- Kearifan lokal “sasisen” menjadi benteng bagi komunitas Padaidori dalam menjaga laut secara kolektif, namun kini terancam oleh keberadaan kapal-kapal asing yang menggiring ikan keluar dari zona adat yang dilindungi.
- Wilayah laut secara adat dibagi menjadi tiga zona—yendisare, bosen, dan soren—merefleksikan sistem konservasi tradisional yang dijalankan berdasarkan kesepakatan tiga tungku, yaitu tetua adat, gereja, dan pemerintah kampung.
- Di darat, perempuan Padaidori mempraktikkan pertanian berkelanjutan yang berakar dari warisan leluhur tanpa pupuk kimia dan bibit transgenik, meneguhkan prinsip hidup sayer fyaduru, tanah dan laut adalah ibu penghidupan.
- Ketimpangan akses dan eksploitasi laut oleh pihak luar menunjukkan lemahnya pengakuan terhadap wilayah kelola adat, di tengah desakan global untuk mencapai target perlindungan laut 30 persen pada 2030.
Secara tiba-tiba Romario (22) menyilangkan kedua tangannya ke arah langit, “Sasi, sasi, sasi!” teriaknya. Raut wajahnya tegang, matanya mengarah pada perahu asing yang buang jangkar di area lindung laut di perairan Pulau Padaido, Distrik Aimando, Biak Numfor, Papua.
Orang-orang di kejauhan itu bergeming. Agaknya, hirauan Romaria itu tak membuat mereka segera meninggalkan lokasi.
“Mereka langgar kami punya aturan. Semoga Tuhan balas mereka punya perilaku,” kata pemuda itu di pagi pertengahan Mei lalu.
Lokasi yang ditunjuknya itu adalah wilayah laut yang dilindungi secara adat, tempat berlindung dan berpijah ikan, yang tidak boleh sembarang dimasuki, apalagi diambil dan dipancing ikan dan biotanya.
Pencurian ikan dan perusakan karang telah membuat sebagian daerah sasisen (disingkat sasi) warga Padaidori di beberapa titiknya rusak. Padahal sasi bagi orang Padaidori adalah pengikat komunitas, solidaritas untuk melindungi sumber daya alam secara komunal.
“Kami ambil cukup saja. Moyang kami kasih cara untuk kami kelola laut dengan baik ,” tutur Kasumasa (30) kawan Romario, menjelaskan filosofi hidup orang Padaidori.
Saat itu Kasumasa sedang mendayung perahu kecil, —wai kabasai dalam bahasa lokal, mengelilingi perairan pulaunya yang jernih, yang dipenuhi terumbu karang dan padang lamun yang utuh.
Namun, di beberapa tampak kerusakan yang ditinggalkan akibat penggunaan bom dan potasium yang dilakukan oleh orang dari luar.

Sasisen dan Zona Pembagian Laut Adat
Bagi orang Padaidori sendiri, pesisir laut dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu yendisare, bosen, dan soren.
Yendisare adalah area pesisir yang bermula dari pohon pelindung pantai sampai area air pasang. Kawasan ini sebagai tempat tambatan perahu, mencari bia kabires—kerang yang menjadi sumber pendapatan penting bagi warga, tempat bermain anak-anak, hingga tempat warga duduk di bawah keteduhan pohon, berbincang atau beristirahat setelah beraktivitas.
Selanjutnya, bosen atau serupa zona intertidal, yaitu wilayah pasang surut yang membentang di pesisir. Sebagai pulau karang, Padaidori memiliki bosen padang lamun yang cukup luas.
“Di sini kami biasa menangkap ikan karang, lobster, teripang, gurita, cumi dan kegiatan bameti (mengumpulkan kerang saat air laut surut),” ujar Romario.
Kemudian ada kawasan soren yang bisa dipadankan dengan zona abisal, yaitu kawasan laut dalam untuk mencari ikan demersal seperti cakalang, tuna, tongkol, sampai barakuda.
“Dimana kami butuh ikan, kami pergi cari di tempat yang sesuai,” tambah Kasumasa.
Diantara ruang laut yang dikenal dan dipahami oleh masyarakat. Konservasi tradisional dijalankan oleh masyarakat dengan kesepakatan tiga tungku, yaitu pemerintah desa – tetua adat – pemuka gereja.
Tujuan dari aturan adat ini adalah untuk mencegah penangkapan berlebih untuk memastikan keberlanjutan hasil laut.
Ada sebagian area yang ditutup secara permanen, menjadi zona inti perairan. Tujuannya sebagai bank ikan yang menyediakan benih berbagai jenis ikan bagi perairan di sekelilingnya. Dalam konteks adat, ini disebut wilayah sasien permanen.

