- Berbagai alasan bisa jadikan warga pesakitan ketika berhadapan dengan pemodal. Seperti terjadi di Desa Lembok, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, warga ritual adat berbuntut laporan ke polisi oleh perusahaan sawit, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV Regional 5.
- Selama ini, tidak pernah ada pembebasan lahan oleh perusahaan. Warga juga sudah menyampaikan surat penolakan perpanjangan HGU PTPN IV kepada Kanwil BPN Kaltim.
- Usai warga menggelar ritual soyong simong, beberapa hari kemudian aparat mendatangi rumah warga untuk menemukan penggerak ritual ini. Dua warga jadi tersangka pada 2 Juni 2025.
- Ahmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, masyarakat paling rentan konflik agraria. Warga menanggung beban berlapis. Kehilangan lahan yang memusnahkan mata pencaharian dan memikul beban moril dan materil saat pertikaian terjadi bahkan rentan terjerat hukum ketika berupaya mempertahankan tanah mereka.
Berbagai alasan bisa jadikan warga pesakitan ketika berhadapan dengan pemodal. Seperti terjadi di Desa Lembok, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, warga ritual adat berbuntut laporan ke polisi oleh perusahaan sawit, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV Regional 5.
Kala itu, seorang mulung -julukan balian di Masyarakat Paser- memimpin ritual adat soyong simong. Puluhan warga Adat Paser duduk melingkar menghadap sesajen dan dupa sambil merapal doa dan mantra, 21 April lalu di lahan adat yang tumpang tindih dengan perusahaan sawit negaraini.
Upacara biasa warga adat Paser, Kalimantan Timur untuk mengawali aktivitas penting. Ritual ini sudah mereka niatkan sebelum memasang spanduk peringatan kepada PTPN IV.
“Budaya kami ketika akan melakukan sesuatu, harus ada permisi kepada roh leluhur,” kata Syahrul, warga Long Ikis kepada Mongabay 16 Juni 2025. Dia bilang, budaya ini juga mereka pakai ketika membuka ladang.
Meskipun upacara yang dihadiri warga dari Desa Lombok, Pait, Sawit Jaya dan Pasir Mayang, dalam pengawasan sejumlah petugas keamanan dan orang-orang perusahaan sawit dan aparat polisi yang berpakaian biasa, ritual ini tetap berjalan.
“Upacara berlangsung khidmat,” tulis rilis warga.
Syahrul mengatakan, aparat berupaya menggagalkan ritual dengan mempertanyakan keabsahan upacara. “Mereka bertanya izin pelaksanaan ritual dari lembaga adat.“ ujar Syahrul.
Rilis warga menyebut, lahan ini PTPN IV Regional 5- sebelumnya PTPN XIII- serobot itu merupakan tanah turun temurun warga adat.
“Itu bekas kebun karena izin HGU (hak guna usaha)-nya sudah mati,” katanya.
Dia bilang, lahan warga ini sudah perusahaan buka sejak 1982.

Syahrul merinci tanah warga di empat desa. di Desa Lombok ada 522 hektar, Pait 524 hektar, Sawit Jaya 80 hektar dan Pasir Mayang 950 hektar.
Usai ritual soyong simong, warga menegaskan keberadaan hak turun temurun mereka dengan membentangkan spanduk
“Perhatian dilarang melakukan aktivitas apapun di atas tanah masyarakat,” pesan warga.
Mereka menulis dasar kepemilikan merujuk kepada alas hak atas tanah itu.
Selama ini, tidak pernah ada pembebasan lahan oleh perusahaan. Mereka juga sudah menyampaikan surat penolakan perpanjangan HGU kepada Kanwil BPN Kaltim.
Surat dari Kanwil BPN Kaltim no. 64.100/IX/2024 kepada direktur PTPN IV Regional 5 untuk menyelesaikan sengketa dengan masyarakat apabila ada pihak yang keberatan.
Pernyataan ini juga sudah warga sampaikan resmi dalam forum sosialisasi perpanjangan HGU PTPN IV Regional 5 pertengahan Agustus 2024 di Grand Hotel Sadurangas Grogot, Paser.
Saat itu, perusahaan mengundang kepala desa dari beberapa desa dan sebagian warga hadir.
