- Sejumlah dusun di Desa Tengkudak, Kabupaten Tabanan, Bali kini menjadi habitat burung Jalak Bali. Seperti Dusun Tingkih Kerep yang dideklarasikan sebagai areal kawasan pelepasan dan perlindungan burung dan disebut sebagai Kampung Jalak Bali.
- Dimulai dari 10 pasang indukan kini menjadi hampir 80 ekor hanya dalam waktu satu setengah tahun dilepasliarkan di kampung yang dikelilingi sawah dan pepohonan ini.
- Wayan Prihantara, salah seorang warga mengatakan di masa lalu ada banyak jenis burung di desanya. Salah satunya Curik yang ujung matanya kuning. Revolusi hijau meningkatkan penggunaan pestisida untuk swasembada pangan membuat kawanan Curik dan burung lain mulai menghilang karena pakan utama mereka, serangga, mati karena racun pestisida.
- Biodiversitas burung di Bali juga bertambah dengan repatriasi 40 ekor Perkici Dada Merah subspesies Bali (Trichoglossus forsteni mitchlli) dari Inggris ke Indonesia.
Puluhan ekor burung jalak bali (Leucapsar rothschildi) terbang rendah di antara perumahan warga dan pepohonan di Dusun Tingkih Kerep, Desa Tengkudak, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. Burung liar dilindungi ini biasa sangat sulit dekat dengan manusia dan tidak suka berkelompok. Di dusun ini, beberapa pasang burung seperti sudah terbiasa dengan warga.
Semula, hanya ada 10 pasang jalak bali yang lepas liar di Tingkih Kerep pada Juni 2024. Kini, pasangan burung itu sudah beranak pinak dan membentuk pasangan baru berkembang menjadi 78 ekor. Beberapa pasang juga sudah rilis di dusun lain dalam satu desa.
Wayan Yudi Artana, warga Tingkih Kerep kini menjadi penjaga burung-burung ini di bawah dampingan Yayasan Friends of National Parks Foundation (FNPF). Dusun ini cocok menjadi habitat burung karena berkeliling persawahan, lingkungan masih asri, tidak bising, serta masih banyak tegakan dan tanaman buah. Apalagi warga pecinta burung dan desa adat memiliki aturan tertulis untuk melindungi satwa.
Jadilah dusun ini sebagai Kampung Jalak Bali karena keberhasilannya melahirkan habitat jalak bali tanpa proses penangkaran, seperti jamak kelompok pelestari lain lakukan. Sebuah patung burung jalak bali berdiri di pusat dusun tempat memantau burung. Selain itu tersedia juga kotak donasi dan suvenir burung dari bahan daur ulang.

Kampung ini menarik pengunjung dari berbagai daerah untuk melihat ikon burung Pulau Bali ini terbang rendah dan berinteraksi dengan kawanannya. Area ini menarik para burung untuk hinggap karena ada warga yang menyediakan serangga dan kolam mungil dari gerabah tanah liat. Burung-burung pun terlihat santai membasahi tubuhnya di siang terik.
Yudi Artana mengatakan, di dusun ini jalak bali bereproduksi cukup cepat. Sebelum dilepasliarkan, 10 pasang burung yang memang dinilai solid sebagai pasangan ini masuk kandang habituasi dahulu untuk mengenalkan pada kondisi baru.
Warga juga menyiapkan pakan dengan menanam pepaya selain buah yang sudah ada sebelumnya, seperti cempaka, lempeni, boni, dan nangka yang juga jadi sumber pakan burung.
Sebelumnya di desa ini sudah banyak jalak kebo yang berbulu hitam dan gemar terbang di persawahan. “Berikutnya kami ingin membuat papan informasi tentang jalak bali,” ujarnya.
Saat ini, sudah ada papan yang berisi jumlah populasi per bulan di tiga lokasi penyebaran dalam satu desa.
Karena sudah menjadi kesepakatan desa adat untuk melindungi burung ini, warga juga berperan dalam pemantauan seperti menghitung jumlah burung dan melindungi sarangnya. Dengan cara ini diharapkan populasi terjaga dan mencegah penangkapan.
Total per akhir Juli ada 54 indukan di tiga area yakni Tingkih Kerep, Puakan, dan Desa Tengkudak, anakan 24 hingga 78 burung jalak. Kawasan pelepasan dan perlindungan burung ini menjadi pelepas penat dan hiburan warga sekitar.
Wayan Prihantara, warga Tengkudak mengatakan di masa lalu ada banyak jenis burung di desanya. Salah satunya yang sudah langka adalah curik yang ujung matanya kuning. Sementara jalak bali di sekeliling matanya berwarna biru.
Revolusi hijau yang memaksa petani mengoptimalkan pestisida untuk swasembada pangan membuat kawanan curik dan burung lain mulai menghilang karena pakan utama mereka, serangga, mati karena racun pestisida.
“Dulu, petani pakai pestisida keras sekali. Sekarang masih ada tapi dosisnya berkurang,” katanya.
Dia senang dengan kehadiran jalak bali ini karena menyukai burung.
Dampak secara ekologi pun bertambah. Desa adat melarang penebangan pohon, dan mewajibkan warga menanam dua bibit pohon di tiap satu petak kebun.

