Danau-danau di Kalimantan Selatan itu terlihat biasa dari kejauhan. Air tenang tanpa riak. Bahkan, ada yang indah dari jauh, berwarna hijau kebiru-biruan. Ada pula yang berwarna agak kecoklatan, bahkan hitam pekat. Namun, danau itu tak setenang dan seaman tampilan. Ia adalah kolam-kolam raksasa buat menampung limbah-limbah buangan maupun lubang-lubang galian dari tambang batubara.
Kolam-kolam raksasa ini bak neraka bagi umat manusia dan lingkungan sekitar. Betapa tidak, ia berpotensi mencemari air-air sungai di Kalsel, yang menjadi sumber kehidupan sehari-hari bagi warga. Fakta horor ini terungkap dari hasil investigasi Greenpeace dalam laporan berjudul “Terungkap: Tambang Batubara Meracuni Air di Kalimantan Selatan,” yang rilis awal Desember 2014 di Jakarta.
Dari laporan itu terungkap, aktivitas pertambangan batubara di Kalsel, merusak sumber air, membahayakan kesehatan dan masa depan masyarakat sekitar. Greenpeace menemukan kebocoraan dan pembuangan zat asam pada kolam dan bekas lubang tambang yang mengandung zat berbahaya melebihi aturan tambang batubara.
Greenpeace melakukan investigasi sekitar enam bulan dengan mengambil sampel di 29 titik dari kolam limbah, dan lubang tambang terbengkalai perusahaan tambang yang bocor. Temuan ini juga memberikan bukti kuat perusahaan-perusahaan tambang batubara menyumbangkan limbah berbahaya ke sungai dan sumber-sumber air masyarakat, melanggar standar nasional untuk pembuangan limbah di pertambangan.
Studi kasus ini dilakukan di beberapa konsesi perusahaan tambang, seperti milik Arutmin, anak usaha Bumi Resources, di Distrik Asam-asam. Kondisi di sini terburuk dari semua konsesi yang dikunjungi Greenpeace. Satu sampel mengandung kadar pH 2,32, mangan tinggi 10 kali ambang legal. Ambang batas air limbah batubara sesuai aturan Kementerian Lingkungan Hidup No 113, 2003, pH maksimum antara enam sampai sembilan, besi tujuh mm atau mg dan mangan empat mg.
“Saat uji juga temukan kandungan zat itu di atas ambang batas. Ditemukan juga logam berat lain, misal, nikel, arsenik, mercuri. Seluruh logam berat ini sangat berbahaya. Apalagi terakumulasi dalam jangka dan waktu lama. Bahaya bagi biota air, kala terserap bisa jadi racun. Konsentrasi rendah aja beracun apalagi terakumulasi dalam waktu lama,” kata Hindun Mulaika, juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, hari itu di Jakarta.
Endapan kotor dan terkontaminasi juga mengalir ke lingkungan. Tim mengidentifikasi jelas jejak-jejak luapan air di kolam pengendapan. Air melimpah. Bahkan, di kolam lain, tampak air baru melimpah keluar dan merembes ke anak sungai. Parahnya lagi, kolam-kolam kotor itu berada di dekat jalan umum yang sehari-hari dilalui masyarakat. “Rembesan ini berpotensi mencemari air yang bisa berdampak pada penduduk Desa Salaman.”
Hilda Mutia, peneliti utama sekaligus koordinator Waterpatrol Greenpeace Indonesia mengatakan, seharusnya kolam-kolam Arutmin ini bisa menampung air asam. “Karena hujan dan longsor akhirnya bocor. Keluar ke lingkungan. Warna air coklat dan ada di pinggir jalan, dilalui warga desa.”
Bahkan, kolam asam Arutmin, ada yang keluar, menyeberang ke saluran jalan dan mengarah ke rawa terdekat. “Jadi rawa sudah tercampur antara warna kuning dan hijau.”
Lalu, di Banpu, anak perusahaan Jorong Barutama Greston. Di sini ditemukan, lubang bekas tambang sepanjang dua km dengan keasaman dan kandungan logam berat mangan di atas ambang batas. Tak jauh dari sana, ditemukan kolam asam menyerupai rawa, tampak tak terawasi. Citra saltelit menunjukkan, air kolam asam mengalir hingga bisa mengkontaminasi badan air atau sungai-sungai kecil. Jorong pernah diprotes terkait reklamasi minim dan pelanggaran batas hutan lindung.
