- Tanah longsor di kawasan tambang galian C Koperasi Pondok Pesantren Al-Azhariyah di Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menyebabkan puluhan orang tewas. Data Tim SAR Gabungan, 2 Juni 2025, ada 21 orang tewas, empat masih dalam pencarian. Korban luka ada sekitar tujuh orang.
- Pemerintah Cirebon menetapkan status tanggap darurat longsor 30 Mei-6 Juni 2025. Dalam keterangan BNPB, pencarian korban terus dilakukan tim SAR gabungan. Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat juga kunjungi lokasi longsor dan tegaskan cabut izin tambang galian C itu.
- Polresta Cirebon, menetapkan dua tersangka dalam tragedi longsor tambang Gunung Kuda ini. Kedua orang itu adalah A.K alias A Karim, ketua koperasi juga pemilik tambang dan A.R alias Ade Rahman, sebagai kepala teknik tambang.
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengimbau, warga yang tinggal di dekat lokasi longsor untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan juga tak mendekat ke lokasi.
Junanta terisak. Bahunya berguncang. Tangan menunjuk luka-luka yang belum kering. Sorot mata kosong. Suara parau. Junanta bersyukur lepas dari maut. Tak banyak kata keluar dari mulut lelaki 40 tahun ini, selain ucapan syukur berkali-kali.
Junanta, salah satu pekerja tambang galian C yang selamat saat terjadi longsor di tambang kelolaan Koperasi Pondok Pesantren Al-Azhariyah, di Gunung Kuda, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat,30 Mei lalu. Sehari-hari, dia jadi operator alat berat di sana.
“Longsor memang tiap tahun selalu terjadi, tapi kali ini terjadi di jam kerja,” katanya lirih.
Longsor di lokasi tambang itu terjadi pagi hari sekitar pukul 10.00 WIB. Data Tim SAR Gabungan, 2 Juni 2025, ada 21 orang tewas, empat masih dalam pencarian karena longsor di area tambang batu kapur dan batu alam itu. Korban luka ada sekitar tujuh orang.
Pemerintah Cirebon menetapkan status tanggap darurat longsor 30 Mei-6 Juni 2025. Dalam keterangan BNPB, pencarian korban terus dilakukan tim SAR gabungan. Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat juga kunjungi lokasi longsor dan tegaskan cabut izin tambang galian C itu.
Sependek pengetahuan Junanta, longsor terakhir terjadi menjelang Lebaran Idul Fitri awal April lalu. Saat itu, tak ada korban jiwa, karena malam hari dan para pekerja sedang libur.
“Kemungkinan longsor (kemarin), sisa dari longsoran sebelumnya.”
Pengalaman bekerja selama tujuh tahun, Junanta pun paham medan. Dia tandai dengan turunan batu dari atas, firasat longsor mengganggu pikirannya.
“Saya beberapa kali laporan tapi tidak direspon,” ujar Junanta. “Sampai hari itu saya marah sekali dan memaksa mandor untuk mengecek ke lokasi.”
Suaranya makin pelan.
“Saya baru muat satu mobil dan seketika itu longsor batu dari sisi timur tebing menghantam beko dan banyak orang tertimbun.”

Hidup dan mati hanya berjarak 20 meter dari tebing. Beko yang ditumpanginya oleng ke kiri. Kaca pecah. Kaki terjepit. Batu dengan ukuran besar terjun bebas menghantam apa saja yang ada di bawah.
“Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi.”
Sarif kerabat Junanta, membawanya dalam keadaan pingsan. Dia langsung bawa ke puskesmas untuk pengobatan dan boleh pulang.
Sebelumnya, Sarif juga bekerja di tambang tetapi berhenti lantaran penghasilan sebagai buruh borongan tidak sebanding dengan risikonya.
“Dulu saya juga pemecah batu, tapi istri selalu merengek minta cari pekerjaan lain yang lebih aman,” katanya.
Sebelum menjadi operator beko, bapak tiga anak ini juga pemecah batu koral dengan upah Rp50.000-Rp150.000 per rit.
Kemudian dia mencoba peruntukan jadi kenek alat berat hingga diangkat sebagai karyawan tetap pada 2017.
Tak ada persyaratan khusus atau pelatihan dari ahli atau orang berkompeten untuk bekerja di tambang.
“Hanya ada mandor saja yang mengontrol dan mengarahkan.”
Mereka bekerja di tambang delapan jam sehari. Setiap bulan JUnanta menerima gaji pokok Rp1 juta dengan insentif dan uang makan Rp250.000 sehari.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengimbau, warga yang tinggal di dekat lokasi longsor untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan juga tak mendekat ke lokasi.
“Pantau berkala kondisi tanah di sekitar rumah dan debit air di sekitar aliran sungai. Jika terjadi hujan terus menerus selama dua jam atau lebih, warga hendaknya segera evakuasi mandiri ke tempat yang lebih aman,” kata Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB dalam rilis kepada media 2 Juni lalu.
Dia mengatakan, pencarian terus tim gabungan lakukan. Kawasan Gunung Kuda, merupakan perbukitan pasir dan batuan. Bukit ini, katanya, memiliki sudut kelerengan atau kemiringan lereng cukup terjal lebih 45 derajat.
Dari kajian risiko bencana, kata Abdul, kawasan ini termasuk rawan longsor meskipun tanpa ada aktivitas pertambangan. Bukit-bukit dengan karakteristik serupa Gunung Kuda, katanya, cukup banyak ditemui di Jawa Barat.

