- Kebijakan pemasangan vessel monitoring system (VMS) atau sistem pemantauan kapal perikanan (SPKP) menuai protes dari para nelayan kecil karena memberatkan nelayan kalau teknologi itu perlu biaya mahal. Nelayan kecil mengaku terbiasa mengarungi lautan luas, telah mempelajari ilmu perbintangan, dan ilmu falak sebagai petunjuk saat mengarungi lautan. Sehingga tidak membutuhkan VMS untuk keperluan pendeteksi dan navigasi.
- Pemerintah melakukan perbaikan dan transformasi tata kelola perikanan melalui penangkapan ikan terukur, perbaikan data perikanan, pengawasan perikanan dan perlindungan awak kapal perikanan dan pemberdayaan nelayan. VMS berperan penting memantau pergerakan kapal dalam melakukan penangkapan ikan.
- Menurut Guru Besar bidang Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB University, Budy Wiryawan, pemerintah perlu memberikan subsidi sesuai kebutuhan. Selama ini subsidi diberikan dalam bentuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), bantuan jaring, alat tangkap, dan bantuan kapal. Subsidi VMS, kini menjadi prioritas utama..
- Senior Manager Perikanan Berkelanjutan, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Glaudy Perdanahardja meyarankan pemerintah lebih piawai berkomunikasi dengan menggunakan pendekatan populis. Agar pesan tepat sasaran dan para pemilik kapal secara sukarela memasang VMS, bukan sebatas kewajiban.
Kebijakan pemasangan vessel monitoring system (VMS) atau sistem pemantauan kapal perikanan (SPKP) menuai protes dari para nelayan kecil karena memberatkan nelayan kalau teknologi itu perlu biaya mahal.
Gelombang unjuk rasa silih berganti mulai dari Muara Angke (Jakarta), Gorontalo, Lombok (Nusa Tenggara Barat), hingga Cilacap dan Rembang (Jawa Tengah). Mewakili nelayan Lombok, Amin Abdullah, Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) menuturkan, semula regulasi ini hanya berlaku untuk kapal di atas 30 gross tonnage (GT), kini berlaku wajib untuk di bawah itu. Dengan biaya alat yang capai Rp20 juta plus biaya air time sekitar Rp500.000 perbulan, kebijakan itu memberatkan nelayan kecil.
VMS, katanya, merupakan alat berteknologi tinggi sedangkan tak banyak nelayan paham teknologi informasi (TI). “Selain mahal, VMS juga tidak efektif, tidak terlalu berguna. Kegunaan dan dengan harganya tidak seimbang,” katanya.
Kapal berbobot 30 GT di Lombok 200-an dan tersebar di berbagai pangkalan. Meliputi Pelabuhan Lombok dan Tanjung Luar dengan Awak Kapal Perikanan (AKP) 5-7 orang. Kapal-kapal itu melaut di atas 12 mil dari bibir pantai. Rerata pemilik kapal, sekaligus sebagai kapten kapal.
Menurut Amin, sumber daya manusia nelayan tak bisa dibandingkan AKP yang bekerja di kapal perusahaan yang rata-rata berbobot di atas 50 GT. Para nelayan kecil, katanya, tak memiliki pendidikan formal perkapalan.
Kebijakan itu menjadi pukulan bagi nelayan di tengah pendapatan nelayan kecil dengan pendapatan yang tak menentu. Nelayan, katanya, sudah terbiasa mengarungi lautan. Mereka mempelajari ilmu perbintangan, dan ilmu falak sebagai petunjuk saat mengarungi lautan. Hingga tidak perlu VMS untuk keperluan deteksi dan navigasi. “Ini kan kepentingan pemerintah untuk memantau pergerakan nelayan,” katanya.
Karena itu, kata Amin, idealnya pemerintah turut membiayai atau memberi subsidi untuk membeli peralatan VMS. Selain itu, melatih para nelayan pengoperasiannya.
Selama ini, para nelayan masih menghadapi berbagai persoalan. Terutama berkaitan dengan mahalnya biaya perizinan dan proses rumit. Misal, pengurusan izin yang tidak hanya cukup di Dinas Perikanan lokal, juga di kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Hubla).
Di Bima, Pulau Sumbawa, nelayan harus ke Kantor Hubla di Lembar, Lombok Barat untuk urus izin. Dengan jarak sekitar 200 kilometer, perlu 4-5 jam perjalanan dengan menggunakan kapal ferry.
“Memberatkan nelayan, jarak tempuh jauh dan membutuhkan biaya besar. Untuk mendapatkan grosse akta misalnya, harus memenuhi persyaratan seperti surat ukur, surat keterangan tukang, surat keterangan kepala desa, surat keterangan macam-macam.”
Grosse akta, merupakan satu perlengkapan administrasi mengurus izin-izin lain. Setelah segala surat perizinan lengkap, katanya, nelayan harus melengkapi dengan surat keterangan persetujuan berlayar. “Setelah melaut, pulangnya harus lapor. Seolah pemerintah yang punya laut, nelayan hanya penyewa,” katanya.
