- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 dan 27/2025 baru saja terbit. Kedua regulasi yang baru Presiden Prabowo Subianto sahkan ini berniat sebagai terobosan strategis dalam memperkuat tata kelola lingkungan berbasis bukti dan keberlanjutan. Bagaimana pandangan dari organisasi lingkungan hidup?
- Diaz Hendropriyono, Wakil Menteri Lingkungan Hidup mengklaim, kedua regulasi ini atas keprihatinan pemerintah terhadap kondisi alam di Indonesia, seperti bencana hidrometeorologi makin sering terjadi bahkan menimbulkan korban jiwa.
- Parid Ridwanuddin, Peneliti Kelautan Auriga Nusantara menilai, lewat PP 27/2025, pemerintah hendak mendorong investasi skala besar di pesisir dan pulau-pulau kecil. Alih-alih melindungi, PP ini justru akan berpotensi memperparah kondisi.
- Teo Reffelsen Manajer Hukum dan Perlindungan Rakyat Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, kebijakan soal perlindungan lingkungan hidup ini tidak mengatur soal sanksi hukum bagi perusak lingkungan. Hanya ada perintah pemantauan satu kali dalam setahun dan evaluasi satu kali dalam lima tahun.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 dan 27/2025 baru saja terbit. Kedua regulasi yang baru Presiden Prabowo Subianto sahkan ini berniat sebagai terobosan strategis dalam memperkuat tata kelola lingkungan berbasis bukti dan keberlanjutan.
PP 26/2025 mengatur tentang perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Beleid ini akan menjadi dasar pemerintah merencanakan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam berperspektif lingkungan lingkungan hidup.
Antara lain berisi mengenai inventarisasi lingkungan hidup, menetapkan kawasan ekoregion, memperhitung daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup. Termasuk, transparansi informasi, pelibatan masyarakat hingga pendanaan.
Sementara PP 27/2025 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Beleid ini menjadi dasar dari rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pembangunan jangka menengah nasional, dan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMN/RPJMD).
Meski terdapat penjelasan soal penetapan ekosistem mangrove menjadi fungsi lindung dan budidaya, peraturan ini membuka peluang perubahan alih fungsi.
Kedua regulasi ini merupakan amanat UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berubah beberapa kali, terakhir dalam UU Cipta Kerja.
Diaz Hendropriyono, Wakil Menteri Lingkungan Hidup mengklaim, kedua regulasi ini atas keprihatinan pemerintah terhadap kondisi alam di Indonesia, seperti bencana hidrometeorologi makin sering terjadi bahkan menimbulkan korban jiwa.
Dia membandingkan Indonesia dengan beberapa kota di negara Eropa dan Asia lain yang memiliki sistem penanggulangan bencana terstruktur.
Di Copenhagen, Amsterdam dengan curah hujan sekitar 800 mm, Tokyo dan Singapura 1.800-2.400 mm per tahun, namun jarang terjadi banjir. Beda dengan di Indonesia.
“Sedikit-sedikit banjir, misal, di Bogor, Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar. Belum lagi yang banjir rob, Pekalongan, Demak dan lain sebagainya,” katanya dalam sosialisasi akhir Juli.
Dia bilang, ini terjadi karena kesalahan tata ruang, alih fungsi lahan, ruang terbuka hijau (RTH) kurang, pembangunan di atas daerah aliran sungai (DAS), konversi hutan hingga kerusakan lahan gambut.
Menurut Diaz, regulasi ini akan menjadi panduan komprehensif pemerintah dari pusat sampai daerah untuk merencanakan pembangunan yang lebih memperhatikan lingkungan hidup.
“PP ini harus menjadi acuan, guidance, acuan yang nantinya untuk menyusun dokumen-dokumen kayak RPJMN, RPJPD, RPJMD, RTRW, rencana umum energi, dan lain-lain,” katanya.
Aturan ini juga untuk memastikan, pembangunan di Indonesia berkelanjutan berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan. Juga memastikan faktor lingkungan hidup terintegrasi ke dalam semua sektor untuk mencegah kerusakan.
“Jadi, semua pembangunan di berbagai sektor, bagai industri, pertanian, pariwisata, dan lainnya ini harus mempertimbangkan, memperhitungkan kapasitas batas ekologis dari wilayah tertentu.”