Polisi tetapkan tersangka
Sementara itu, Polresta Cirebon, menetapkan dua tersangka dalam tragedi longsor tambang Gunung Kuda ini. Kedua orang itu adalah A.K alias A Karim, ketua koperasi juga pemilik tambang dan A.R alias Ade Rahman, sebagai kepala teknik tambang.
“Keduanya mengetahui jika pertambangan sudah dilarang karena tidak memiliki izin operasi produksi yang sah,” kata Sumarni saat jumpa pers.
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Barat keluarkan surat larangan pada 8 Januari 2025 diperkuat dengan surat peringatan kedua 19 Maret 2025 oleh Dinas ESDM Wilayah VII Cirebon karena tambang belum mendapat persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).
Dalam proses penyidikan, kepolisian mengamankan sejumlah barang bukti seperti alat berat dan surat menyurat soal tambang itu.
Sumarni mengatakan, kedua tersangka terjerat Pasal 98 dan 99 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara, denda Rp15 miliar.
Polisi juga mengenakan Pasal 35 UU Ketenagakerjaan, UU Nomor 1/1970 tentang Keselamatan Kerja, serta Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan hilang nyawa orang lain.

Longsor berulang, kok baru tahun ini pelarangan?
Ono Surono, Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, mempertanyakan, ihwal surat tugaran kepada tambang baru tahun ini padahal aktivitas sudah sejak lima tahun lalu.
Dia nilai, ada pembiaran terbukti dengan tidak ada tindakan tegas dari pemerintah selama pengawasan.
Secara historis, katanya, pertambangan di Gunung Kuda mulai sejak 1950-an. Pertambangan lebih modern pakai alat berat baru pada 1995.
Dia bilang, longsor di pertambangan Gunung Kuda ini terjadi sejak 2017. Waktu itu ada tujuh orang tewas. Pada 2021, juga longsor tetapi tak ada korban jiwa.
“[Tahun ini] korbannya tidak hanya penambang juga ada pedagang,” kata Ono saat meninjau lokasi tambang. Tentu saja ini menjadi indikasi betapa kacaunya mengelola tambang.
Ono duga, secara formal perusahaan tambang memiliki izin apalagi sudah eksploitasi masif.
Dia pun mendukung niatan Pemerintah Jabar akan mencabut izin tambang dan unsur pidana proses di kepolisian agar bisa berikan efek jera.
Ono mendorong, evaluasi dari aspek rencana tata ruang wilayah (RTRW), mengingat lahan pertambangan itu area kelola Perhutani Jabar-Banten. Jadi, dalam perizinan rentan terjadi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang antara zona tambang dengan zona hijau.
“Saya pun mendorong pemerintah menghitung valuasi ekonomi. Karena area tambang seluas ini juga mencemari sungai yang berdampak langsung ke area pertanian di lebih dari tiga kecamatan di Cirebon.”
Dia bilang, tindakan mengorbankan lingkungan semacam ini jelas merugikan. “Jangan sampai kejadian ini memicu bencana yang lebih besar.”
Kerugian ekonomi Cirebon saja belum tergantikan akibat terjangan banjir. Pada 2023, misal, banjir di Cirebon merendam 5.760 hektar lahan sawah di 13 kecamatan, menyebabkan kerugian sekitar Rp23,7 miliar.

Audit dan cabut izin tambang di Jabar
Bambang Tirto Mulyono, Kepala Dinas ESDM Jawa Barat, mengatakan, longsor bukan murni bencana alam. Longsor itu konsekuensi pembiaran sistemik yang terjadi terhadap praktik pertambangan yang buruk.
Dengan kejadian di Gunung Kuda ini, Pemerintah Jabar akan audit pertambangan di provinsi ini. Setidaknya, ada 342 izin termasuk pertambangan eksplorasi dan operasi produksi.
Bambang bilang, pendapatan asli daerah (PAD) dari tambang terbilang kecil. Contoh, 2024, penerimaan tambang hanya Rp258 miliar atau 7% dari total pendapatan Rp25 triliun.
“Memang tidak linier antara pendapatan dengan kerusakan yang ditimbulkan,” katanya.
Izin eksplorasi pemerintah berikan selama lima tahun. Setiap tiga tahun ada evaluasi.
Kini, IUP perusahaan sudah dicabut, yakni, Koperasi Pondok Pesantren Al-Ishlah dua izin, PT Aka Azhariyah Group satu izin dan Koperasi Pondok Pesantren Al-Azhariyah satu izin.
Bambang bilang, status perizinan, akan klasifikasi jadi beberapa kategori. Tolok ukur berdasarkan kepatuhan terhadap standar keselamatan, hingga kontribusi terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
“Kami kejar satu tahun ini (audit izin) beres,” katanya.
Berdasarkan Peta Geologi dari Pusat Survei Geologi, batuan penyusun di di lokasi bencana termasuk ke dalam satuan batuan terobosan andesit hipersten (Hya) yang memiliki komposisi mineral hipersten, plagioklas, dan sedikit kuarsa. Berdasarkan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Cirebon, daerah itu terletak di Zona Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi.

*****
 
                           
                           
                           
                           
             
             
             
             
             
             
            