Secara ekologis, area sasien permanen mencakup ekosistem lengkap—padang lamun, terumbu karang, dan dasar pasir—yang menjadi habitat penting bagi ikan untuk bertelur, tumbuh, dan berkembang biak secara alami. Penutupan ini menjadi bentuk perlindungan jangka panjang yang berbasis kearifan lokal.
Tipe kedua adalah zona sasisen sementara yaitu zona yang bisa di buka dan di tutup untuk pengambilan di waktu-waktu tertentu.
“Selain sasi permanen dan adat, ada juga sasi untuk kegiatan sosial seperti pembangunan fasilitas umum atau untuk gereja,” ungkap Eklisa Kafiar, dari lembaga Locally Managed Marine Areas (LMMA) Indonesia, sebuah organisasi nirlaba yang mendampingi masyarakat adat pesisir di Kepulauan Padaido.
Eklisa menjelaskan, buka sasisen banyak dinanti warga karena hasilnya bisa besar. Buka sasi laut biasanya diadakan 1 kali setahun yang dilakukan sesuai kesepakatan. Pada saat hari buka sasi, semua orang makan bersama, mencerminkan sebuah rasa syukur dari berkat yang mereka terima dari alam.
Setelah sasi ditutup, masyarakat kembali menangkap ikan di luar area sasi. Ini dilakukan guna memberikan laut waktu untuk memulihkan kembali dirinya. Secara ekologis praktik ini, sesuai dengan prinsip keberlanjutan.
“Kami di LMMA Indonesia coba menghubungkan antara tradisi dan kearifan lokal dengan pengetahuan ilmiah,” tutur Eklisa.
Namun keseimbangan itu sekarang mulai goyah, saat dengan amat mudahnya kapal-kapal ikan dari luar daerah masuk ke wilayah ini dan melakukan penangkapan di area yang di sasi.

Berdasarkan data dari Taman Wisata Perairan (TWP) Padaido dan Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Biak selama 2023-2024, ada 162 kapal yang lalu lalang di perairan Kepulauan Padaido.
Mereka memang tidak langsung mengambil ikan, namun modusnya menggiring ikan keluar dari lokasi yang disasi dan kawasan tangkapan masyarakat adat.
“Jadi mereka giring dulu ikan-ikan itu, baru mereka tangkap begitu. Perilaku itu licik,” ungkap Eklisa.
Dalam operasinya, mereka menggunakan kapal di atas 10 GT dengan perlengkapan lebih modern. Dalam sekali jaring, tangkapan ikan bisa mencapai 100-200 kg.
Ini tentu berkebalikan jika dibandingkan dengan tangkapan warga lokal yang dilakukan dengan cara dan alat tangkap tradisional. Rata-rata mereka hanya mengambil tangkapan ikan 10 kg sekali melaut dengan perahu tradisional.
Jika harga kisaran ikan karang adalah Rp 50 ribu/kg maka secara kasar kapal dari luar itu dapat mendulang untung hingga Rp 5-10 juta tiap kali menjaring ikan. Tinggal dikalikan berapa kali mereka datang dan menangkap di perairan wilayah adat.
“Kesenjangan sosial itu begitu lebar. Padahal warga tangkap ikan hanya untuk hari itu saja dan tidak dalam jumlah besar,” sebut Eklisa.