Dia juga mengeluhkan sulitnya mengakses bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Alasannya, banyak kapal nelayan tak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan rekomendasi mengakses BBM bersubsidi.

Bukan hanya pantau gerak kapal
Abdu Suhufan, Tenaga Ahli Menteri KKP Bidang Perlindungan Nelayan dan AKP menuturkan, VMS sangat penting. Tidak hanya untuk memantau pergerakan kapal guna memastikan kesesuaian izin penangkapan juga perbaikan data tangkapan dan keselamatan operasional penangkapan.
“Bayangkan di lautan yang sangat luas, lalu tidak ada tracking kapal. Jika terjadi kecelakaan, VMS penting menentukan lokasi untuk tindakan dan pertolongan dan penyelamatan. Jadi, ini sangat penting bagi pemilik kapal dan nelayan.
Menurut dia, kewajiban memasang VMS sejatinya sudah ada sejak lama. Dasar hukum antara lain Undang-undang Perikanan 2004, UU Cipta Kerja, PP Nomor 27/2021, dan PP Nomor 5 /2021. Juga, PP 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.
“Jadi VMS bukan hal baru, tetapi ketentuan yang sudah lama diwajibkan kepada setiap orang yang diberikan izin penangkapan ikan, baik izin pemerintah pusat maupun izin daerah,” katanya.
Setiap kapal berukuran di atas 5 GT wajib memasang dan mengaktifkan transmitter, baik untuk kapal izin daerah yang beroperasi di bawah 12 mil laut maupun kapal izin pusat di atas 12 mil laut.
“Namun melihat kondisi di lapangan dan hasil diskusi dengan pemangku kepentingan, untuk kapal 5-30 GT diberikan transisi kewajiban pemasangan VMS untuk memberikan kemudahan dan persiapan yang lebih kepada pelaku usaha.”
Merujuk surat edaran (SE) KKP No 2403/2024 tentang Transisi Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), kapal 5-30 GT yang merupakan hasil migrasi dari izin daerah ke pusat karena beroperasi di atas 12 mil masih diberikan waktu sampai dengan 31 Desember 2025.
“Sejauh ini sambutannya sangat bagus. Dari 5.190 kapal hasil migrasi yang SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan)-nya aktif, sebanyak 756 sudah memasang VMS, sisanya 4.425 kapal diberikan waktu sampai dengan 31 Desember 2025,” ujar Abdi.
Pemerintah, katanya, tengah melakukan perbaikan dan transformasi tata kelola perikanan melalui penangkapan ikan terukur, perbaikan data perikanan, pengawasan perikanan dan perlindungan awak kapal perikanan dan pemberdayaan nelayan. Data KKP menunjukkan, sebagian besar kapal perikanan umumnya menangkap di atas 12 mil laut. Termasuk kapal yang berukuran 5-30 GT.
Melaut lebih jauh, katanya, berisiko semakin besar. Sehingga dibutuhkan alat untuk mitigasi risiko dan mencatat data dan melacak keberadaan kapal. Dibanding negara-negara lain, sesungguhnya Indonesia sudah ketinggalan jauh.
“Ketertelusuran menjadi salah satu syarat ekspor atau syarat negara tujuan ekspor,” katanya.
Sehingga pengekspor, harus menjamin ikan ditangkap dengan benar, menggunakan alat tangkap sesuai ketentuan, tidak ditangkap secara legal, dan penanganan mutu yang baik sesuai perizinan.
Konsumen luar negeri, katanya, menolak menerima ikan IUFF (Illegal, Unreported and Unregulated Fishing) atau praktik penangkapan ikan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan, dan tidak diatur. “Pasar ekspor memiliki syarat dan ketentuan yang ketat tapi harga yang relatif tinggi dibanding domestik. Sehingga penangkapan ikan harus tranparan dan bebas IUUF,” ujar Abdi.
Ketentuan memasang VMS, katanya, tak hanya kebutuhannya pemerintah, tapi juga untuk pemilik kapal, AKP dan nelayan, bahkan akademisi. Ia menegaskan, kewajiban pemasangan VMS diberikan kepada pemilik kapal bukan kepada anak buah kapal (AKP) yang tidak memiliki kapal.
Abdi katakan, KKP telah melakukan pertemuan di sentra-sentra nelayan, bertemu dengan pemerintah daerah, DPRD, dan pihak lain untuk sosialisasi pemasangan VMS.
Untuk kapal 5-30 GT, menurut Abdi, harga VMS sekitar Rp5 juta. Sedangkan air time Rp4,5 juta setahun atau Rp375 ribu sebulan. Sebagai perbandinagn, hasil tangkapan kapal ikan ukuran 20 GT bisa mencapai Rp1 miliar.
KKP terus koordinasi intensif dengan penyedia layanan VMS untuk menemukan teknologi yang semakin murah terutama bagi kapal 5-30 GT. “Juga melibatkan perguruan tinggi untuk meneliti teknologi VMS yang bisa diproduksi massal,” ujarnya.
