 100 hingga 150 generasi lalu. Angka ini konsisten dengan tingkat deforestasi dan perburuan yang meningkat. Sebaliknya di pulau kecil, proporsi habitat lebih sesuai dengan kawasan lindung yang lebih luas secara persentase.
Peneliti juga menemukan bahwa lebih banyak alel yang merusak di pulau besar dibanding pulau kecil. Alel adalah varian spesifik gen yang diturunkan dari induk betina dan jantan. Meskipun ukuran populasinya kecil, dan lebih mungkin terjadi perkawinan sedarah, ternyata proses seleksi alam di pulau kecil berhasil menyaring keluar varian gen yang bisa menurunkan kesehatan, kesuburan, atau daya tahan individu.
“Analisis kami menunjukkan bahwa populasi anoa dan babirusa di pulau kecil tetap cukup stabil untuk memurnikan alel merusak secara efisien,” tulis laporan itu.

Hal berbeda didapati di pulau utama. Seleksi pemurnian lebih lemah, lebih banyak alel yang merusak, masih ditambah habitat berkualitas rendah dengan tingkat gangguan antropogenik yang lebih tinggi.
“Ekosistem pulau kecil dapat menawarkan solusi jangka panjang untuk melestarikan spesies-spesies ini,” tulis laporan itu lagi.
Namun, jika harus melakukan translokasi maka perlu dilakukan dengan hati-hati. Lebih baik fokus pada pemeliharaan habitat hutan. Translokasi hanya bisa dilakukan jika populasi di pulau kecil turun secara dramatis, serta adanya alel merusak yang menentap dan mulai memengaruhi kebugaran.
Hasil penelitian Sabhrina menggarisbawahi pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati di pulau-pulau kecil sebagai aset ekologi yang tak ternilai. Memasukkan pulau kecil dalam kebijakan konservasi nasional, dan bukan malah menjualnya demi kepentingan jangka pendek.
“Populasi satwa di pulau kecil sering kali dianggap rapuh dan sulit bertahan hidup. Akibatnya, perlindungan keanekaragaman hayati di daratan pulau-pulau kecil kerap diabaikan pemerintah,” tulis Sabhrina di Conversation.

Abdul Haris Mustari dalam buku “Ekologi, Prilaku, dan Konservasi Anoa” (Desember, 2019), menjelaskan bahwa bentuk anoa yang menyerupai kerbau membuatnya sering disebut sebagai kerbau kerdil.
Ukuran tubuh anoa yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis kerbau lainnya, baik genus Bubalus maupun genus Sincerus dan dengan leluhurnya yang berasal dari daratan Asia Selatan, kemungkinan mengikuti teori Island Rule/Foster Rule atau biasa disebut Island Syndrome. Keterbatasan sumber daya dan ketidakhadiran predator besar menyebabkan terjadinya pengerdilan ukuran tubuh satwa besar yang hidup pada ekosistem pulau.
Merujuk pada beberapa literatur dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa Island Rule/Foster Rule adalah perubahan ukuran tubuh yang terjadi karena perpindahan spesies dari daratan ke pulau.
Perubahan morfologinya dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama, satwa yang ukuran tubuhnya besar akan berevolusi menuju ukuran lebih kecil. Kedua, satwa ukuran menengah, tidak ada gejala khas dalam perubahan ukuran tubuh. Ketiga, satwa ukuran kecil, berevolusi menuju ukuran yang lebih besar.
Anoa dan babirusa merupakan satwa ikonik dari Sulawesi. Keberadaannya sangat penting bagi keseimbangan ekosistem hutan, namun status keduanya sangat mengkhawatirkan. Ada dua spesies anoa yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa pegunungan (Bubalus quarlesi). Kedua spesies ini dalam status terancam punah menurut IUCN.
Sementara babirusa terdiri dari empat spesies, yaitu babirusa sulawesi (Babyrousa celebensis), babirusa berbulu lebat (Babyrousa babyrussa), babirusa togean (Babyrousa togeanensis). Dua yang disebut pertama berstatus rentan, sementara yang ketiga terancam punah. Satu lagi yang tak bisa dijumpai karena telah punah yaitu babirusa bolabatu (Babyrousa bolabatuensis).
Referensi:
S.G. Aninta, R. Drinkwater, A. Carmagnini, N.J. Deere, D.S. Priyono, N. Andayani, N.L. Winarni, J. Supriatna, M. Fumagalli, G. Larson, P.H.A. Galbusera, A. Macdonald, D. Greer, K. Mohamad, W.E. Prasetyaningtyas, A.H. Mustari, J.L. Williams, R. Barnett, D. Shaw, G. Semiadi, J. Burton, D.J.I. Seaman, M. Voigt, M.J. Struebig, S. Brace, S.J. Rossiter, & L. Frantz. (2025). The importance of small-island populations for the long-term survival of endangered large-bodied insular mammals, Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 122 (26) e2422690122, https://doi.org/10.1073/pnas.2422690122
*****