Prinsip Keseimbangan dalam Pemanfaatan Alam
Orang-orang di Padaido tak hanya paham ruang laut. Tapi juga sadar betul jika potensi di darat merupakan kekayaan sejati yang menghidupi mereka turun-temurun. Ubi, sagu, talas, hingga keladi menjadi bagian dari keseharian mereka.
Yuna Rumboryas (26) misalnya, setiap hari terbiasa berjalan kaki menempuh jarak sekitar 2 km dari kampungnya di Anobo menuju kebun yang dikelola oleh keret (marga). Bagi perempuan Padaido, kebun ibarat tempat kedua setelah dapur. “Yang ketiga itu, baru urusan laut,” sebutnya.
Dibantu bibinya, Lina Weyai (52), mereka membersihkan kebun. Karena saat itu belum tiba masa panen, mereka hanya memetik daun kasbi untuk kudapan di malam nanti.
Lina bilang, setiap keluarga diberi hak kelola 19 depa atau setara 70 m2. Biasanya dalam satu tahun, mereka menanam 3 jenis tanaman. Meski lahannya kecil, dia bilang itu sudah cukup memenuhi pangan keluarga.
“Lebih banyak ditanami ubi untuk makan keluarga, kelebihannya bisa disimpan,” kata ibu 11 anak dan 5 cucu itu.
Hasil kebun yang disimpan sebagai stok keluarga itu, mereka olah menjadi tepung kering. Meski kadang membeli beras sebagai hasil tukar menjual ikan ke Pasar Bosnik di Biak, namun kebutuhan pangan utama tetap dari kerja berkebun.
Keseimbangan antara menanam kebutuhan karbohidrat di darat, dengan sumber protein dari laut membuat hidup orang Padaidori terpenuhi secara nutrisi. Ini sesuai dengan prinsip sayer fyaduru. Artinya, laut dan tanah adalah tempat yang memberi makan dan membesarkan.
Dalam mengolah lahan mereka gunakan sistem gilir balik, yang biasanya dilakukan setelah tiga tahun berkebun di sebuah lokasi lahan. Cara ini memberi waktu bagi ekosistem untuk pulih secara alami melalui proses suksesi.

Praktik ini mencerminkan kecerdasan ekologis masyarakat dalam menjaga keseimbangan alam. Dengan berpindah lahan secara berkala, mereka menghindari penipisan unsur hara yang umum terjadi pada sistem tanam menetap. Pola ini terbukti efektif menjaga kesuburan dan mencegah degradasi, terutama di bagian lapisan tanah tipis di atas substrat karang seperti di Padaidori.
Tidak ada warga yang menggunakan bibit transgenik. Bibit diturunkan dari hasil panen sebelumnya, disisihkan secara khusus untuk musim tanam berikutnya. Praktik ini menjaga kemandirian benih sekaligus memastikan kesesuaian dengan kondisi tanah dan iklim setempat.
Pupuk menggunakan daun yang berjatuhan. Pestisida mengandalkan kekuatan alam dengan memanfaatkan siklus rantai makanan. Tak ada hama yang di bunuh. Keberadaanya adalah bagian dari keseimbangan alam.
Pengetahuan pengelolaan sumber daya alam bagi orang Padaidori ini telah diwariskan antar generasi. Jika keterampilan mencari ikan lebih banyak dilakukan laki-laki, mengolah kebun lebih banyak dilakukan perempuan.
“Perempuan di sini sudah terbiasa dengan pola hidup seperti ini, pagi di kebun, siang bameti di laut, sore di dapur. Semua dikerjakan dengan gembira,” sebut Yuna.
Hal ini tak terlepas dari pola pendidikan anak di Padaidori yang menyiapkan anak agar kelak mereka dapat melanjutkan hidup dengan memanfaatkan yang tersedia di alam, — baik di darat maupun di laut.
Setelah pulang sekolah, anak laki-laki belajar berburu ikan di laut. Anak perempuan belajar membantu ibu mereka di dapur. Dengan demikian, mereka tidak akan tercerabut dari akar warisan budaya mereka sebagai orang pulau.
“Saya sudah banyak tahu cara menangkap ikan dan berkebun,” kata Nadia Rumboryas (8) seorang anak perempuan. Sejak usia 6 tahun, tangan dan kakinya sudah akrab dengan tanah dan licinnya mengolah kulit ikan.