Hadir juga BPN dan Kejaksaan Kaltim, masyarakat bersama dengan kepala desa di empat desa. Warga dan kepala desa tegas menolak perpanjangan HGU PTPN IV regional 5.
Mereka meminta pengembalian hak warga yang selama sudah BUMN ini kuasai.
Menurut Syahrul, kebun di Blok Tabara sudah berakhir izin HGU 31 Desember 2023. Tabara merupakan salah satu blok kebun PTPN IV regional 5.
Kepada Mongabay, pada 28 Juni 2025, Anwar Anshari, Manajer Kebun Tabara, menyampaikan, areal HGU PTPN IV regional 5 Kebun Tabara dikuasai PTPN IV melalui pencadangan areal pemerintah yang selanjutnya untuk perkebunan.
Dia beralasan, sudah sesuai Undang-undang Nomor 5/1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) juncto (PP 40/1996) tentang HGU dan hak pakai atas tanah. Juga Peraturan Pemerintah Nomor 18/2021 tentang hak pengelolaan, hak atas tanah, satuan rumah susun dan pendaftaran tanah.
Masa berlaku HGU perkebunan, katanya, paling lama 35 tahun dan perpanjangan 25 tahun dan diperbaharui paling lama 35 tahun. “Jadi jika ditotal dari pemberian, perpanjangan, dan pembaruan, jangka waktu HGU bisa mencapai paling lama 95 tahun,” katanya.
Dia beberkan, Pasal 22 PP 18/2021 bahwa, setelah jangka waktu pemberian, perpanjangan, dan pembaruan berakhir, tanah hak guna usaha kembali jadi tanah negara atau tanah hak pengelolaan.
Berdasar itu, kata Anwar, PTPN IV Regional 5 kebun Tabara sudah mengajukan permohonan perpanjangan HGU pada 2021. Proses pengajuan perpanjangan HGU Kebun Tabara sudah menggelar sidang panitia B 19 Desember 2023.
“Namun saat sidang berlangsung mendapat penolakan dari Masyarakat.”
Manajemen PTPN IV Regional 5, katanya, melakukan upaya penyelesaian permasalahan dengan pendekatan persuasif. Sosialisasi dan beberapa kali mediasi dengan masyarakat, melibatkan Pemerintah Paser dan jaksa, selaku pengacara negara di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur.
Baginya, itu penyelesaian sengketa non litigasi. Meskipun sampai saat ini, belum ada titik temu. Masyarakat, masih menolak perpanjangan HGU dan meminta lahan kembali ke masyarakat.

Intimidasi dan kriminalisasi
Usai warga menggelar ritual soyong simong, beberapa hari kemudian aparat mendatangi rumah warga untuk menemukan penggerak ritual ini.
Menurut warga, trik ini kerap aparat pakai untuk meruntuhkan solidaritas dan mencegah aksi lanjutan.
Warga menilai, ini upaya intimidasi dan kriminalisasi Sejumlah warga, orang-orang PTPN laporkan ke polisi.
Untuk menjaga solidaritas dan memantau aktivitas perusahaan sawit, warga bergotong royong mencari kayu dan mendirikan dundung pangorandak (pondok jaga) di Desa Lembok dan Pait awal Mei 2025.
Pondok jaga ukuran 3×4 meter ini berbahan kayu bulat dengan lantai bambu dan beratap terpal ini membuat geram perusahaan.
Saat pembangunan pondok jaga, aparat Polsek, Satpam PTPN dan anggota Polres mendatangi warga yang sedang bergotong royong.
“Berusaha menghalang halangi kami. mengancam kami akan ada penegakan hukum,” kata Syahrul.
Perjuangan warga melalui ritual dan pembangunan pondok memunculkan tekanan dari perusahaan dan aparat keamanan.
Polres Paser mulai memanggil warga untuk minta keterangan sebagai saksi. Tiga warga memenuhi panggilan polisi pada 7 Mei 2025. Syahrul, yang ikut memenuhi undangan, menjawab pertanyaan polisi ihwal dasar warga memperjuangkan hak hak mereka.
