- Interaksi negatif antara harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dengan manusia dan ternaknya kembali terjadi di kawasan hutan Gunung Leuser di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Keadaan ini memunculkan pertanyaan soal daya dukung dan daya tampung Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sebagai ekosistem satwa kunci ini. Kalau ekosistem mendukung, tidak akan harimau keluar dan mencari makan di sekitar pemukiman. Atau penyebab lain?
- Novita Kusuma Wardani, Kepala BBKSDA Sumut, menyebut, sudah memasang kamera jebak di sekitar bangkai sapi yang harimau makan. Harapannya, mereka bisa mengetahui spesifik harimau mana yang menjadi pelaku penyerangan. Juga usia, jenis kelamin, hingga kondisi kesehatan harimau tersebut, supaya mereka bisa menyusun langkah penyelamatannya.
- Haray Sam Munthe, Direktur Yayasan Alam Liar Sumatera, menyebut, ada beberapa faktor pemicu harimau sumatera keluar dari habitatnya, memangsa ternak dan menyerang warga. Kepadatan populasi bisa jadi faktor utamanya.
- Andrinaldi Adnan, Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar TNGL, saat Mongabay hubungi membantah anggapan menurunnya daya dukung dan tampung TNGL sebagai habitat harimau sumatera. Menurutnya, kepadatan populasi harimau berada dalam kategori sehat.
Interaksi negatif antara harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dengan manusia dan ternaknya kembali terjadi di kawasan hutan Gunung Leuser di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Keadaan ini memunculkan pertanyaan soal daya dukung dan daya tampung Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sebagai ekosistem satwa kunci ini. Kalau ekosistem mendukung, tidak akan harimau keluar dan mencari makan di sekitar pemukiman. Atau penyebab lain?
Juni lalu di Langkat, terjadi konflik berulang harimau dan warga maupun dengan ternak. Pertama, sapi warga jadi sasaran, 12 Juni. Berturut-turut beberapa hari selanjutnya, terjadi lagi terhadap sapi warga di Kecamatan Sei Lepan. Bahkan, juga menimpa M Ikhwan Sembiring.
Pria pemanen sawit itu selamat, namun betis kena cakar dan gigit ketika dia sedang di kebun.
Novita Kusuma Wardani, Kepala BBKSDA Sumut, menyebut, sudah memasang kamera jebak di sekitar bangkai sapi yang harimau makan. Harapannya, mereka bisa mengetahui spesifik harimau mana yang menjadi pelaku penyerangan. Juga usia, jenis kelamin, hingga kondisi kesehatan harimau, supaya mereka bisa menyusun langkah penyelamatan.
“Belum bisa dipastikan harimau mana yang menerkam sapi-sapi di sana, Apakah ketiganya diserang oleh satu individu saja atau lebih. Masih menunggu hasil dari kamera trap,” katanya, akhir Juni.
Dugaan awal, harimau senja, hasil evakuasi dan lepasliar kembali di Leuser wilayah Blangkejeren, Aceh, yang keluar ke pemukiman. Meski begitu, masih perlu kajian lebih lanjut.

Faktor pemicu
Harray Sam Munthe, Direktur Yayasan Alam Liar Sumatera, menyebut, ada beberapa faktor pemicu harimau Sumatera keluar dari hutan, memangsa ternak dan berkonflik dengan warga.
Dia bilang, kemungkinan satwa mangsa makin menipis dan kerusakan habitat juga terbuka jadi faktor harimau masuk ke pemukiman warga.
Faktor lain, kepadatan populasi. Kondisi ini, memicu harimau yang kalah saing, terutama yang tua, menepi dan mencari teritori baru, lalu ke pinggir desa dan memangsa sapi karena lapar. Hewan ini paling mudah mereka buru.
Ada juga faktor harimau remaja sedang belajar berburu dan membuat wilayah jelajah baru. “Harimau remaja yang mencoba masuk ke populasi lebih besar kalah bersaing akhirnya menepi ke pinggir hutan, tetapi karena belum mendapat teritorial baru untuk wilayah kekuasaannya, dia memangsa satwa domestik karena lapar,” katanya.
Lagipula, katanya, kondisi harimau di lanskap TNGL sangat kompleks. Saat ini, terjadi penurunan jumlah yang belum pernah berinteraksi dengan manusia. Sisi lain, ada 13 individu yang pernah berkonflik, bertahun-tahun jadi penghuni pusat rehabilitasi, hingga kembali ke habitat asli.
Harimau-harimau ini, sudah kehilangan naluri atau sifat liarnya. Mereka sudah mencium dan mengenal bau manusia, berinteraksi dan punya jadwal makan teratur. Faktor inilah yang kemungkinan memicu mereka keluar dari kawasan dan tidak takut lagi dengan manusia.
Padahal, katanya, predator puncak ini di masa lalu tidak akan menampakkan diri pada manusia kalau tak terganggu. Mereka pun memberikan tanda kehadiran dengan jejak atau kotoran, bentuk peringatan bahwa ada kesalahan fatal yang manusia lakukan.
”Sekarang berubah, mereka keluar karena mencium bau manusia dan satwa domestik yang mudah untuk didapat. Sebuah kesalahan besar ketika terjadi konflik harimau ditangkap masuk pusat rehabilitasi, bukan di-rescue lalu bawa ke dalam hutan lebih jauh lagi agar tidak kembali dan menimbulkan pengulangan konflik.”
Dari kasus serangan terhadap tiga sapi pada Juni, kata Hraray, ada kemiripan dengan perlakuan harimau di pusat rehabilitasi. Mereka menyerang di jam-jam tertentu, menyisakan, dan akan kembali menyantap pada jam makan berikutnya.
“Ini masih dugaan, namun jika hasil camera trap membuktikan kebenarannya, maka ini jadi warning buat kita semua, supaya ketika terjadi konflik, jangan pernah lagi memasukkan harimau ke dalam pusat rehabilitasi. Tapi tangkap, selamatkan, dan segera mungkin lepaskan kembali ke kawasan hutan yang lebih luas.”