KKP mendata jumlah kapal yang memiliki izin pusat aktif saat ini sebanyak 13.480 kapal. Sedangkan kapal yang memiliki izin daerah aktif sekitar 10.355 kapal. Kapal izin pusat adalah kapal 5-30 GT atau lebih yang beroperasi di atas 12 mil laut. Sedangkan kapal izin daerah adalah kapal 5-30 GT yang beroperasi di bawah 12 mil di wilayah provinsi bersangkutan.
Kapal itu beroperasi tersebar di enam zona penangkapan ikan terukur di 12 wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Data statistik perikanan tangkap 2023, produksi ikan secara nasional termasuk dari kapal-kapal nelayan kecil (di bawah 5 GT) sebanyak 7,845 juta ton. Dengan nilai produksi Rp223,04 triliun.

Opsi subsidi
Budy Wiryawan, Guru Besar bidang Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB University, menjelaskan, kapal ber-VMS akan memiliki akses pasar lebih kuat dan daya saing lebih karena memiliki ketelusuran yang lebih jelas. Sejumlah negara di Eropa, Amerika, Jepang dan beberapa negara lain, katanya, hanya menerima ikan bebas IUUF.
“Nah, meski kapal kecil jika produknya ekspor, biasanya menggunakan VMS. Ada kapal-kapal di bawah 5 GT dipasang VMS.”
Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) banyak membantu sertifikasi dan pengadaan VMS untuk kapal kecil sehari pulang atau one day fishing,.
Opsi lain, kata Dewan Pembina MDPI ini adalah pelibatan perusahaan ekpor untuk membantu biaya pengadaan VMS.
Dia jelaskan, salah satu implementasi VMS turut mendukung usaha penangkapan ikan terukur. VMS juga memiliki banyak manfaat. Bisa melacak lokasi secara real time, saat terjadi kondisi darurat atau kecelakaan di tengah laut, menghitung produksi untuk menentukan berapa besar penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Budy mendorong pemerintah intensif melakukan sosialisasi dan memberikan subsidi biaya pemasangan VMS. “Mungkin perlu dialihkan subsidi dan bantuan jaring, alat tangkap, dan bantuan kapal. Saya kira, VMS prioritas satu.”
Dia meminta, nelayan tidak perlu khawatir bahwa pemasangan VMS membebani nelayan. Sebab, dampaknya lebih besar karena kepercayaan dunia internasional. Budy sebagai pembina MDPI, telah mendampingi kelompok nelayan memasang VMS di Pulau Buru, dan Pulau Seram Pulau. Jika dihitung-hitung bisa murah, jika dalam pembelian banyak. “Pemerintah mungkin tidak mampu semua kan. Perlu prioritas,” katanya.

Perlu pendekatan populis
Glaudy Perdanahardhja, Senior Manager Perikanan Berkelanjutan, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menilai, alat tersebut membantu memantau lokasi kapal, untuk keamanan.
Dia mengisahkan, seringkali istri nelayan menanyakan kabar suaminya yang melaut berhari-hari. “Kemudian kita cek posisinya dan dilapor ke tim SAR untuk di-followup-i,” katanya.
Pengalaman ini, katanya, bisa dibungkus menjadi salah satu manfaat pemasangan VMS. Semestinya dipromosikan lebih karena berkaitan dengan keselamatan, nyawa. VMS bisa lebih diandalkan jika radio rusak atau tak bisa digunakan berkomunikasi. VMS tetap bisa mengirimkan sinyal melalui satelit, jika terjadi kecelakaan di laut
Perusahaan pemilik kapal, katanya, mesti melihat VMS sebagai investasi untuk keselamatan AKP dan keamanan kapal. Jika terjadi insiden, mudah menemukan lokasi dan memberikan pertolongan. “Harga kapal mahal, jika loss perusahaan mengalami kerugian besar,” ujarnya.
Pemerintah, katanya, harus piawai berkomunikasi dengan menggunakan pendekatan populis. Agar pesan tepat sasaran dan para pemilik kapal secara sukarela memasang VMS, bukan sebatas kewajiban.
YKAN juga berpengalaman mendata kapal nelayan dan memasang spot trace sebuah alat anti theft device. Semacam alat keamanan untuk kendaraan dan kapal, jika dicuri bakal terlacak posisinya. Alat tersebut telah dipasang di seribu kapal lebih sejak 10 tahun lalu.
“Pemerintah, juga bisa memberikan opsi subsidi untuk kapal tertentu, asal pendataannya jelas dan lengkap. Siapa sasaran penerima subsidi tersebut.”
Dalam konteks bebas IUU, katanya, pasar internasional hanya menerima ikan yang asal usulnya jelas. Berasal dari daerah tangkapan yang jelas, dan bukan produk ilegal. Bahkan, tidak diizinkan dicampur dengan ikan-ikan yang ilegal. “Sebenarnya ingin melindungi produk Indonesia dan juga pasar Indonesia jika penangkapan perikanan di Indonesia free IUU.”
*****