- Sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia sekitar 170 ribu ton per hari atau 63,8 juta ton per tahun. Ini setara dengan 4.800 bangunan Candi Borobudur.
- Pengelolaan sampah hanya dua cara, yaitu pengurangan dan penanganan. Namun, minimnya upaya pengurangan yang dilakukan masyarakat, penanganan berupa open dumping bisa menjadi opsi.
- Bank sampah dan komposting merupakan cara efektif untuk mengurangi sampah. Namun, cara ini belum dilakukan semua orang sehingga belum maksimal.
- Pemerintah melalui Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional [Jakstranas] Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, menargetkan pengurangan sampah sebesar 30% tahun 2025. Pemerintah juga menetapkan indikator air bersih dan sanitasi layak pada 2030.
Sampah masih menjadi persoalan utama di Indonesia.
Pendiri Greenation Indonesia Mohammad Bijaksana Junerosano, mengatakan sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia sekitar 170 ribu ton per hari atau 63,8 juta ton per tahun. Ini setara dengan 4.800 bangunan Candi Borobudur.
Angka tersebut akan tercapai bila pengelolaan sampah tidak berjalan baik. Terutama, upaya pengurangan sampah dari setiap rumah tangga.
“Setiap orang bisa membatasi konsumsi dan perusahaan bisa mengurangi produk,” ujarnya, Kamis [4/7/2024].
Menurut Bijaksana, pengelolaan sampah hanya dua cara, yaitu pengurangan dan penanganan. Namun, minimnya upaya pengurangan yang dilakukan masyarakat dan ketidakmampuan pemerintah mengelola sampah sebagaimana kewajibannya, membuat opsi praktik keliru dan melanggar hukum, seperti open dumping terjadi.
“Sampah saat ini lebih banyak dikumpulkan dan ditimbun, hanya sebagian kecil didaur ulang.”
Undang-undang serta turunannya, maupun peraturan tingkat daerah, harusnya dijalankan. Dengan begitu, persoalan sampah bisa diselesaikan.
“Yang tidak ada adalah mekanisme penegakan hukum,” paparnya.

Hanie Ismail, dari Komunitas Nol Sampah Surabaya, mengatakan mengurangi produksi merupakan cara efektif terkait volume sampah. Sampah organik rumah tangga misalnya, prosentasenya mencapai 60 persen dari keseluruhan sampah yang dihasilkan.
“Sampah organik dikembalikan ke alam sementara anorganik diolah menjadi produk bermanfaat. Namun, faktanya cukup kecil angka yang bisa disumbangkan dari metode ini.”
Dari 1.000 lebih TPS 3R yang dibangun Kementerian PUPR di seluruh Indonesia, Hanie menyebut, tidak semua dijalankan dengan baik, karena biaya operasional mahal dan sulit mengedukasi masyarakat.
“Sampah organik hanya terserap 20-30 persen, karena dibawa ke TPA. Tidak semua rumah juga melakukan pemilahan.”
Kesungguhan penerapan regulasi diharapkan menjadi solusi tata kelola sampah saat ini.
“Regulasi harus diterapkan, termasuk pemilahan di rumah tangga. Ini juga sudah diturunkan aturannya dari undang-undang, perda, maupun perbup atau perwali,” ujarnya.
Bijaksana menambahkan, upaya pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sebesar 30 persen sebagai target Kebijakan dan Strategi Nasional [Jakstranas] pada 2025, masih sulit dicapai.
“Kita masih jauh dari capaian itu, sekarang tahun 2024,” jelasnya.
Pemerintah melalui Perpres No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional [Jakstranas] Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, menargetkan pengurangan sampah sebesar 30% tahun 2025. Pemerintah juga menetapkan indikator air bersih dan sanitasi layak pada 2030.
Berdasarkan laporan National Plastic Action Partnership [NPAP] dan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], baru sekitar 39%–54% sampah di Indonesia yang terkelola baik. Sisanya, telah dan berpotensi mencemari lingkungan.