Kembalinya burung perkici dada merah
Keanekaragaman hayati burung di Bali kini bertambah dengan pengembalian 40 burung perkici dada merah subspesies Bali (Trichoglossus forsteni mitchlli) dari Inggris ke Indonesia.
Untuk pemulihan populasi spesies asli Indonesia, Kementerian Kehutanan melalui BKSDA Bali melaksanakan repatriasi puluhan burung dilindungi ini. Kegiatan ini hasil kerja sama BKSDA Bali dengan dua lembaga konservasi terakreditasi, yakni, PT Taman Burung Citra Bali (TBCB)dan PT Taman Safari Indonesia (TSI) III di Gianyar, Bali.
Proses repatriasi juga mendapat dukungan dari organisasi internasional World Parrot Trust, yang memfasilitasi pemulangan burung dari Paradise Park, wildlife sanctuary di United Kingdom.
BKSDA Bali menyebut, 20 perkici dada merah TBCB terima dan 20 lainnya TSI III. Seluruh burung akan menjalani masa karantina, rehabilitasi, dan adaptasi sebagai bagian dari program konservasi eks-situ yang dirancang secara terukur. Hasil dari proses breeding diharapkan dapat dilepasliarkan secara bertahap di habitat alaminya di kawasan hutan Bali.
Perkici dada merah merupakan satwa liar dilindungi berdasarkan UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo. UU Nomor 32/2024. Juga Permen LHK Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 Kategori Endangered (EN) menurut IUCN Red List.
Burung ini terancam punah akibat perusakan habitat dan perdagangan ilegal satwa eksotik. Karena itu, repatriasi menjadi langkah penting dalam upaya konservasi satwa liar Indonesia.

Ratna Hendratmoko, Kepala BKSDA Bali, dalam keterangan tertulisnya 24 Juli 2025 menyebut, kegiatan ini tidak hanya berfokus pada pemulangan satwa ke habitat asalnya juga juga memperkuat kolaborasi internasional dalam konservasi dan penegakan hukum atas perdagangan ilegal satwa liar.
Upaya repatriasi ini sejak 2022 oleh TBCB, dengan survei di Hutan Batukaru. Berdasarkan masukan masyarakat, burung lokal yang disebut “atat Bali” dulu banyak, namun kini hampir punah. Identifikasi ilmiah menunjukkan bahwa atat Bali adalah perkici dada merah.
Selain pelestarian di perkampungan, satwa liar juga dilindungi di kawasan pura seperti Pura Besi Kalung dan Pura Petali di Tabanan. Kaki Gunung Batukaru ini masih cukup hijau dengan kerapatan hutan berdampingan dengan persawahan.
*****