Studi lain, di Tanjung Alam Jaya di Kabupaten Tapin, Kalsel. Menurut Hilda, di konsesi ini ada satu kolam tambang terbengkalai mengandung air asam.
Danau besar itu terkesan menyejukkan, tetapi kala dites pH asam tinggi, 3,74. Di salah satu dinding danau bocor dan air keluar serta jatuh ke sungai kecil. “Ada warna lain di bagian tepi sungai. Bisa dibayangkan dampak tambang dekat dengan warga dan kehidupan warga,” ujar dia.
Pada 2011, lebih 30% batubara Indonesia hasil 14 perusahaan di Kalsel, yakni 118 Mt dari total produksi nasional 353 Mt. Pada 2008, ada 26 izin tambang pusat dan 430 izin pemerintah daerah.
Dengan riset ini, Greenpeace mengindikasikan, 3.000-an km atau 45% dari total sungai di Kalsel, mengalir melewati kawasan tambang batubara dan berpotensi tercemar dari tambang-tambang itu.
Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara memaparkan, di Kalsel, mereka mendatangi sekitar 300-an lubang-lubang tambang dan kolam limbah yang menghasilkan air asam.
Parahnya lagi, dari sekitar 300-an kolam tambang itu, sebagian besar berbentuk bak kolam dan danau biasa. Tak ada plang atau tanda-tanda yang menyatakan kalau itu kolam limbah atau lubang tambang. “Ada yang memasang tanda-tanda, tapi itu sedikit sekali. Sebagian besar, sudahlah berada dekat pemukiman, di dekat jalan raya. Tak ada rambu-rambu pula,” katanya.
Menurut dia, batubara merusak, tak hanya mencemari air juga menghancurkan bentang alam Kalsel yang indah. “Dalam tempo tak sampai dua dekade hancur. Misal di Tanah Laut di Kabupaten Tanjung, Adaro, di sana. Bagaimana bentang alam dihancurkan tanpa mereka mempedulikan standar nasional tentang pengelolaan air dan hak-hak masyayarakat maupun reklamasi. Setelah keruk tinggalkan begitu saja dan tinggalkan ratusan lubang tambang yang bahayakan masyarakat sekitar.”
Dampak buruk terhadap masyarakat sekitar ini, kata Arief, harus dihentikan. Perusahaan-perusahaan tambang, harus punya tanggung jawab legal. “Yang melanggar hukum harus perbaikan.“
Pemerintah Indonesia, katanya, harus mengawasi lebih baik, sekaligus tegas dalam penegakan hukum bagi pelanggar. “Sektor tambang batubara bawa ancaman sangat serius di Kalsel. Apa yang ditemukan ini beri konfirmasi, pulau Kalimantan salah satu pulau yang akan hadapi dampak paling buruk dari perubahan iklim. Proses ini sudah dilihat pada konsesi-konsesi itu. Tak perlu dilihat sampai 2050.”
Untuk itu, Greenpece rekomendasikan pemerintah melakukan investigasi terbuka. Sebab, temuan ini memperlihatkan ancaman terbuka terhadap kualitas air dan kesehatan masyarakat di Kalsel.
Rekomendasi lain, proses alokasi izin tambang mencakup pertimbangan yang jauh lebih kuat bagi rekam jejak kinerja lingkungan perusahaan. “Kalau perusahaan melanggar, pemerintah harus punya keberanian buat cabut izin mereka. Ini harus dihentikan, izin dicabut. Di-review. Ini berlaku juga pada perusahaan-perusahaan di Kalsel,” katanya.
Greenpeace mendesak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuka rincian dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi lahan untuk Kalsel. “Apakah dana itu cukup mencegah dampak jangka panjang setelah tambang ditutup.”
Badan Lingkungan Hidup Kalsel dan Kementerian LHK, kata Arief, harus mempublikasikan informasi pelanggaran-pelanggaran pembuangan air limbah berkala. “Ini akan membantu investor, badan perizinan tambang pusat, dan masyarakat sipil untuk mengikuti kinerja perusahaan.”
Greenpeaace, katanya, siap bekerja sama dengan pemerintah. “Ada harapan pada pemerintah baru dapat memberikan hal berbeda dari pemerintah sebelumnya. Masyarakat layak hidup sehat, tak berada dalam ancaman industri tambang luar biasa merusak ini.”