- Dua kegiatan akbar yang melibatkan negara-negara pulau dan kepulauan digelar belum lama ini di Busan, Korea Selatan. Keduanya adalah Our Ocean Conference (OOC) dan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).
- Ada banyak topik yang dibahas melalui dua pertemuan itu. Indonesia memanfaatkan momen itu untuk menggalang komitmen menjaga laut secara bersama. Upaya itu dilakukan agar laut bisa tetap lestari dan berkelanjutan.
- Lewat OOC, Indonesia menyampaikan komitmen tentang penataan ruang laut melalui rencana zonasi (RZ) yang meliputi Rencana Zonasi Antar Daerah, Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional, Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
- Sementara APEC menjadi ajang Indonesia untuk menggalang kekuatan melalui kolaborasi dan kerja sama untuk mengelola laut. Komitmen itu sangat penting, karena bisa mendorong terwujudnya tata kelola kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
Sistem data sumber daya perikanan berperan penting dalam melindungi ekosistem laut dan spesies terancam punah. Akurasi data juga akan meningkatkan peluang mewujudkan tata kelola perikanan dan kelautan yang lebih berkelanjutan.
Hal itu menjadi kesepakatan ke-22 dari 30 poin kesepakatan Pertemuan Menteri Kelautan dan Perikanan anggota Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) 2025 di Busan, Korea Selatan (Korsel) belum lama ini. Kesepakatan ini juga menjadi bagian dari Kelompok Kerja Laut dan Perikanan APEC (OFWG).
Pertemuan kelima ini juga menekankan pentingnya kerja sama regional dalam menangani pencemaran, sampah laut, kesiapsiagaan bencana, perikanan keberlanjutan, serta budidaya perikanan. Termasuk, menyepakati Peta Jalan Peningkatan Ketahanan Laut APEC (APEC Ocean Resilience Enhancement Roadmap), yakni, sebuah kerangka kerja untuk meningkatkan manajemen risiko bencana dan memperkuat ketahanan regional.
“Kami mendorong kerja sama dalam APEC untuk mengelola risiko bencana dan memperkuat kesiapsiagaan melalui alat-alat seperti sistem peringatan dini dan pemantauan data bencana laut, guna mendukung keselamatan dan kesejahteraan komunitas pesisir,” demikian bunyi poin nomor lima.
Kang Do-hyun, Wakil Menteri Sains, Teknologi dan Informasi Korsel menyebut, polusi di laut tak hanya mengancam kesehatan manusia, setok ikan, keanekaragaman hayati, dan habitat pesisir. Juga menimbulkan biaya ekonomi dan sosial besar. Karena itu, perlu komitmen bersama dengan memperkuat kerja sama global dan upaya berbasis sains untuk atasi limbah laut.
“Kami juga mendorong implementasi tepat waktu Pedoman Non-mengikat APEC tentang layanan yang mendukung pembersihan limbah laut,” katanya.
Para peserta menyepakati klausul penanganan sampah laut melalui berbagai solusi inovatif dan teknologi yang sesuai. Seperti teknologi pelacakan yang memungkinkan deteksi dan pemulihan peralatan penangkapan ikan yang ditinggalkan, hilang, atau dibuang (ALDFG). Mereka juga berkomitmen untuk meningkatkan kemampuan melalui pertukaran pengetahuan, informasi, dan praktik terbaik yang relevan.
Pertemuan itu juga menyepakati perlunya negosiasi hukum internasional yang mengikat, termasuk di lingkungan laut. Cara Itu dia harapkan bisa berkontribusi pada pengurangan sampah dan mengurangi polusi plastik di ekosistem laut.

