- Sardi Razak atau Ian, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan, telah lebih dari dua dekade mendampingi masyarakat adat di Sulsel-Sulbar, memulai dari konflik Kajang, hingga memimpin AMAN dan memperjuangkan pengakuan hukum serta perlindungan wilayah adat.
- AMAN mendorong pemetaan partisipatif sebagai dasar pengakuan, menghidupkan kembali ingatan kolektif dan batas-batas wilayah yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur masyarakat adat.
- Tantangan perjuangan AMAN Sulsel datang dari kriminalisasi, kebijakan tak berpihak, dan minimnya infrastruktur, tapi Ian membangun kekuatan kolektif melalui organisasi daerah, pemuda, dan perempuan adat.
- Lewat gerakan “Pulang Kampung”, AMAN menggerakkan generasi muda untuk kembali membangun kampung, mengelola ekonomi lokal, dan meneruskan warisan adat dengan cara yang lebih berdaulat.
Di tengah heningnya kampung-kampung adat dari Bulukumba hingga Mamasa, ada jejak langkah seorang lelaki yang tak pernah lelah menyusuri lorong-lorong sunyi perjuangan. Namanya Sardi Razak, atau Ian, begitu banyak orang menyapanya.
Sudah dua dekade lebih lelaki kelahiran 1977 ini bergulat dalam kerja-kerja pendampingan masyarakat adat. Dia bukan orang yang suka panggung. Wajahnya jarang terpampang di media, suara tak kerap terdengar di ruang-ruang seminar. Namun, di lereng-lereng Pegunungan Enrekang, di hutan Kajang, di lembah Mamasa, dia adalah saksi bisu dari perjuangan masyarakat adat melawan pengingkaran, penggusuran, dan penghilangan.
“Saya pertama kali turun tahun 2003, saat konflik Masyarakat Adat Kajang dengan PT London Sumatera. Waktu itu, ribuan hektar HGU (hak guna usaha) berada di wilayah adat. Saya turun sebagai aktivis Walhi, tidak tahu apa-apa soal masyarakat adat. Dari situ, semuanya berubah,” kenangnya suatu sore awal Juli 2025, kepada Mongabay.
Sejak itu, Ian tak pernah berhenti. Dia ikut mendampingi Masyarakat Karonsie Dongi yang berkonflik dengan tambang nikel, menyusuri hutan-hutan yang kena klaim sepihak oleh negara, menghadiri musyawarah di kampung-kampung yang jauh dari sinyal.
Langkahnya terus menapak. Pada 2010, dia memimpin Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Selatan (AMAN Sulsel), kemudian lebih luas sampai ke Sulawesi Barat.
Saat itu, organisasi sedang masa transisi. “Saya hanya diminta bantu sementara,” katanya, tertawa kecil. “Tapi seperti banyak hal lain di hidup saya, yang sementara itu justru jadi jalan hidup.”

Kekuatan kolektif
Di bawah kepemimpinannya, AMAN Sulsel-Sulbar tumbuh menjadi kekuatan kolektif yang kokoh. Bukan karena gemerlap pencitraan, tetapi karena kerja-kerja kecil yang konsisten: pemetaan wilayah, penguatan hukum adat, pembentukan kelembagaan ekonomi lokal, dan regenerasi anak muda adat.
Selama masa tugasnya, tercatat tujuh peraturan daerah (perda) pengakuan masyarakat adat pemerintah sahkan, 14 surat keterangan bupati terbit, dan delapan penetapan hutan adat. Ian tahu, angka-angka itu hanyalah kulit luar dari perjuangan yang sebenarnya.
Dalam perjuangannya, Ian tak pernah berdiri sendiri. Dia percaya pada kekuatan kolektif. Di banyak forum, dia memperkenalkan diri sebagai “kader masyarakat adat”.
Ian percaya, pengakuan formal dari negara hanyalah satu bab dari buku panjang perjuangan masyarakat adat. Sisanya, tentang martabat, tentang kemampuan komunitas untuk berdiri tegak di atas tanahnya sendiri, tanpa takut tergusur, tanpa ragu mempertahankan warisan mereka.
Dalam banyak forum internasional, termasuk undangan ke San Francisco sebagai pembicara, Ian selalu menyuarakan hal sama: “Masyarakat adat bukan masa lalu. Mereka masa depan yang masih menyimpan jawaban untuk krisis ekologi dan kehancuran sosial hari ini.”
“Pengakuan itu penting, tapi bukan akhir. Kalau cuma berhenti di perda, ya percuma. Yang kita perjuangkan itu kehidupan yang bermartabat. Hak atas tanah, air, hutan, pendidikan, kesehatan, semua itu harus dirasakan langsung,” katanya.
Salah satu kerja penting AMAN Sulsel-Sulbar adalah pemetaan wilayah adat secara partisipatif. Proses ini bukan soal menggambar garis di peta, tetapi tentang menggali kembali memori kolektif, menandai tapal batas tak tertulis, dan menghidupkan kembali pengetahuan lokal.
“Pemetaan itu tentang siapa kita. Kalau masyarakat tidak bisa menunjukkan wilayahnya, bagaimana bisa bicara soal hak,” katanya.