Perlindungan mangrove prioritas?
Begitu pula dengan perlindungan mangrove yang menjadi prioritas. Untuk itu, memaksimalkan regulasi ini, KLH meminta pemerintah daerah menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) dan rencana perlindungan dan pengolaan ekosistem mangrove.
Sigit Reliantoro, Deputi Bidang Tata Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan KLH/BPLH mengatakan, aturan perlindungan lingkungan dan mangrove memuat pendekatan perencanaan jangka panjang berbasis data dan sains lingkungan.
Nani Hendiarti, Deputi Bidang Koordinasi Keterjangkauan dan Keamanan Pangan, Kementerian Koordinator Bidang Pangan mengatakan, perencanaan lingkungan hidup tidak bisa berjalan sendiri. Ia harus terintegrasi fungsional dengan perencanaan pembangunan pangan nasional dan daerah.
Hal ini menjadi sangat penting karena degradasi lingkungan seperti pencemaran, deforestasi, dan juga perubahan tata guna akan mengancam ketahanan pangan.
“Kami akan mendorong perencanaan pangan mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi akan berjalan dan sejalan dengan kebijakan dari RPPLH,” katanya.
Dengan begitu, pengembangan kawasan harus mempertimbangkan aspek lingkungan seperti keberlanjutan sumber air, cadangan karbon tanah, serta ekosistem penyangga. Antara lain, mangrove dan ekosistem lainnya.
Tak hanya sebagai instrumen mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pengelolaan mangrove dalam PP 27/2025 juga mendukung agenda pangan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
“Peran kami (Kemenko Pangan) menjadi semakin penting. Mangrove bukan hanya berperan sebagai solusi bencana dan perubahan iklim juga pendukung sumber pangan dan penghidupan masyarakat pesisir,” kata Nani.
Kemenko Pangan, katanya, akan memastikan ekosistem mangrove terjaga sebagai lumbung pangan pesisir yang bakal mendukung perikanan tangkap, budidaya, dan produk turunan lain. Masyarakat, katanmya, akan mendapatkan manfaat lebih dari ekosistem mangrove.
Nani pun menekankan soal program rehabilitasi mangrove berupa penanaman dan konservasi harus dilakukan masyarakat dengan konsep ekonomi biru dan sirkular. Nani bilang, luasan mangrove di Indonesia berdasarkan peta mangrove nasional seluas 3,44 juta hektar. Dari luas itu, potensi pemanfaatan seluas 769.000 hektar.
“Kalau kita lihat juga potensinya dalam konteks menyimpan karbon, bisa mencapai sekitar 3,14 miliar metrik ton karbon.”
Ekosistem mangrove, katanya, dapat memberikan jasa ekosistem yang bisa mencapai US$1,5 miliar per tahun dari aktivitas perikanan komersial dan juga ada dari perlindungan pesisir.

Malah melemahkan?
Parid Ridwanuddin, Peneliti Kelautan Auriga Nusantara menyatakan, terdapat banyak masalah dalam PP 27/2025. Dia bilang, masalah paling mendasar dalam pembentukan PP ini adalah menggunakan UU 6/2023 tentang Cipta Kerja sebagai payung hukum.
Hingga, PP 27/2025 tidak menempatkan perusakan ekosistem mangrove sebagai kejahatan lingkungan. Hal itu terlihat dari sanksi yang yang diberlakukan bukan hukum pidana lingkungan bagi pelaku perusakan lingkungan.
Dalam aturan itu, katanya, hanya memberlakukan sanksi administratif, terdiri dari, teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan persetujuan lingkungan, dan pencabutan persetujuan lingkungan.
Pelaku perusakan ekosistem mangrove, katanya, tak akan mendapatkan sanksi pidana lingkungan, baik berupa kurungan maupun denda.
“Ini ciri khas utama dalam UU Cipta Kerja. Sanksi ini sangat lemah dan tidak akan melahirkan efek jera bagi para pelaku perusakan mangrove. Ini akan menjadi penghalang besar agenda perlindungan ekosistem mangrove.”
Seharusnya, kata Parid, PP ini pakai UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang tegas mengamanatkan sanksi pidana lingkungan bagi perusak mangrove.