Kehidupan masyarakat Padaidori yang terkait erat dengan alam ini, sekarang sedang mendapat tantangan. Percepatan pengakuan bagi keberadaan mereka menjadi agenda yang perlu diperjuangkan.
“Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan laut memiliki relasi yang kuat dengan ruang hidupnya, mulai dari daratan tempat mereka tinggal hingga ke laut yang menjadi sumber penghidupan” jelas Lasti Fardilla Noor, Knowledge Management Working Group ICCAs Indonesia (WGII).
“Sayangnya, situasi ego sektoral dan kebijakan telah memisahkan kewenangan antara pola pengelolaan pesisir, laut, dan daratan. Ini membuat masyarakat adat dan komunitas lokal harus menghadapi kerumitan dalam pengakuan hak mereka,” lanjutnya.
Kebijakan eksisting saat ini, menunjukkan sektoralitas pengakuan hak masyarakat adat, di darat yang diatur Kementerian Kehutanan dan ATR/BPN, sementara di laut dan pesisir diatur oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Khusus di wilayah pesisir Indonesia, pengakuan hak atas wilayah adat dan wilayah kelola komunitas lokal pun masih tergolong minim dan lemah. Padahal, tantangan yang mereka hadapi tergolong besar.
“Selain pencurian ikan dan perusakan terumbu karang, mereka juga menghadapi perubahan iklim yaitu naiknya muka air laut yang mengancam pulau tempat mereka tinggal. Belum lagi musim yang terus berubah,” sebut Lasti.
Dalam konteks global, –tutur Lasti, dunia sedang berupaya untuk memenuhi target melindungi 30% kawasan darat dan laut secara efektif pada 2030 sebagaimana tercantum dalam Target 3 kerangka global Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework.
Target ini secara tegas menyatakan bahwa perlindungan keanekaragaman hayati harus dilakukan secara inklusif dan adil, dengan menghormati serta mengakui hak masyarakat adat dan komunitas lokal (IPLCs).
Oleh karena itu, komitmen yang dikenal sebagai 30×30 tidak dapat dicapai hanya melalui penetapan kawasan konservasi formal oleh negara. Target ini harus diraih dengan pelibatan masyarakat adat atau komunitas lokal dan segala kearifan budaya baharinya.
Kawasan yang dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat adat dan komunitas lokal—seperti sasisen, baik di darat dan laut, dan bentuk pengelolaan tradisional lainnya—perlu diakui dan dihitung sebagai bagian dari capaian target tersebut.

“Pendokumentasian praktik konservasi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir dan pemetaan wilayah adat bisa jadi langkah penting yang dilakukan. Ini juga sekaligus untuk mengidentifikasi dan melakukan mitigasi terhadap dampak bencana yang bisa timbul,” imbuhnya.
Bagi masyarakat Padaidori, laut dan pesisir sama pentingnya dengan hutan dan kebun. Semua saling terhubung sebagai satu kesatuan ruang hidup. Bukan hanya soal sumber pangan dan pendapatan, tapi juga bagian dari kehidupan sosial dan kultural mereka.
Artikel ini hasil kerjasama antara Mongabay Indonesia dengan WGII dan LMMA Indonesia
*****
Perahu tradisional orang Padaidori di pesisir laut yang jernih. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia
Hidup dari Laut, Tumbuh di Tanah: Kearifan Kelola Alam Orang Padaidori