Apa kata Balai Taman Nasional Leuser?
Andrinaldi Adnan, Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar TNGL, saat Mongabay hubungi membantah anggapan daya dukung dan tampung TNGL minim sebagai habitat harimau Sumatera. Dia bilang, kepadatan populasi harimau berada dalam kategori sehat.
Hal ini terlihat dari estimasi kepadatan paling besar 0,75 individu per 100 km2. Menggunakan metode Spatially Explicit Capture-Recapture (SECR) yang mereka hitung 2020-2024.
Selain itu, hasil observasi satwa mangsa harimau Sumatera 2023-2024 pun 50% – 80%, lebih tinggi ketimbang periode survei 2020 yang sebesar 35% – 80%. Mangsa prioritasnya adalah babi hutan, kijang, beruk, rusa, dan kambing hutan.
Menurut dia, pemicu harimau keluar kawasan dan menyerang ternak warga sering kali karena perilaku alami dan siklus hidup harimau itu sendiri. Interaksi biasa karena bersinggungan dengan lanskap yang manusia dominasi.
“Beberapa pemicu ekologis utama yang teridentifikasi adalah karena mereka tua, sakit, atau terluka,” katanya.
Individu yang tidak berada dalam kondisi prima ini akan mengalami penurunan kemampuan berburu mangsa liar yang cepat dan kuat. Untuk itu, mereka secara naluriah mencari sumber makanan yang muda dan minimal risiko, salah satunya ternak domestik yang lamban dan sering tidak ada penjagaan.
Dia pun membantah serangan-serangan ini karena rehabilitasi harimau. Sebab, selalu ada evaluasi, termasuk pemeriksaan medis bagi harimau sebelum lepasliar.
“Mereka harus dinyatakan sehat secara medis dan berperilaku alami sesuai dengan PermenLHK 17/2024.”

Andrinaldi bilang, berdasarkan katalog harimau Sumatera 2020, ada 53 individu yang teridentifikasi di TNGL. Sementara, pelepasliaran di TNGL 2020-2025 ada 15 harimau.
Meskipun demikian, dia tidak menutup kemungkinan harimau remaja yang keluar hutan ini. Pasalnya, setelah lepas dari induknya di usia 18-22 bulan, harimau akan masuk masa soliter dan belajar berburu mandiri.
Area perbatasan, yang juga manusia huni, jadi sekolah berburu favorit karena lebih mudah menangkap ternak manusia ketimbang rusa atau babi hutan. Ini lah yang jadi pemicu konflik.
Sedang Novita bilang Dusun Pancasila, lokasi harimau muncul pada Juni, ada 50 keluarga dengan rumah terpencar. Kebanyakan warga bekerja sebagai buruh kebun sawit, petani, dan penjaga sapi-sapi milik pengusaha yang tinggal di daerah lain.
Data yang mereka miliki menunjukkan, ada 150 sapi mereka lepaskan begitu saja untuk mencari rumput di sekitar lanskap hutan Leuser. Celakanya, lokasi itu merupakan jalur jelajah harimau Sumatera, hingga potensi konflik tinggi.
Dia menyebut, sudah sosialisasi dan mengimbau masyarakat mengurus sapi dan tidak membiarkan lepas begitu saja. Hal ini belum berjalan baik. Sapi-sapi masih lepas liar hingga terjadi serangan Juni lalu.
“Pasca penyerangan harimau Sumatera terhadap sapi-sapi di sana, pemiliknya sudah mulai membangun satu kandang anti Harimau. Kami berharap peternak lain juga bisa mengikuti supaya sapi-sapinya aman dan interaksi negatif bisa ditekan.”

*****