Optimalkan bank sampah
Salah satu upaya pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah bank sampah.
Di sini, sampah organik yang telah disisihkan dari rumah, dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk organik hingga pakan magot. Sedangkan sampah anorganik berupa plastik, kaleng, besi, karton, dan yang masih bernilai ekonomi akan dikumpulkan dan dijual sehingga menghasilkan uang bagi warga.
Wahyu Oktorianto, pengelola Bank Sampah Pin-Pin, di RT 5 RW 6, Kelurahan Sambikerep, Kecamatan Sambikerep, Kota Surabaya, Jawa Timur, mengaku menerima manfaat hadirnya bank sampah.
“Uang yang terkumpul dapat dikonversi menjadi uang elektronik dan digunakan untuk membayar rekening listrik.”
Bank ini, lanjut Wahyu, mampu mengurangi volume sampah kering 800 kg hingga 1 ton per bulan.
“Meski belum 100 persen mengubah kebiasaan warga, namun sudah banyak yang terlibat pengelolaannya,” jelasnya, Rabu [3/7/2024].
Dedik Irianto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya, menyebut terdapat 450 bank sampah di penjuru Surabaya, ditambah satu bank sampah induk. Fungsinya, tempat pemilahan sampah dan menjual sampah bernilai ekonomis.
Diperkirakan, volume sampah yang dihasilkan warga Surabaya sekitar 1.800 ton per-hari. Angka itu disumbang dari sekitar tiga juta penduduk Surabaya, belum termasuk warga luar yang bekerja di Surabaya pada pagi hingga sore.
“Pengurangan melalui berbagai pengelolaan mampu mereduksi sampah 300-500 ton setiap hari. Volume yang masuk ke TPA Benowo sekitar 1.300 hingga 1.500 ton per-hari,” terangnya.
Penyediaan 10 TPS 3R [reduce, reuse, dan recycle] oleh pemerintah Surabaya dengan fasilitas pemilah sampah, diharapkan mampu mengurangi volume sampah yang dikirim ke TPA.
“Sangat efektif bila pemilahan dimulai dari rumah,” terangnya, Rabu [3/7/2024].

Metode pengelolaan sampah
Guru besar Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember [ITS] Surabaya, Warmadewanthi, menilai bank sampah dan komposting merupakan cara efektif untuk mengurangi sampah. Namun, cara ini belum dilakukan semua orang sehingga belum maksimal.
“Tidak hanya itu, fasilitas pengangkutan sampah dari rumah tangga ke TPS masih minim. Selain itu, sampah yang telah dipilah warga langsung dicampur ketika diangkut ke TPA,” terangnya, Kamis [4/7/2024].
Menurut dia, pemerintah seharusnya tidak hanya mengangkut sampah dari tempat penampungan sementara [TPS] ke tempat pembuangan akhir [TPA], melainkan juga memfasilitasi dari lingkungan warga ke TPS secara gratis. Caranya, dengan menyediakan wadah sesuai jenis sampah yang telah terpilah.
“Langkah ini akan mencegah warga membuang sampah sembarang, maupun yang enggan memilah.”
Terdapat tiga teknologi pengelolaan sampah, yaitu fisik, kimia, dan biologi. Hal ini tidak lepas dari banyaknya komposisi sampah sisa makanan di masyarakat, sehingga dibutuhkan teknologi yang tepat menanganinya.
Selain komposting, yang dinilai paling murah dan mudah dilakukan, teknologi membakar residu bisa diterapkan untuk mengurangi sampah, tanpa perlu khawatir dampak kesehatan dan lingkungan. Namun, belum banyak industri atau daerah yang memiliki teknologi pembakaran standar.
“Tidak semua teknologi membakar itu menghasilkan dioksin dan furan, selama suhu diatas 1.000 derajat Celsius,” terangnya.