Regulasi ini juga membuka peluang perubahan alih fungsi mangrove menjadi kawasan industri skala besar. Hal ini tertuang dalam Pasal 19 dan 20 yang menegaskan boleh
perubahan kawasan lanskap mangrove yang dapat diatur lebih teknis dalam SK Menteri Lingkungan Hidup.
“Dalam peraturan teknis inilah biasanya ancaman penghilangan mangrove akan terlihat.”
Parid bilang, PP ini memiliki kriteria baku kerusakan yang sangat rendah untuk ekosistem mangrove di kawasan lindung.
Dalam Pasal 24 ayat 2 aturan itu menerangkan, ekosistem mangrove dengan fungsi lindung dinyatakan rusak apabila melampaui penurunan persentase tutupan tajuk mangrove lebih besar atau sama dengan 25%, dan persentase kerapatan mangrove hidup dengan diameter lebih dari atau sama dengan 4 cm lebih besar atau sama dengan dari 25%.
Seharusnya, kata Parid, ekosistem mangrove di kawasan lindung ini masuk dalam kategori no go zone (NGZ) dan tak dapat berubah untuk kepentingan ekstraktif.
Namun, katanya, pemanfaatan di wilayah ini mungkin untuk riset, dan atau konservasi berbasis masyarakat.
Dia pun menilai, lewat PP 27/2025, pemerintah hendak mendorong investasi skala besar di pesisir dan pulau-pulau kecil. Alih-alih melindungi, PP ini justru akan berpotensi memperparah kondisi.
“Mangrove itu jadi semacam penghalang. Kemudian disusunlah PP perlindungan Mangrove ini sebetulnya untuk menaklukan ruang. Itu kepentingan investasi.”
PP ini tidak memiliki posisi jelas untuk melindungi ekosistem mangrove dari berbagai kebijakan pemerintah yang berorientasi pada industri ekstraktif.
Di dalam bagian penjelasan, tidak disebutkan penyebab hilangnya mangrove karena aktivitas industri ekstraktif dan atau proyek reklamasi. Yang disebut hanyalah tambak, pertanian, perkebunan, pemukiman, pembangunan sarana dan prasarana, plus ancaman limbah padat serta ancaman dari darat dan laut serta dampak perubahan iklim.
“PP ini tidak menempatkan industri ekstraktif juga termasuk proyek reklamasi sebagai ancaman serius terhadap keberadaan dan masa depan ekosistem Mangrove di Indonesia.”

Begitu juga dengan PP 26/2025. Teo Reffelsen Manajer Hukum dan Perlindungan Rakyat Eksekutif Nasional Walhi bilang, masih banyak kelemahan dalam regulasi itu. Misal, soal inventarisasi masalah.
“Terutama, soal aspek populasi, ekonomi, hingga risiko bencana alam,” katanya.
Kemudian, risiko peningkatan emisi terhadap perubahan iklim. Menurut Teo, perubahan iklim seharusnya sebagai faktor dominan perubahan lanskap lingkungan hidup.
Ada tantangan lain, pada aspek strategi implementasi yang membingungkan.
Teo bilang, regulasi ini menjadi bahan acuan dalam menyusun rencana pembangunan baik nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Namun, katanya, jadi membingungkan ketika rencana pembangunan tidak sesuai dengan RPPLH.
“Ini RPPLH yang menyesuaikan atau pembangunannya yang menyesuaikan?”
Padahal, katanya, seharusnya ini berhubungan dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan. Pembangunan, katanya, harus setop ketika ada proyek yang sedang atau telah berjalan namun tidak sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
“Jadi, jangan penetapan daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungannya yang menyesuaikan.”
Dalam PP ini tidak atur tegas soal daya tampung dan daya dukung lingkungan. Hingga dengan dalih proyek strategis nasional (PSN), misal, pemerintah bisa saja tetap melakukan pembangunan meskipun tidak memenuhi kriteria daya tampung dan daya dukung lingkungan.
Kebijakan ini juga tidak mengatur soal sanksi hukum bagi perusak lingkungan. Hanya ada perintah pemantauan satu kali dalam setahun dan evaluasi satu kali dalam lima tahun.
“Kalau pakai PP ini, itu tadi tidak terlalu cukup untuk melindungi lingkungan.”

*****