Pemulihan ekosistem
Para peserta dari berbagai negara juga memberikan penekanan akan pentingnya pemulihan dan konservasi keanekaragaman hayati ekosistem laut melalui inisiatif regional. Cara itu dilakukan melalui inovasi teknologi yang sesuai, penelitian kolaboratif, serta pelibatan komunitas lokal dan adat.
Hendra Yusran Siry, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut yang hadir dalam pertemuan itu katakan, kerja sama regional sangat penting untuk mewujudkan tata kelola laut yang berkelanjutan. “Konteksnya, untuk melindungi dan memulihkan spesies dan ekosistem laut yang terancam,” katanya.
Indonesia, katanya, terus berupaya memperbaiki tata kelola kelautan perikanan secara berkelanjutan, salah satunya melalui program ekonomi biru. Dalam praktiknya, program ini berusaha menyeimbangkan kebutuhan ekologi dan ekonomi secara bersamaan.
Secara teknis, implementasi program ini terwujud melalui perluasan kawasan konservasi laut (KKL), menerapkan kebijakan penangkapan ikan berbasis kuota, mendorong penguatan budidaya berkelanjutan, mengawasi pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta mengentaskan persoalan sampah di laut dengan melibatkan para nelayan.
Dia menekankan perlunya kerjasama lintas sektoral untuk mengatasi berbagai persoalan utama di lautan saat ini. Mulai dari dampak perubahan iklim, polusi, hingga penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF).
Nimmi Zulbainarni, pengajar Sekolah Bisnis IPB University menyatakan, sebagai negara dengan ⅔ wilayah berupa lautan, kerjasama lintas negara yang tergabung di APEC sangat penting bagi Indonesia. Salah satunya, untuk menjaga keberlanjutan sumber daya laut, dimana laut tidak mengenal batas negara.
Tanpa ada kerja sama, mengatasi persoalan polusi di satu wilayah atau penangkapan ikan berlebih (overfishing) juga akan sulit. Mengingat, dampak yang timbul juga akan menyebabkan lintas batas wilayah. “Kerja sama regional juga bisa mendorong penegakan hukum lintas negara, pengelolaan perikanan terukur, dan konservasi ekosistem laut,” katanya kepada Mongabay.
Kerjasama regional juga penting berkaitan dengan perdagangan dan akses pasar, serta penanggulangan aktivitas penangkapan ikan ilegal, tak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF). “Tanpa kerjasama, pengelolaan laut tidak bisa dilakukan secara efektif karena laut adalah ekosistem terbuka dan lintas negara.”
Nimmi juga mengomentari beberapa kesepakatan yang dicapai dalam forum AOMM di Korsel. Menurutnya, kesepakatan itu akan mendorong kerja sama, mendorong kolaborasi dalam penelitian, pengumpulan dan analisis data lingkungan laut dengan pendekatan teknologi. Terlebih, Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam seperti tsunami, badai tropis, dan kenaikan permukaan laut.
Implementasi kesepakatan ini dapat membantu Indonesia dalam banyak hal. Di antaranya, meningkatkan kapasitas pemantauan dan respons bencana melalui teknologi canggih dan kerja sama regional, melindungi mata pencaharian masyarakat pesisir, memperkuat kebijakan dan strategi adaptasi perubahan iklim berbasis data dan bukti ilmiah.
Nimmi mengapresiasi pembentukan APEC Ocean Resilience Enhancement Roadmap yang akan menjadi panduan bagi negara-negara anggota dalam meningkatkan ketahanan masyarakat pesisir terhadap bencana dan perubahan iklim.
“Kesepakatan ini menjadi langkah konkret menuju pembangunan masyarakat pesisir yang lebih tangguh dan sejahtera di kawasan Asia-Pasifik, termasuk Indonesia.”

Dukung ekonomi biru
Dukungan sama juga Nimmi sampaikan pada program ekonomi biru yang pemerintah gaungkan. Konsep itu dia anggap mampu mengawal Indonesia menuju keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan pelestarian ekologi.
Terutama karena negara ini memiliki lebih kurang 17.000 pulau, 106.000 km garis pantai, dan wilayah Indonesia 70% adalah lautan. Ekonomi biru mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan sosial.
“Artinya, laut bukan hanya untuk dieksploitasi, tetapi diolah secara bijak agar tetap produktif dan lestari.”
Dia mendorong pemerintah lebih aktif melindungi ekosistem laut dari degradasi akibat overfishing dan polusi, meningkatkan kesejahteraan nelayan kecil melalui akses pasar dan pelatihan, serta mengadopsi teknologi baru untuk efisiensi dan keberlanjutan sektor perikanan.
Berkaitan dengan rencana aksi ketahanan laut yang sudah disepakati anggota APEC, menurut Nimmi, adalah menjaga kelestarian ekosistem laut dan pesisir agar tetap mampu menyediakan jasa ekosistem seperti perikanan, pariwisata, atau perlindungan dari badai.
“Memastikan aktivitas ekonomi laut tetap berkelanjutan dan inklusif, serta mengurangi kerentanan masyarakat pesisir melalui kebijakan adaptif dan peningkatan infrastruktur tangguh iklim.”
Kartika Listriana, Direktur Jenderal Penataan Ruang Laut, KKP mengatakan, penataan ruang laut adalah dasar dari seluruh pemanfaatan ruang yang ada di wilayah pesisir dan laut. Tujuannya, agar tercipta keselarasan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian ekosistem pesisir dan laut.
Saat ini, KKP menyiapkan serangkaian regulasi berkaitan dengan penataan ruang laut meliputi Rencana Zonasi Antar Daerah, Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional, hingga Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
Penataan ruang laut berkelanjutan merupakan kunci mewujudkan ketahanan laut dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Untuk mewujudkannya, perlu integrasi tata ruang laut yang baik, serta pemanfaatan yang bertanggung jawab.
Selain rencana zonasi, dia menyebut kalau Indonesia juga menyampaikan lima komitmen lain seperti pengelolaan karbon biru yang lebih kuat melalui skema menghitung cepat nilai karbon biru padang lamun di 20 kawasan konservasi laut.
Lalu, menginisiasi blue carbon network and database, memperkuat kolaborasi dan kerja sama di forum internasional, memformulasikan kebijakan pengelolaan karbon biru hingga pedoman penghitungan nilainya. “Kami akan membangun 15 kawasan konservasi perairan hingga 2027.”

*****
Penangkapan Ikan Terukur Jadi Fokus Utama Ekonomi Biru Indonesia di 2025