Mongabay.co.id

Pangan Lokal yang Terancam Proyek Strategis Nasional

Bentang Karst Wonogiri yang masih bertutupan dan jadi lahan pertanian warga. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

  • Pembangunan proyek strategis nasional menimbulkan kerusakan hutan dan hilangnya pangan lokal. Hal ini terjadi di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Papua.
  • Padahal pangan lokal menjadi alternatif ketahanan pangan di berbagai daerah di Indonesia. Sayangnya, tak ada kebijakan yang mendukung pelestariannya.
  • Warga Lembata, Nusa Tenggara Timur memanfaatkan sorgum dalam menghadapi kekeringan dan perubahan iklim. Tanaman ini menjadi penyelamat mereka di tengah gagal panen terhadi.
  • Di Surabaya, Jawa Timur misalnya, proyek reklamasi mengancam hilangnya kuliner lokal. Yakni, lontong kupang. Hal ini karena habitat kupang terancam pembangunan reklamasi.
Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.

Pelestarian pangan lokal menjadi alternatif bagi ketahanan pangan untuk wilayah kepulauan seperti Indonesia. Sayangnya posisi pangan lokal tak lagi menjadi prioritas. Kini, pemerintah masih berambisi membangun ketahanan pangan dengan kebijakan lumbung pangan (food estate). Alih-alih mewujudkan ketahanan pangan, kebijakan ini malahan menimbulkan masalah baru. Baik lingkungan, sosial maupun ekonomi.

Kebijakan food estate di Indonesia sudah ada sejak 1995, dikenal dengan Megaproyek Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah pada era Presiden Soeharto. Kemudian berlanjut pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2008-2014), Presiden Jokowi (2015-2024), dan Presiden Prabowo (2025-2029).

Sayangnya, kegagalan proyek ini terus berulang dan tidak menunjukkan hasilnya. Setiap kebijakan lumbung pangan ini menelan puluhan hingga ratusan triliun anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tapi realisasi produktivitasnya di bawah 10%. Yakni, 0,2% di era Soeharto, 8,6% di era SBY dan 2,4% di era Jokowi.

Saat ini, Presiden Prabowo memiliki target tiga kali lipat luas lahan dari target masa pemerintahan sebelumnya. Yakni, 3 juta hektar dengan anggaran mencapai Rp 105,9 Triliun. Lokasinya berada di Merauke (Papua), Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Selatan dan Barat. Beberapa lokasi merupakan proyek pemerintahan sebelumnya yang belum tuntas. Tapi kebijakan ini malahan mencemari lingkungan, membabat hutan, perampasan lahan masyarakat adat dan menghilangkan pangan lokal.

Sehingga pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ketahanan pangan memiliki prinsip keadilan ekologis, mengutamakan pangan lokal, serta perlindungan masyarakat adat dan pengetahuannya. Lalu, bagaimana ancaman kebijakan lumbung pangan dan pembangunan bagi lingkungan, masyarakat dan ekonomi negara?

 

1. Hilangnya kelestarian pangan lokal

Seoarang lelaki di Desa Malancan, Siberut Utara memperoses sagu dari hutan mereka dengan cara tradisional. Sagu, salah satu sumber pangan orang Mentawai. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

Bayang-bayang kehancuran hutan akibat kebijakan food estate menghantui masyarakat adat yang secara turun-temurun menjaga serta melestarikannya. Ada 3.000 hektar wilayah adat di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yang wilayah hutannya terancam menjadi lumbung pangan. Padahal selama ini, kawasan mereka menjadi sumber pangan, obat-obatan, sumber mata air bagi masyarakat. Kini terancam menjadi tanaman singkong dan padi.

Selain itu, food estate dua juta hektar di Kabupaten Merauke, Papua Selatan mengancam hutan sagu milik masyarakat. Kebijakan itu akan membabat hutan adat milik Suku Malind, Yeinan, Maklew, Khimaima dan Yei. Data Greenpeace Indonesia (Juni 2025) menyebutkan ada 5.291 hektar hutan hilang di wilayah Distrik Ilwayab, Kampung Wanam yang menjadi lokasi PSN food estate.

Berdasarkan data Madani Berkelanjutan, lebih dari 1,57 juta hektar hutan alam berada dalam area food estate yang tersebar di empat provinsi, yakni Kalimantan Tengah, Papua, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Papua menjadi lokasi terluas, yakni 1,38 juta hektar.

Alih fungsi lahan hutan tak hanya memutus hubungan budaya dan pengetahuan lokal yang telah diwariskan turun-temurun, tapi juga menghilangkan sumber pangan lokal. Kehancuran sistem pangan lokal berujung pada kelaparan sistemik. Sayangnya, pendekatan kebijakan ini terlalu terpusat, seragam, dan bertumpu pada pendekatan bisnis. Padahal, keragaman hayati Indonesia justru menuntut pendekatan yang berbeda-beda di setiap wilayah.

 

2. Kuliner khas Surabaya yang hilang karena reklamasi

Seorang pengepul membersihkan kupang sebelum dikirim ke para pedagang lontong kupang. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia.

Bukan hanya food estate yang mengancam ketahanan pangan lokal, pembangunan yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan juga berdampak pada hilangnya kuliner khas di suatu daerah. Salah satunya, lontong kupang khas Surabaya, Jawa Timur.

Bahan baku makanan ini berasal dari laut dan berpadu dengan petis serta potongan lontong, dan lentho (gorengan dari singkong). Kupang (Potamocorbula fasciata) merupakan sejenis kerang laut yang jadi sajian kuliner khas ini. Tak hanya nikmat, kuliner ini juga sehat.