Perusahaan meminta warga mencopot spanduk dan membongkar bangunan posko. Warga menyebut, 14 mobil polisi turun bersama aparat dengan seragam lengkap dan pakaian preman untuk mengawal pembongkaran pondok jaga dan pencopotan spanduk pada 8 Mei 2025.
Tak itu saja, hari berikutnya juga terlihat patroli aparat keamanan bersama dengan perusahaan.
Dua warga jadi tersangka pada 2 Juni 2025. Surat penetapan tersangka yang Polres Paser terbitkan menyebutkan, ada dugaan tindak pidana, setiap orang tidak sah mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan, atau menguasai lahan perkebunan sebagaimana Pasal 107 huruf a UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan.
Mongabay sudah menyampaikan konfirmasi Kapolres Kapolres Paser AKBP Novy Adi Wibowo, sejak 19 Juni lalu, tetapi belum mendapat jawaban.
Hormati hak masyarakat adat
Bony, dari Sawit Watch menyayangkan perlakuan intimidasi dan kriminalisasi aparatur negara terus terjadi. “Kehadiran aparat kepolisian dan pemanggilan saksi serta patroli yang dilakukan sekitar kebun dan rumah warga tentu memberi tekanan psikologis bagi masyarakat,” katanya.
Dia menilai, tindakan warga ini adalah perjuangan mempertahankan dan memperoleh hak tanah yang tidak melalui pembebasan lahan secara sah.
“Sudah selayaknya proses penyelesaian mengedepankan dialog untuk mencari solusi bersama daripada menggunakan pelaporan ke kepolisian,” kata Bony.
Fathur Rozikin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur, pribatin mendalam atas kriminalisasi Masyarakat Adat Paser.
Walhi mendorong, aparat dan perusahaan menjunjung tinggi prinsip kebebasan berekspresi, hak asasi manusia dan keadilan sosial.
“Ritual tersebut merupakan bagian dari hak masyarakat adat untuk mempertahankan ruang hidup, budaya serta kedaulatan atas tanah mereka,” katanya.
Upaya kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat Paser adalah bentuk pelanggaran serius terhadap hak konstitusional warga negara. Terkhusus, hak atas kebudayaan dan kebebasan menyatakan pendapat secara damai.
Walhi Kaltim mendesak, aparat penegak hukum menghentikan segala bentuk intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat Paser.
Pemerintah dan pihak terkait, katanya, harus menghormati dan melindungi hak masyarakat adat sesuai amanat UUD 1945 dan deklarasi PBB tentang hak masyarakat adat.
Dia berharap, segenap masyarakat bersolidaritas dan mendukung perjuangan damai masyarakat adat dalam menjaga tanah dan budaya mereka.

Penguasaan lahan skala luas
Penguasaan tambang batubara dan perkebunan sawit dalam skala luas memicu peminggiran terhadap masyarakat adat/lokal. Seluas 276. 463 hektar tambang batubara yang menguasai lahan di Paser sejak 2016.
Dalam RTRW Kaltim juga menyebutkan, luas perkebunan sawit di kabupaten yang berbatasan dengan Penajam Paser Utara dan Kalimantan Selatan ini mencapai 201.168,42 hektar.
Luas daratan kabupaten yang beribukota Tanah Grogot ini 1.085.118 hektar. Berarti sawit dan tambang mengkapling 477.63, 42 hektar atau setara tujuh kali lebih luas Jakarta.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kaltim pada 2022, ada 55 blok HGU di Paser, 13 blok dalam kuasa PTPN VIII.
Penguasaan dan dominasi lahan oleh korporasi memicu konflik dengan masyarakat. Sawit Watch mencatat, pada 2024 terdapat 1.126 komunitas masyarakat yang bertikai dengan perkebunan sawit di Indonesia.
Ahmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, masyarakat paling rentan konflik agraria. Warga menanggung beban berlapis. Kehilangan lahan yang memusnahkan mata pencaharian dan memikul beban moril dan materil saat pertikaian terjadi bahkan rentan terjerat hukum ketika berupaya mempertahankan tanah mereka.
“Jalur penyelesaian konflik yang adil, setara dan peningkatan kapasitas dari sisi hukum,” ujar Rambo.

*****