Sarat tantangan
Pemetaan itu pula yang menjadi dasar pengakuan formal juga pengakuan itu membuka jalan bagi perlindungan hak dan pengelolaan ekonomi. Di banyak tempat, Ian mendampingi komunitas mendirikan kelompok usaha berbasis adat: kopi, madu, hasil hutan non-kayu, dan kerajinan tradisional. Semua dikelola dengan cara-cara yang menghormati alam dan tradisi.
Namun jalan yang dia lalui tidak selalu mulus. Dia menyaksikan bagaimana masyarakat adat kena kriminalisasi karena mempertahankan tanah. Ada yang terintimidasi, kena tangkap, bahkan jadi korban kebijakan.
“Hal yang paling menyakitkan adalah ketika mereka dituduh merampas tanah milik negara, padahal tanah itu sudah dijaga dari dulu,” kata Ian.
Tantangan lain datang dari dalam: infrastruktur minim, sulit akses ke komunitas yang terpencil, keterbatasan sumber daya organisasi. Namun Ian dan timnya di AMAN Sulsel tak menyerah. Mereka membentuk pengurus daerah di kabupaten-kabupaten, menginisiasi organisasi sayap seperti Persekutuan Perempuan Adat Nusantara AMAN (PEREMPUAN AMAN) dan Barisan Pemuda Adat Nusantara, dan terus mengembangkan strategi untuk kemandirian ekonomi masyarakat adat.
Kini, komunitas-komunitas mulai membangun unit usaha sendiri berupa kopi, madu, hasil hutan non kayu, yang semuanya dikelola oleh masyarakat adat dengan prinsip keberlanjutan. “Hal terpenting dari semua perjuangan ini bahwa masyarakat merasakan kehadiran kita,” ujarnya.

Dorong penguatan perempuan
Salah satu program yang AMAN dorong, yang Ian nilai sangat penting untuk regenerasi adalah program “Pulang Kampung,” sebuah upaya memanggil kembali anak-anak muda adat yang menempuh pendidikan di kota, kembali membangun kampungnya.
“Ilmu dari kota itu penting. Tapi kalau tidak dibawa pulang, dia hanya jadi angka di ijazah,” katanya.
Kini, banyak anak muda adat kembali ke kampung, mengelola usaha bersama, membuka sekolah adat, hingga membuat produk-produk lokal dari kekayaan wilayahnya. Mereka bukan sekadar penerus, juga penafsir baru atas warisan lama.
“Ada anak muda yang sekarang urus kopi kampung. Dulu mereka malu dibilang anak adat, sekarang mereka bangga.”
AMAN juga mendorong penguatan perempuan adat melalui PEREMPUAN AMAN. Menurut dia, perempuan yang pertama kali merasakan dampak dari hilangnya tanah, kerusakan alam, dan kebijakan-kebijakan eksploitatif.
“Kalau hutan rusak, air susah, yang paling repot itu perempuan. Maka mereka harus diberi ruang di depan,” katanya .
Kini, setelah hampir 25 tahun di lapangan, Ian mulai mempersiapkan generasi baru. Musyawarah besar wilayah sebentar lagi berlangsung. Semangatnya tak pernah padam. “Perjuangan ini belum selesai. Masih banyak yang belum diakui, yang masih dilupakan. Tapi sekarang masyarakat adat tidak lagi sendiri.”
*****