Kupang mengandung asam lemak tak jenuh untuk membantu metabolisme kolesterol pada tubuh. Kandungan protein juga cukup tinggi hingga bisa menjadi alternatif sumber protein hewani.

Para penjual kuliner ini mendapatkan bahan Kupang dan kerang dari para nelayan, termasuk kerang darah (Anadara granosa) yang jadi bahan baku sate kerang. Namun, adanya rencana proyek Surabaya Waterfront Land (SWL) di pesisir pantai Kenjeran Surabaya menimbulkan kekhawatiran dari para pedagang maupun nelayan.

Pedagang lontong kupang beranggapan bahwa rencana reklamasi dapat menutup tempat usaha mereka. Nelayan pun mengeluhkan hal yang sama, rencana reklamasi di Pantai Kenjeran bisa merenggut pekerjaan utama mereka yang dirintis sejak kecil.

 

3. Pangan lokal bantu masyarakat Lembata lepas dari bencana kelaparan

Ladang sorgum di Desa Tapobali, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, NTT. Foto: Dok. Hendrikus Bua Kilok

Krisis iklim yang tampaknya semakin masif terjadi dan menimbulkan sejumlah masalah, seperti curah hujan yang tidak menentu dan kekeringan menyebabkan beberapa dusun di Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdampak gagal panen bahkan kelaparan.

Petani di Desa Tapobali Tengah, NTT mengubah pola dan volume konsumsi selama 10-15 tahun terakhir untuk beradaptasi. Mereka memilih tanaman berumur panjang sebagai tanaman sisipan. Awalnya dari jagung, kacang-kacangan dan padi, kini mereka mulai terbiasa menanam sorgum.

Sorgum merupakan pangan lokal (kfarfolot) di Desa Tapobali, Lembata. Tanaman ini bisa tahan pada krisis iklim. Dalam setahun, bisa dua kali panen. Bahkan, sisanya dijadikan benih sebab banyak warga yang meminta untuk ditanam di ladang mereka.

 

4. Kedaulatan pangan Wonogiri terancam pabrik semen

Lahan pertanian begini subur di Wonogiri, akan jadi area pertambangan? Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

Mayoritas warga di Pracimantoro, Wonogiri merupakan petani. Mereka menanam sorgum, singkong, padi, umbi-umbian dengan tumpang sari untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Namun ketahanan pangan yang mereka miliki mulai terancam karena tambang dan pabrik semen.

Perusahaan mulai membujuk lahan produktif mereka dengan iming-iming pekerjaan yang lebih baik. Meski begitu, warga malahan menolak keras rencana tersebut. Mereka menolak bukan tanpa alasan, mereka menganggap industri semen di kawasan bentang alam karst tak hanya merusak sumber air, tapi juga mengancam kesehatan dan merusak lingkungan secara masif.

Peneliti Pusat Riset Arkeologi, Hery Priswanto menyebutkan bahwa warga Pracimantoro telah memiliki keberagaman dan ketahanan pangan hingga tingkat tapak sejak Mataram Kuno. Hal ini diperkuat dengan adanya temuan lumbung padi di Situs Liyangan, Temanggung, Jawa Tengah pada 2020.

Tambang dan pabrik semen juga berisiko merusak peradaban yang terbentuk ribuan tahun di kawasan karst Gunungsewu. Dalih pembangunan pabrik untuk meningkatkan perekonomian tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.

 

5. Pulau Lae-Lae, surga perikanan yang terancam reklamasi

Ambaring (Acetes indicus) biasa dikenal sebagai udang rebon—berukuran kecil dan hidup bergerombolan di perairan dangkal, sekitar pulau. Foto: Saskia Salsyam/Mongabay Indonesia

Tak hanya petani Pracimantoro yang terancam pembangunan, nelayan di Pulau Lae-lae, Sulawesi Selatan juga merasakannya. Rencana reklamasi di Pulau Lae-lae yang digadang-gadang akan meningkatkan kesejahteraan warga melalui pembangunan wisata, justru membuat nelayan makin kesulitan mendapatkan hasil laut.

Center of Point Indonesia (CPI) merupakan kawasan strategi bisnis global di Makassar, lokasinya berada di depan Pantai Losari. Luas proyek ini mencapai 157,23 hektar, dimana pemerintah menunjuk Pulau Lae-Lae menjadi wilayah reklamasinya.

Padahal, sepanjang pesisir Pulau Lae-Lae sudah menjadi bagian kehidupan nelayan. Mereka mencari ambaring, cumi, ikan, dan lato’. Ambaring atay udang reborn menjadi komoditas laut yang ada sepanjang musim. Selain itu, ada juga  lato’ atau anggur laut, sejenis makro alga yang tumbuh di perairan dangkal, yang berpasir, dan berkarang. Keduanya menjadi sumber pangan dan ekonomi masyarakat.

Perempuan nelayan Lae-Lae juga membuat alat umpan atau kerap disebut puru-puru sebagai sumber ekonominya. Alat ini berfungsi untuk menampung ambaring sebagai umpan.

Tak hanya berdampak terhadap ekonomi nelayan, proyek reklamasi juga berdampak pada aspek sosial, dan budaya. Padahal, ada potensi wisata lain yang dapat dikembangkan di Pulau Lae-Lae, seperti wisata sejarah, kebudayaan, dan kearifan lokal masyarakat.

 

Pulau Lae-lae, Surga Perikanan yang Terancam Reklamasi

 

*Daffa Ulhaq merupakan mahasiswa Ilmu Sejarah di Universita Indonesia. Daffa aktif sebagai jurnalis dan aktivis muda di Generasi Setara yang memiliki minat pada isu pendidikan, gender, dan lingkungan.

Exit mobile version